Bara

Break the Shell 6



Break the Shell 6

0Raya terduduk diam di dalam salah satu bilik kamar mandi yang ada di dalam restoran yang ia datangi bersama Axel. Ia tidak mempedulikan beberapa orang yang menggerutu karena salah satu bilik kamar mandi tersebut tidak dapat digunakan. Ia sudah terlanjur terpaku dengan apa yang diucapkan Pak Angga dan tidak berani melangkah keluar sampai ada orang yang menemaninya.     

Pikirannya segera tertuju pada Bara. Seperti apa yang pernah Bara katakan padanya, jika situasinya sedang tidak baik, ia bisa langsung menghubungi Bara.     

Beruntung Bara langsung menjawab telponnya begitu ia menelpon. Kini ia hanya perlu menunggu Bara datang menjemputnya.     

----     

Bara langsung menelpon Raya begitu ia sampai di restoran Plataran. "Ray, lu dimana?"     

Raya akhirnya bisa bernapas lega, begitu Bara kembali menghubunginya. "Gue ada di toilet perempuan." Ia kemudian mendengar Bara yang seperti sedang berbicara dengan seseorang.     

"Oke, gue lagi jalan ke toilet perempuan. Lu bisa keluar sekarang," ujar Bara.     

----     

Raya mencoba merapikan pakaiannya sebelum ia keluar dari bilik toilet. Ia memperhatikan sejenak pantulan wajahnya di depan cermin yang terlihat sedikit kacau.     

Seseorang mengetuk pintu toilet khusus perempuan. Raya menduga itu adalah Bara. Ia pun segera membuka pintu tersebut. Raya menghela napas lega begitu melihat Bara sedang berdiri di balik pintu. Ia pun segera keluar dari dalam toilet sambil menoleh ke kanan dan ke kirinya.     

"Lu ngga apa-apa?" tanya Bara.     

Raya menganggukkan kepalanya. "Gue cuma sedikit parno setelah mendengar ucapan Pak Angga."     

"Ya udah, lanjutin ceritanya di mobil aja," ujar Bara. Ia kemudian mendampingi Raya sampai keluar dari restoran Plataran dan masuk ke dalam mobilnya.     

"Kita balik ke kantor?" tanya Raya ketika mereka berdua sudah ada di dalam mobil.     

Bara menggeleng. "Kita ke tempat lain. Gue udah minta Bang Jali buat bilang ke orang HRD kalo lu mendadak ngga enak badan. Biar mereka percaya, lu bisa telpon mereka."     

"Terus barang-barang gue gimana? Flashdisk yang isinya laporan buat lu masih ada di kantor," sahut Raya.     

"Tenang aja, semuanya udah diamanin sama Bang Jali ke ruangan gue," jawab Bara.     

"Ya udah kalo gitu gue telpon lagi ke HRD."     

Bara menganggukkan kepalanya. Raya kemudian segera mengubungi salah satu orang HRD untuk meminta izin pulang lebih awal.     

Selagi Raya menelpon, Bara meminta Pak Pam untuk mampir ke sebuah restoran cepat saji untuk membeli makanan untuk Raya.     

Tidak sampai lima menit, Raya selesai menelpon orang bagian HRD. "Seperti biasa, nanti kalo udah masuk disuruh bawa surat keterangan Dokter."     

"Gampang, nanti gue urus," timpal Bara.     

Raya kemudian keheranan ketika mobil yang ditumpanginya masuk ke area sebuah restoran cepat saji. "Eh, kok, kita kesini?"     

"Lu pasti laper, kan?"     

Mendengar pertanyaan Bara membuat Raya tersadar bahwa dirinya sama sekali belum makan siang. Nafsu makannya tadi mendadak musnah setelah ia bertemu Pak Angga. "Tadi, napsu makan gue mendadak hilang, pas tahu Axel sengaja bawa gue buat nemuin Pak Angga."     

"Pak Angga ngomong apa aja sama lu?" tanya Bara begitu Raya kembali menyinggung tentang Pak Angga.     

Raya mengangkat bahunya. "Entahlah, omongannya ngalor ngidul ngga jelas. Ujung-ujungnya dia ngancem gue."     

"Terus soal Axel, bukannya gue udah sempet ngasih tahu kalo lu harus waspada sama dia," ujar Bara sambil menaikkan satu alisnya.     

"Iya, anggap aja gue sedikit lengah gara-gara flashdisk gue mendadak hilang dan ternyata dia yang nemuin," aku Raya.     

"Lu yakin flashdisk lu hilang itu bukan bagian dari rencananya Axel?"     

Raya seketika terdiam. "Semalem dia tiba-tiba nabrak gue. Tas gue jatuh dan isinya keluar karena gue belum sempat nutup tas gue dengan benar."     

"And then," sela Bara. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.     

Raya menatap Bara tidak percaya. "Terus besok paginya gue ngecek flashdisk gue udah ngga ada, dan ternyata ada di dia. Damn." Raya tersadar dengan semua kebetulan yang pastinya sudah direncanakan oleh Axel.     

"Lu udah cek lagi isi flashdisk itu?" Bara kembali bertanya.     

Raya segera mengangguk. "Gue liat date modified-nya masih sama kaya tanggal terakhir gue buka file yang ada di dalam situ."     

"Gue nanti bakal minta temen gue buat ngecek itu. Ngga mungkin Axel ngga menyalin isi flashdisk itu."     

"Sialan si Axel," gerutu Raya.     

----     

Bara dan Raya berdiri di depan pintu apartemen yang digunakan Ben dan yang lainnya.     

"Bener-bener hari yang ngga banget. Setelah diancem orang, sekarang harus sembunyi di tempat mantan. Kenapa lu baru bilang sekarang kalo Reno kerja sama lu?" Raya menatap sinis Bara.     

Bara mengacungkan dua jarinya membentuk tanda peace sambil tersenyum kikuk. "Reno udah agak berubah kok sekarang."     

Raya mendengus kesal.     

"Lu disini sampai jam kantor aja, kok. Nanti gue minta tolong Kimmy biar lu sementara nginep di tempatnya. Gimana?"     

Raya kembali menatap Bara tidak percaya. Ia menghela napas panjang. "Gue ngga punya pilihan, kan?"     

Bara menggeleng pelan. "Daripada parno kaya tadi, disini masih lebih baik, sih." Ia kemudian nyengir pada Raya.     

"Oke, fine."     

"Kita masuk sekarang, ya?"     

Raya mengangguk pasrah.     

Bara akhirnya memasukkan kode akses ke dalam apartemen tersebut. Lalu masuk ke dalamnya dengan Raya mengikuti di belakangnya.     

----     

Arga, Ben dan Reno sedang melakukan tugas pengintaian mereka seperti biasa ketika Bara tiba-tiba masuk ke dalam apartemennya.     

"Hei guys," seru Bara.     

Ketiganya kompak mengangkat wajah dari layar monitornya.     

"Tumben jam kantor kesini," ujar Arga.     

"Ada situasi darurat," sahut Bara.     

"Darurat apa?" tanya Ben.     

"Ada yang baru aja mendapat ancaman dari Pak Angga, dan sekarang orang itu agak ketakutan. Untuk sementara, dia bakal disini dulu sampai selesai jam kantor," terang Bara.     

"Siapa yang abis diancem sama Pak Angga?" giliran Reno yang bertanya.     

Tiba-tiba Raya muncul dari balik punggung Bara. Reno seketika melongo melihat kemunculan Raya yang kini ada di ruangan yang sama dengannya. Ben sudah lama mengenal Reno, sudah pasti tahu bahwa Reno dan Raya adalah mantan kekasih. Begitu pula dengan Arga yang mengetahuinya ketika perkenalan pertamanya dengan Reno.     

Diam-diam Arga menggeser tempat duduknya ke dekat Ben.     

"Abis ini, situasi kita yang darurat, Ben," bisik Arga pada Ben.     

Ben mengangguk. "Apa kita pindah aja ke bunker?"     

"Gue tahu, mungkin kalian bakal sedikit ngga nyaman, tapi seperti kata gue tadi, Raya baru aja dapat ancaman dari Pak Angga, jadi--"     

"No problem," sela Reno. Ia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada layar monitornya.     

"Gue jadi berasa ada di Vladivostok," bisik Ben pada Arga.     

"Vladi-- apa?" tanya Arga kebingungan.     

"Vladivostok, desa paling dingin," jawab Ben.     

Arga nyengir. "Dingin yaa."     

Ben mengangguk pada Arga.     

"Kalo gitu, gue tinggal dulu, ya. Nanti pulang kerja gue kesini lagi. Ada yang harus lu cek, Ben." Bara mengalihkan perhatiannya pada Ben.     

Ben mengangguk sambil tersenyum.     

"Yuk, Ray. Gue tinggal dulu." Bara kemudian berjalan keluar dari apartemen tersebut.     

Begitu Bara keluar dari apartemen, Raya merasa sedikit canggung dan memperingatkan tiga orang pria di hadapannya. Reno sudah pasti tidak akan mengalihkan perhatian dari layar monitornya. Sementara Ben dan Arga, keduanya nampak kikuk dengan situasi mereka sekarang.     

"Gue bisa duduk dimana?" tanya Raya tiba-tiba.     

"Silahkan duduk dimana aja. Anggep aja apartemen sendiri," sahut Arga masih dari tempat duduknya.     

Raya manggut-manggut sembari mencari tempat duduk yang nyaman untuknya. Ia kemudian duduk di sofa yang berada cukup jauh dari ketiga pria tersebut dan langsung memainkan ponselnya untuk mengatasi kecanggungannya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.