Bara

Suspicious Witness 12



Suspicious Witness 12

0Axel berjalan menuju mobilnya. Begitu tiba di depan mobilnya, Axel merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Supir pribadinya. Ekspresi wajah Supir pribadinya itu nampak tegang. Ia bahkan terus melirik ke arah bangku belakang. Seakan ia ingin memperingatkan Axel tentang sesuatu.     

Akan tetapi Axel tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Supir pribadinya dan tetap masuk ke belakang mobil. Ia terkejut begitu melihat ada orang lain yang sudah duduk di bangku belakang mobilnya.     

Ia hanya bisa tertawa kecil begitu menyadari Asisten pribadi eyangnya yang sudah menunggunya di dalam mobil. Akhirnya ia paham maksud tatapan yang diberikan oleh Supir pribadinya.     

"Waktunya berkunjung ke rumah eyangmu," ujar Asisten pribadi tenang.     

"Of course," sahut Axel sembari tersenyum. "Eyang pasti sangat ingin bertemu dengan cucu 'kesayangannya' ini."     

"Jalan, Pak. Malam ini Axel akan pulang ke rumah eyangnya." Perintah Asisten pribadi Hanggono kepada Supir pribadi Axel.     

Sekali lagi, Axel hanya bisa menghela napas panjang. Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi di rumah itu. Hanggono pasti akan membahas tentang skandal yang kini bukti-buktinya berada di tangan Axel.     

----     

Bara tiba di apartemen tempat Arga dan yang lainnya berada. Begitu tiba ia langsung meminta semuanya untuk berkumpul.     

"Axel cuma berterima kasih sama tawaran dari gue. Tapi, dia bilang itu ngga perlu," terang Bara pada Arga, Ben dan Reno.     

Ben langsung mengernyitkan dahinya. "Kenapa dia nolak?"     

Bara menghela napasnya. "Dia bilang, Hanggono ngga akan macam-macam sampai hari operasi dia sama bokapnya."     

"Nah, setelah operasi gimana?" sela Arga.     

Bara hanya bisa mengangkat bahunya. "Dia udah pasrah banget kayanya."     

"Mereka operasi di rumah sakit punya keluarga lu, kan?" tanya Reno pada Bara.     

"Kayanya iya," jawab Bara.     

"Lu bisa, kan, koordinasi sama Pak Agus buat ningkatin keamanan di sekitar kamar rawat Axel nanti?" Reno kembali bertanya.     

Bara menganggukkan kepalanya. Matanya tiba-tiba membulat setelah pertanyaan kedua yang diajukan Reno. "Gue tau arah pertanyaan lu kemana."     

Reno langsung mengangguk cepat. "Hanggono mungkin aja ngincer saat dimana Axel ngga bisa apa-apa. Setelah operasi bisa jadi kesempatan yang bagus buat menghabisi Axel."     

"Gue bakal minta data tentang Dokter dan semua Perawat yang akan ikut dalam operasi itu. Kita harus pastiin Axel aman selama sebelum, sesudah dan pada saat operasi," ujar Bara.     

Ketiganya segera mengangguk.     

"Permisi kalau boleh menyela." Ibu Kasmira tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka.     

"Iya, Bu," sahut Bara.     

"Sepertinya saya bisa memasukkan orang untuk melindungi Axel," ujar Ibu Kasmira.     

"Gimana caranya?" tanya Ben.     

Ibu Kasmira tersenyum pada Ben. "Saya ini mantan pengasuhnya Axel. Tentu saya kenal kedua orang tuanya."     

Keempatnya kompak mengernyitkan dahi.     

"Saya kenal dengan papanya," ujar Ibu Kasmira.     

"Papanya Axel, berarti anaknya Hanggono, dong?" seru Reno.     

Ibu Kasmira menganggukkan kepalanya. "Tenang saja, meskipun mereka Bapak Anak, tapi, sifat keduanya sangat jauh berbeda."     

"Ibu bisa bantu supaya Arga bekerja sebagai Supir pribadi Axel?" tanya Bara.     

"Itu urusan mudah. Kalau menyangkut Axel, papanya pasti akan melakukan apa saja," sahut Ibu Kasmira. "Ben, pinjam handphone kamu sebentar."     

"Kenapa harus handphone saya?" sahut Ben tidak setuju.     

"Sudah cepat, sini," sergah Ibu Kasmira.     

Ben melirik kesal pada Ibu Kasmira. Namun, pada akhirnya ia menyerahkan ponselnya pada Ibu Kasmira.     

"Tenang, saya yang akan hapus jejak panggilan ini nanti," ujar Ibu Kasmira seraya menerima ponsel milik Ben. "Semoga dia belum ganti nomor." Ibu Kasmira mengetikkan nomor telepon pada ponsel milik Axel. Ia sedikit menghela napasnya sebelum menyentuh tombol berwarna hijau.     

Ibu Kasmira harap-harap cemas. Namun, begitu ia menyentuh tombol berwarna hijau dan langsung muncul nada panggil, ia langsung bernapas lega. Beberapa saat kemudian, terdengar suara seorang lelaki menjawab panggilan Ibu Kasmira.     

"Kamu ingat saya?" sapa Ibu Kasmira.     

"Kasmira?" sahut suara di telpon.     

"Apa kabar Cipta?"     

"Benar kamu Kasmira?" tanya Cipta tidak percaya.     

"Saya tidak punya banyak waktu. Saya cuma mau memberi peringatan pada kamu. Axel dalam bahaya."     

Cipta menghela napas panjang. "Sudah saya duga. Sejak dia menunjukkan kembali barang peninggalan Yasmin, saya sudah menduga bahwa Bapak akan langsung mengincarnya." Cipta kemudian berdecak pelan. "Kenapa kamu memberikan itu pada Axel. Sekarang dia yang harus berada dalam bahaya."     

"Saya ingin menawarkan bantuan saya untuk melindungi Axel. Berbeda dengan saat kita dulu melindungi Yasmin dan Axel. Kali ini, saya punya dukungan yang lebih solid." Ibu Kasmira menatap keempat anak muda yang sedang duduk di sekitarnya.     

"Apa rencana kamu?" sahut Cipta.     

"Saya akan mengirimkan seseorang pada kamu. Kamu tempatkan dia di posisi yang memungkinkannya untuk terus bersama Axel."     

"Kapan kamu kirim orang itu?"     

"Besok. Saya yang tentukan tempatnya dan kamu yang akan menjemput orang itu disana." Tanpa menunggu Cipta kembali menjawab ucapanya, Ibu Kasmira segera mematikan sambungan telponnya. "Siapa yang akan melindungi Axel?"     

Bara, Ben dan Reno kompak menunjuk pada Arga.     

"Kamu bisa bela diri?" tanya Ibu Kasmira pada Arga.     

Dengan takut-takut Arga mengangguk.     

"Bisa pegang senjata?" Ibu Kasmira kembali bertanya.     

"Dia sudah punya lisensi menembak," jawab Bara.     

"Baiklah, saya harap kamu bisa melindungi Axel," timpal Ibu Kasmira.     

Tiba-tiba saja Ibu Kasmira mengamati keempatnya. "Kalian ini kombinasi yang menarik, ya. Pantas Ben betah satu tim dengan kalian."     

"Maksudnya?" sahutnya Reno.     

"Ya, kalian ini bisa dibilang paket lengkap." Ia kemudian menunjuk Bara. "Kamu, pertama lihat kamu, saya langsung tahu kalau kamu pasti yang mendanai ini semua. Tim dengan sumber dana tidak terbatas pastinya akan bekerja lebih maksimal. Apa kamu juga bisa bela diri?"     

Bara menggaruk-garuk tengkuknya seraya menganggukkan kepalanya.     

Ibu Kasmira berlanjut menatap Reno. "Kamu, bisa dibilang kamu ini kepanjangan tangannya Ben. Kemampuan hacking kamu cukup bagus dan kata Ben kamu pernah menyamar untuk mengikuti anak buah Hanggono."     

Reno hanya cengar-cengir mendengar ucapan Ibu Kasmira. Sementara itu Ibu Kasmira beralih pada Arga. "Saya perhatikan cara kerja kamu, meskipun kamu hanya bertugas untuk mengawasi, tapi saya lihat kamu teliti. Di tambah kamu ternyata punya lisensi untuk pegang senjata. Jujur saja, saya ngga nyangka muka alim seperti kamu ternyata mampu pegang senjata."     

Arga tertawa mendengar ucapan Ibu Kasmira. Namun kemudian tawanya memudar. "Mau ngga mau." Ia kemudian kembali terdiam.     

Ibu Kasmira menghela napas begitu melihat Ben. "Kalau kamu, saya sudah tahu apa yang bisa kamu lakukan. Karena saya sendiri yang melatih kamu." Ia kemudian mengedarkan pandangannya pada keempat pemuda itu. "Jadi, di antara kalian ada dua orang yang mampu memegang senjata tajam? Ben sama Arga?"     

"Tiga," sahut Arga.     

Ibu Kasmira langsung menoleh pada Arga. "Siapa satu lagi?"     

"Tuh," Arga menunjuk Bara dengan menggunakan dagunya.     

Ibu Kasmira mengerjapkan matanya. "Kamu juga punya lisensi menembak?"     

"Ya, begitulah," sahut Bara. "Kita sebenarnya ngga cuma berempat. Ada beberapa orang lagi, tapi mereka sifatnya accidental."     

Ibu Kasmira kembali tersenyum. "Mau berapa pun jumlah tim kalian tidak masalah. Selama kalian bisa terus bekerjasama seperti ini, menjatuhkan Hanggono hanya tinggal tunggu waktu saja."     

"Semuanya sudah diatur," timpal Bara.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.