Bara

Crack 5



Crack 5

0Sesuai janjinya dengan Maya, Bara pergi meninggalkan kantornya setelah Maya mengirim pesan bahwa syuting yang ia jalani sudah hampir selesai. Sebelum pergi menjemput Maya, Bara mengirim pesan pada Bang Jali untuk terus mengawasi Axel setelah jam kantor selesai.     

Selepas jam kantor, Axel masuk ke pantri dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana.     

Bang Jali kebetulan masih berada di pantri dan sedang mencuci beberapa gelas kotor yang baru ia ambil dari ruang rapat.     

"Eh, belum pulang?" seru Bang Jali pada Axel.     

Axel sedang menyandarkan kepalanya pada meja yang ada di depannya.     

"Pulang juga bingung mau pulang kemana," sahut Axel.     

Axel nampaknya tidak menyadari apa yang baru saja ia ucapkan. Ia seperti orang yang tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Bang Jali yang memperhatikannya hanya bisa geleng-geleng kepala.     

"Kostan lu dimana?" Tanya Bang Jali.     

"Rawamangun," jawab Axel singkat.     

"Wah, searah sama gue. Lu naik apa?"     

"Busway."     

"Mau sekalian sama gue, ngga?"     

"Ngga usah, Bang. Malam ini gue ada janji." Axel kemudian mendengus pelan.     

Bang Jali yang sudah selesai mencuci gelas-gelas kotornya, kemudian menghampiri Axel dan duduk di hadapannya. "Lu kaya lagi banyak pikiran."     

Axel mengerjap-ngerjapkan matanya menatap Bang Jali. "Emang keliatan jelas, Bang?"     

"Keliatan, lah. Muka lu kaya ayam mau dipotong begitu. Emang lu lagi ada masalah apa, sih?" Bang Jali mencoba memancing Axel agar mau bercerita padanya.     

"Bukan apa-apa, biasalah masalah keluarga."     

"Ooh, masalah keluarga. Pantes." Bang Jali manggut-manggut. Sedetik kemudian ia menatap Axel penuh curiga. "Lu ngga kabur dari rumah, kan?"     

Axel menghela napasnya. "Gue udah kabur dari rumah dari gue lulus SMA. Ngapain juga gue tinggal di rumah sama orang-orang yang ngga pernah nganggep gue ini ada. Daripada begitu, mending gue kabur sekalian." Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Axel tanpa ia sadari.     

Bang Jali mendengarkan dengan seksama. Axel bercerita tanpa banyak berekspresi, seolah ia hanya ingin mengeluarkan apa yang sedang mengganjal di dalam hatinya dan tidak memerlukan orang lain untuk menanggapi ceritanya.     

"Kalo emang gue ini ngga seharusnya dilahirkan, kenapa mereka ngga gugurin aja waktu gue masih di kandungan." Axel kembali menghela napasnya. "Mereka yang salah gue yang harus nanggung semuanya."     

Bang Jali menepuk-nepuk bahu Axel. "Ngga boleh ngomong gitu."     

"Abis, gue lama-lama muak sama mereka. Waktu gue ada mereka sama sekali ngga nganggep gue. Sekarang, giliran butuh, mereka nyari-nyari gue. Kan, bangsat." Axel terdiam lalu menatap Bang Jali. "Sorry, Bang. Lu malah jadi denger gue nyampah."     

Bang Jali balas tersenyum pada Axel. "Tenang aja, gue biasa, kok, dijadiin tempat sampah. Gue juga heran, orang kalo ketemu gue bawaannya pengen curhat melulu." Bang Jali lalu terkekeh pelan.     

Axel ikut terkekeh pelan. "Mungkin karena pembawaan Abang bikin orang nyaman."     

"Gue kasih tahu sama lu, ya. Keluarga, mau sebrengsek apapun tetap keluarga. Meskipun mereka keliatannya ngga peduli, pasti ada satu titik dimana mereka ngerasa 'kita, kan, masih keluarga'."     

Axel dengan cepat menggeleng. "Kayanya keluarga gue ngga gitu deh, Bang. Mereka bener-bener ngga pernah nganggep gue." Axel tertawa miris.     

"Masa?" tanya Bang Jali.     

Axel mengangguk.     

"Tadi kayanya lu bilang, sekarang mereka nyariin lu."     

"Ya, itu karena ada maunya."     

"Ya, berarti, kan, mereka masih inget ada lu."     

"Iya, ada cuma buat dimanfaatin. Selebihnya mereka lupa kalo ada gue."     

"Ngga apa-apa, setidaknya mereka masih inget ada lu."     

"Ah, udahlah. Yang jelas, sih, nasib gue udah sial sejak lahir." Axel kemudian melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kanannya. "Wah, kayanya gue harus pergi sekarang. Thanks, Bang, udah mau dengerin cerita gue."     

"Ngga masalah, dateng aja kesini kalo butuh temen buat cerita."     

"Yuk, Bang." Axel kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sambil merapikan kembali kursi yang baru saja ia duduki, Axel tersenyum pada Bang Jali. Setelah itu ia segera melangkah keluar meninggalkan pantri.     

----     

Bang Jali diam-diam mengikuti Axel yang pergi meninggalkan gedung MG Group dengan menggunakan layanan ojek online. Bang Jali mengikutinya dengan menggunakan motornya. Ia menjaha jarak, agar Axel tidak curiga bahwa ia sedang diikuti.     

Ia mengikuti Axel sampai ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Menteng. Bang Jali memarkirkan motornya tidak jauh dari restoran tersebut. Ia melihat Axel yang melangkah masuk ke dalam restoran tersebut. Sambil menunggu Axel kembali keluar dari restoran tersebut, Bang jali duduk di sebuah warung rokok pinggir jalan.     

----     

Axel masuk ke dalam ruang makan yang tempo hari ia masuki bersama Raya tanpa berprasangka apa pun. Ia hanya berpikir bahwa Pak Angga mengundangnya untuk makan malam biasa.     

Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan Axel. Begitu ia masuk ke dalam ruangan tersebut, Axel terkejut karena ia melihat Hanggono ada di ruangan tersebut dan tampak sedang mengobrol dengan Pak Angga.     

Ia hendak kembali keluar, sebelum Pak Angga memanggilnya. "Kenapa kamu malah mau pergi? Ayo, sini."     

Axel sudah menatap sinis ke arah Hanggono.     

"Kenapa kamu kelihatan terkejut begitu?" Pak Angga memperhatikan ekspresi muka Axel yaang terkejut melihat kehadiran Hanggono. "Bukannya kalian berdua ini masih keluarga."     

Hanggono lalu menatap Pak Angga. "Apa maksud kamu?"     

Pak Angga balas menatap Hanggono. "Loh, bukannya Axel ini cucu kamu?"     

Hanggono berdecak pelan. "Dia? Cucu saya?" ujar Hanggono sambil menunjuk-nunjuk ke arah Axel. "Jangan harap, saya mau mengakui dia sebagai cucu saya. Meskipun dia memang mewarisi darah keluarga saya."     

"Saya ngga pernah minta pengakuan dari keluarga Anda," sela Axel sembari menatap tajam ke arah Hanggono.     

"Oh, bagus kalau begitu. Lantas kenapa kamu ada disini?" tanya Hanggono pada Axel.     

"Dia bekerja untuk saya," sahut Pak Angga. "Saya yang mengundang dia untuk makan malam bersama kita."     

Hanggono menatap Axel dan Pak Angga tidak percaya. "Dia kerja sama kamu?"     

"Iya, dia bahkan yang selama ini memata-matai orang yang sudah bekerja untuk Bara," jawab Pak Angga.     

Hanggono tertawa pelan. "Jadi, kita ada di perahu yang sama ternyata," ujarnya sambil melirik Axel.     

"Ngga lagi." Axel menggeleng cepat. "Rasanya peran saya cukup sampai disini. Lebih baik saya pergi dari sini sekarang."     

Pak Angga terkekeh melihat Axel dan Hanggono yang tampak sedang bersandiwara di hadapannya. "Kalian ini sekeluarga jago akting atau gimana? Ngga usah pura-pura. Sebenarnya kalian juga kerjasama untuk mengawasi saya, kan?" Pak Angga mengeluarkan gantungan kunci milik Axel dan penyadap yang ia temukan di bawah meja kerjanya.     

Axel menatap nanar gantungan kunci miliknya yang kini ada di hadapan Pak Angga. Ia menatap Pak Angga keheranan.     

"Ini milik kamu, kan?" tanya Pak Angga pada Axel.     

Axel mengangguk ragu. "Ini memang punya saya. Tapi, kenapa bisa ada di Bapak?"     

"Harusnya saya yang tanya kenapa ini bisa ada di ruangan saya?" Pak Angga balik bertanya pada Axel. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada Hanggono. "Ini ulah kamu, kan?"     

"Apa maksud kamu?" Hanggono balik bertanya pada Pak Angga.     

"Kalian berdua ngga usah berpura-pura," sahut Pak Angga. Ia menatap Hanggono dan Axel bergantian.     

Melihat keduanya yang kini malah saling menyalahkan membuat Axel semakin menyesal sudah memenuhi undangan makan malam Pak Angga. Ia kemudian mengambil gantungan kunci miliknya dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.     

Pak Angga dan Hanggono menoleh bersamaan begitu mendengar pintu ruangan dibanting oleh Axel.     

"Kamu benar-benar sudah salah sangka," ujar Hanggono.     

"Salah sangka bagaimana. Saya sudah lama mengenal kamu, hal semacam ini bukanlah hal baru bagi kamu. Tapi saya tidak menyangka bahwa kamu sampai memata-matai saya. Saya semakin ragu untuk melanjutkan kerjasama kita. Semakin hari, kamu semakin diluar kendali."     

Hanggono mendengus kesal sambil menatap pintu yang ada di ruangan tersebut. "Anak sial itu lagi," batinnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.