Bara

Suspicious Witness 2



Suspicious Witness 2

0Axel kembali masuk ke dalam kamar tempat Raya dan Dijah berada. Ia menepuk pelan bahu Raya. "Kita makan dulu, Ray."     

Raya menoleh pada Axel. "Kapan beli makanannya?"     

"Barusan Penjaga yang bakal jagain rumah ini datang. Dia sekalian bawa makanan cepat saji buat kita." Axel lalu menatap Dijah yang sedang bersandar di kepala tempat tidur. "Ibu juga harus makan dulu."     

Dijah menatap Axel sembari tersenyum simpul. Ia mengangguk pelan. "Saya mau tidur dulu. Rasanya perjalanan kesini membuat saya lelah."     

"Tapi, daritadi Dijah belum makan," sahut Raya lembut. "Makan dulu, ya?"     

Dijah kembali menggeleng pelan. "Kalian saja yang makan duluan. Nanti saya menyusul." Ia kemudian merebahkan tubuhnya di kasur dan meringkuk membelakangi Raya dan Axel.     

Raya menatap pasrah pada Axel. "Gimana, dong?"     

Axel mengangguk pasrah. "Ya mau gimana lagi. Biarin aja dia tidur dulu."     

Raya mengusap lembut kepala Dijah sambil menghela napas panjang. Ia kemudian bangkit berdiri. "Yaudah, yuk."     

Raya dan Axel akhirnya meninggalkan Dijah seorang diri di kamar dan keluar dari kamar tersebut.     

----     

"Loh, Ibu Dijah mana?" tanya Reno begitu melihat hanya Raya dan Axel yang muncul di meja makan.     

"Dia katanya mau tidur dulu," jawab Raya.     

Reno dan Dirga kompak saling lirik.     

"Oh, ya. Kita belum kenalan, Pak," ujar Raya tiba-tiba. Ia menatap Dirga yang berdiri di sebelah Axel.     

Dirga langsung menoleh pada Raya. "Saya Dirga, yang akan menjaga rumah ini." Ia mengulurkan tangannya pada Raya.     

Raya menyambut uluran tangan Dirga. "Raya. Kebetulan Ibu Dijah masih kerabat saya. Tolong dijaga ya, Pak."     

Dirga tersenyum sembari mengangguk pada Raya. "Tenang saja. Serahkan pada saya."     

Raya balas tersenyum dan melepaskan jabat tangannya. "Terima kasih."     

"Udah, yuk. Makan dulu. Gue udah laper, nih," seru Reno. Ia langsung mengambil sekotak makanan berisi dua buah ayam goreng tepung disertai dengan nasi dan langsung menyantapnya.     

Axel ikut mengambil makanan yang dibawa oleh Dirga. Begitu pula dengan Raya. Keempatnya makan bersama di ruang makan, sementara Dijah tertidur di kamar. Mereka menyisihkan sekotak makanan dan minuman yang akan mereka berikan pada Dijah pada saat dia bangun nanti.     

----     

Maya dan Bara bersantai di teras belakang rumah sambil menikmati teh hangat dan tentu saja pisang goreng buatan Mbok Inah.     

"Gue heran, deh," ujar Maya tiba-tiba.     

"Heran kenapa?"     

"Kenapa Juru Masak keluarga Pradana masakannya enak-enak semua," jawab Maya sembari menyuapkan sepotong pisang goreng ke dalam mulutnya.     

"Katanya diet," sindir Bara.     

"Kayanya gue ngga bisa diet hari ini."     

Bara tertawa pelan mendengar ucapan Maya. "Ya udah makan. Khusus hari ini ngga usah mikirin diet."     

"Besok temenin gue olahraga di gym, ya," pinta Maya pada Bara.     

"Oke, nanti gue sesuain jadwal gue."     

Maya tersenyum dengan mulut penuh pisang goreng. "Hank hu."     

Bara tertawa pelan. "Makan pelan-pelan, nanti keselek."     

Maya tertawa sambil mengunyah pisang goreng yang ada di mulutnya. Wajahnya terlihat sangat menikmati pisang goreng buatan Mbok Inah. Bara yang memperhatikannya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sudah lama ia tidak melihat Maya makan sebanyak tadi karena diet ketat yang sedang ia jalani untuk persiapan penampilannya pada pekan mode Milan.     

Selesai mengunyah pisang goreng yang sedang ia makan, tanpa sengaja Maya bersendawa dengan cukup kencang. "Ups, sorry." Ia menutup mulutnya sembari menoleh pada Bara.     

Bara hanya tersenyum menanggapi. "Santai aja, May. Itu tandanya lu benar-benar menikmati makanan disini."     

Maya terkekeh. "Bukan menikmati lagi, gue sampai mau ngebajak Mbok Inah."     

"Ngapain ngebajak Mbok Inah kalo nantinya juga lu bakal tinggal disini." Bara menimpali ucapan Maya sambil membaca laporan di layar iPadnya.     

Maya terheran-heran dengan maksud ucapan Bara. "Hah? Maksudnya?"     

Bara kemudian terdiam dan mengangkat wajahnya dari layar iPad. Ia lalu menoleh pada Maya. "Emang gue ngomong apa barusan?"     

Maya seketika tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Bara. "Ngga usah dibahas. Yang penting gue udah tahu isi hati lu." Maya kembali tertawa sampai membuat pipinya memerah.     

"Seriusan, gue ngomong apa tadi?" tanya Bara penasaran.     

"Udah, ngga penting lu ngomong apa tadi. Gue ngga bakal ngomongin soal bajak membajak Mbok Inah lagi." Maya tersenyum lebar sambil menatap Bara. "Thank you."     

Bara justru keheranan dengan ucapan Maya. "Thank you buat apa?"     

"Thank you for loving me that much."     

Seketika pipi Bara merona mendengar ucapan Maya. Ia kemudian menghela napas panjang lalu tersenyum lebar pada Maya. "Sini, deh."     

"Kenapa?"     

"Udah, sini. Duduk sama gue," pinta Bara.     

Maya mengerutkan keningnya. "Bukannya lu ngga boleh angkat yang berat-berat?"     

"Lu, sih, ngga berat. Lagian ngapaian gue ngangkat lu disini."     

Maya tersenyum menggoda Bara. "Hayoo, mau ngapain?" Ia teringat dengan Bara yang selalu mengangkatnya ketika ia membawanya ke tempat tidur.     

Bara yang tidak sabar akhirnya berdiri dan berjalan ke tempat duduk Maya. Ia menarik Maya hingga berdiri lalu duduk di tempat duduk Maya. Setelah itu ia kembali menarik Maya untuk duduk di pangkuannya. "Gue cuma mau begini aja susah banget, sih." Bara pun akhirnya memeluk Maya yang ada di pangkuannya.     

Ia menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Maya dan menghirup aromanya dalam-dalam. Pipi Maya mau tak mau bersemu merah akibat perlakuan Bara. "Ntar diliat Tante Rania, loh."     

"It's okay. Mama tau, kok, apa yang bikin anaknya bahagia."     

Maya mengulum senyumnya. "Jadi, gue bikin lu bahagia?"     

Bara mengangguk dalam lekuk leher Maya dan kembali menghirup dalam-dalam aroma tubuh Maya.     

"Gue mau jujur sama lu," ujar Maya.     

"Jujur soal apa?"     

Maya bergumam sejenak. "Kalo lu begini terus, bisa-bisa gue horny beneran," ujar Maya sedikit berbisik.     

Bara tiba-tiba menjauhkan wajahnya dari lekuk leher Maya. Ia menatap Maya tidak percaya. Sementara itu Maya menoleh dan menatap Bara. Pipi Maya sudah bersemu merah. Tanpa di duga-duga, Maya mengalungkan lengannya di leher Bara dan langsung mencium bibir Bara dengan ganas.     

Bara memeluk erat tubuh Maya dan menikmati setiap detik ciuman yang sedang mereka lakukan.     

-----     

Rania yang sedari tadi memperhatikan keduanya dari dalam rumah hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat keduanya yang sedang dimabuk asmara. Ia langsung menangkap tangan Mbok Inah yang tiba-tiba lewat sambil membawa baki berisi cemilan.     

"Nanti, aja, Mbok. Lihat, tuh." Rania menunjuk ke arah teras yang menghadap ke taman belakang rumah.     

Mbok Inah mengikuti arah mata Rania. "Oalah."     

"Makanya jangan kesana. Nanti malah merusak suasana. Taruh saja makanannya di meja."     

Mbok Inah segera menaruh baki berisi makanan yang ia bawa ke atas meja makan. Selanjutnya ia kembali menghampiri Rania. "Ibu sudah siap mantu?"     

Rania menoleh sambil mengangkat ujung bibirnya. "Kalau Bara sudah siap, saya juga harus siap menerima anggota keluarga baru di rumah ini." Ia berhenti sejenak dan mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah lalu kembali menatap Mbok Inah. "Mungkin kita juga harus siap-siap mendengar suara anak kecil lagi di rumah ini."     

"Kalau itu, saya selalu siap. Kalau Mas Bara sama Mbak Maya menikah, pasti anak-anaknya akan tampan dan cantik."     

Rania tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inah. "Kita doakan saja yang terbaik buat mereka berdua."     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.