Bara

Gesture of Resistence 4



Gesture of Resistence 4

0Dua orang Pengawal Pak Angga membawa Damar ke kediaman Pak Angga yang terletak di kawasan Pondok Indah. Ucapan Pak Angga benar-benar sudah mengunci Damar. Ia sama sekali tidak melawan ketika dua orang Pengawal itu membawanya.     

----     

"Kamu mau saya menyingkirkan kamu, kan?" tanya Pak Angga sebelum dua orang pengawalnya membawa Damar.     

Damar hanya diam seribu bahasa meskipun ia mendengar ucapan Pak Angga. Ucapan Pak Angga sebelumnya yang terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya.     

Pak Angga menampar pelan pipi Damar. "Jawab!"     

Damar mendengus pelan sambil menatap Pak Angga.     

"Kamu masih berani menatap saya seperti itu? Manusia menjijikkan seperti kamu, tidak pantas menatap saya seperti itu."     

Damar merunduk. "Tolong," ujarnya pelan hampir terdengar seperti sebuah bisikan.     

Pak Angga mendekatkan telinganya kepada Damar. "Kamu ngomong apa barusan? Tolong?"     

Damar kembali mendongakkan wajahnya dan menatap Pak Angga. Kini dengan tatapan memelas. "Tolong, jangan sakiti Papa dan Kimmy."     

"Kamu sendiri yang sudah menyakiti papamu. Setelah semua yang dia berikan pada kamu, kamu berani bermain api dengan meniduri Kimmy. Orang brengsek macam apa yang bisa berbuat begitu kepada orang yang sudah menolongnya?"     

Damar menatap nanar Pak Angga. Matanya memerah menahan air matanya. "Saya memang brengsek ngga tahu diri. Tapi, tolong, jangan sampai Papa tahu. Hubungan Papa dan Kimmy baru membaik. Saya akan segera mengakhiri hubungan saya dengan Kimmy."     

"Sudah terlambat, harusnya kamu berpikir dulu sebelum bertindak lebih jauh. Kamu sudah terlanjur membuat saya kesal. Sekarang saatnya saya menyingkirkan kamu."     

"Eyang, tolong. Jangan lakukan itu pada Papa dan Kimmy."     

Pak Angga kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Damar. "Jangan panggil saya Eyang. Kita ini tidak punya hubungan apa-apa."     

Pak Angga lalu memberikan isyarat pada dua orang Pengawal yang memegangi Damar untuk segera membawanya pergi.     

----     

Pak Bima menjawab panggilan dari Pak Angga yang masuk ke ponselnya. "Ada apa, Pak?"     

"Kamu benar-benar mengecewakan, Bima," sahut Pak Angga.     

"Apa maksud Bapak?" Pak Bima kembali bertanya pada Pak Angga.     

"Kamu jangan pura-pura ngga tahu. Kamu mengikuti saya bertahun-tahun, banyak yang kamu ketahui tentang kerjasama antara saya dan Hanggono. Tidak mungkin kamu tidak memberitahu tentang semua itu pada pakdemu," ujar Pak Angga.     

Pak Bima menghela napasnya. "Ya, saya sudah memberitahukan semuanya pada Pakde."     

"Benar-benar anak tidak tahu diuntung. Pantas saja anak-anakmu sendiri mengkhianati kamu."     

Pak Bima terdiam sejenak. "Apa maksud Bapak?"     

"Kamu tanyakan saja sendiri pada anak-anakmu. Apa yang sudah mereka lakukan di belakang kamu. Yang jelas, saya tidak bisa menerima apa yang sudah mereka berdua lakukan. Mereka sama-sama memalukan."     

"Tunggu, Pak. Saya benar-benar ngga mengerti maksud ucapan Bapak. Memangnya apa yang sudah dilakukan Damar dan Kimmy?"     

"Mereka berdua sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan."     

----     

Pak Bima diam terpaku mendengar ucapan Pak Angga. "Mereka melakukan apa?"     

"Tanya saja sendiri. Saya muak dengan kalian semua," sahut Pak Angga. Ia kemudian mematikan sambungan telponnya.     

Pak Bima terdiam memandangi ponselnya. Ia terngiang-ngiang ucapan Pak Angga. "Mereka ngga mungkin berbuat sejauh itu." Pak Bima mencoba menyangkal apa yang ada di bayangannya. Ia tidak sanggup membayangkan apa yang sudah terjadi antara Kimmy dan Damar.     

Pak Bima meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Damar. Namun, sampai nada panggil terakhir, Damar tidak mengangkat telponnya. Ia akhirnya beralih menghubungi Kimmy.     

"Kim, kamu dimana sekarang?" tanya Pak Bima begitu Kimmy menjawab telponnya.     

"Aku lagi sama Maya. Ada apa, Pa?" Kimmy balik bertanya pada Pak Bima.     

"Kamu tahu Damar ada dimana?"     

"Bukannya Mas Damar ada di kantor? Tadi aku telpon dia masih ada di kantor."     

"Oh, gitu. Emang ada apa, Pa?"     

Pak Bima mencoba untuk berdalih. Ia tidak ingin membicarakan ucapan Pak Angga pada Kimmy. Ia ingin membicarakannya terlebih dahulu pada Damar. "Ah, ngga apa-apa. Cuma, kok, dia belum sampai rumah."     

"Oh gitu. Paling dia lembur lagi. Ngga tahu, belakangan ini dia sering lembur," sahut Kimmy.     

"Ya udah kalo begitu. Papa jemput aja dia di kantor."     

"Aku ngga Papa jemput?" goda Kimmy.     

Pak Bima tertawa pelan. "Kalau kamu lagi sama Maya, bisa-bisa Papa berkarat nungguin kamu. Tapi, kalau kamu mau Papa jemput, nanti kamu telpon aja. Pasti Papa bakal jemput kamu."     

Kimmy terkekeh. "Oke, nanti akau hubungin Papa."     

"Ya udah, Papa mau ke kantor dulu."     

"Ya, hati-hati, Pa." Kimmy kemudian mematikan sambungan telponnya.     

Pak Bima menghela napasnya. Ia memijat-mijat pangkal hidungnya. Ucapan Pak Angga benar-benar sudah menganggunya.     

Beberapa saat kemudian, Pak Angga mengirimkan beberapa foto ke ponsel Pak Bima. Mata Pak Bima membulat melihat foto-foto yang dikirimkan Pak Angga padanya.     

"Ngga mungkin," gumam Pak Bima.     

Pada foto pertama yang dia lihat, nampak Kimmy dan Damar sedang berciuman dengan sangat mesra. Damar memegang wajah Kimmy dengan kedua tangannya. Sementara itu Kimmy juga memegang wajah dengan salah satu tangannya. Pak Bima kemudian melihat foto yang lain.     

Di foto yang lain, Damar dan Kimmy sedang saling menatap sambil tersenyum. Dari tatapan keduanya di foto tersebut, Pak Bima sudah tidak sanggup lagi melanjutkan untuk melihat foto-foto yang lain. Jelas Damar dan Kimmy tidak lagi tampak seperti pasangan Kakak Adik dari foto-foto tersebut. Mereka lebih terlihat seperti pasangan kekasih yang sedang di mabuk cinta. Terlebih lagi, foto yang diterima Pak Bima berlatar belakang di apartemen Damar.     

Pak Bima meremas kepalanya sendiri. "Apa yang sudah kalian berdua lakukan?" ucap Pak Bima sambil bergetar.     

Pak Bima menghela napas berat, lalu bangkit berdiri. Ia menyambar ponsel dan kunci mobilnya lalu pergi meninggalkan rumahnya. Ia harus meminta penjelasan dari Damar secepatnya.     

----     

Pak Bima tiba di ruang kerja Damar. Sudah tidak ada siapapun di dalam ruangan tersebut. Ia kemudian bertemu dengan salah seorang Office Boy ketika keluar dari ruangan Damar. Office Boy itu tersenyum sambil menundukkan sedikit badannya pada Pak Bima.     

"Bapak cari Pak Damar?" tanya Office Boy tersebut pada Pak Bima.     

Pak Bima menganggukkan kepalanya. "Dia sudah pulang?"     

"Sepertinya sudah, Pak. Tadi, abis magrib saya kesini, Pak Damar sudah ngga ada."     

Pak Bima mengerjapkan matanya. "Jadi dia sudah keluar kantor dari tadi sore?"     

"Sepertinya begitu, Pak."     

Pak Bima mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh, yasudah. Terima kasih, ya." Ia menepuk lengan Office Boy yang ia temui itu lalu kembali berjalan pergi meninggalkan kantor.     

Pak Bima kemudian berpikir untuk menghubungi Bara.     

"Bara? Apa Damar lagi sama kamu?" ujar Pak Bima begitu Bara menjawab telponnya.     

"Damar? Ngga, Om. Saya lagi sama Eyang sekarang," jawab Bara.     

Pak Bima berdecak pelan.     

"Memangnya ada apa, Om?" tanya Bara.     

"Saya sedang mencari Damar. Saya pikir dia masih di kantor. Tapi, saya ke kantor, katanya dia sudah pulang sejak sore tadi."     

"Oh," gumam Bara. "Mungkin dia di Millenium."     

"Oh, yasudah kalo begitu. Terima kasih Bara." Pak Bima kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.     

Ia berjalan cepat menuju tempat parkir mobilnya dan segera pergi meninggalkan gedung MG Group. Tujuannya kali ini adalah bar Millenium. Ia berharap apa yang dikatakan Bara benar, dan Damar sedang berada di sana.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.