Bara

The White Orchid 8



The White Orchid 8

0Pagi hari Pak Haryo sudah bersiap untuk kembali menjenguk Pak Angga, setelah dua hari kemarin ia absen menjenguk Pak Angga karena merasa tidak enak badan. Pak Agus seperti biasa, mengikutinya tanpa banyak bicara. Ia tidak mau membahas masalah yang terjadi antara Pak Haryo dan Pak Angga.     

Namun, Pak Agus melihat ada yang sedikit berbeda dengan wajah Pak Haryo pagi ini. Wajah Pak Haryo terlihat lebih cerah daripada kemarin.     

"Kayanya mood kamu hari ini lagi bagus," ujar Pak Agus yang memperhatikan Pak Haryo terlihat lebih banyak tersenyum.     

Pak Haryo tersenyum menanggapi ucapan Pak Agus. "Angga mengajak saya main catur hari ini."     

Pak Agus menatap Pak Haryo tidak percaya. "Kapan dia mengajak kamu?"     

"Semalam," jawab Pak Haryo cepat. Ia kemudian memilih-milih koleksi papan caturnya yang tersimpan rapi di dalam lemari kaca yang ada di ruang keluarganya. "Kira-kira saya harus bawa papan yang mana?" Pak Haryo menoleh pada Pak Agus.     

"Semua sama saja. Tapi saran saya jangan bawa yang terlalu bagus, sayang kalau nanti dibanting lagi sama Angga. Bawa saja papan biasa," ujar Pak Agus.     

Pak Haryo melongo mendengar ucapan Pak Agus. Tetapi kemudian ia mengangguk. "Sepertinya itu ide bagus." Ia tertawa pelan. "Saya juga ngga mau jidat saya kena pukul papan catur lagi."     

"Nah," sahut Pak Agus.     

"Bisa kamu ambilkan papan catur yang ada di ruang keamanan?"     

Pak Agus mengangguk pasrah. Ia hendak pergi meninggalkan Pak Haryo di ruang kerjanya ketika Pak Haryo kembali memanggilnya.     

Begitu Pak Agus kembali menoleh, Pak Haryo membuka lemari kacanya dan mengambil salah satu papan catur miliknya. "Ngga jadi, saya bawa papan milik saya saja."     

Pak Agus memandangi papan catur yang saat ini sedang dipegang oleh Pak Haryo. Papan itu sudah terlihat sangat usang. Cat putihnya bahkan sudah berubah kekuningan. "Sejak kapan kamu punya papan butut begitu."     

"Ini milik saya yang saya bawa dari rumah di Solo," jawab Pak Haryo. "Dulunya milik Bapak saya."     

Pak Agus hanya menggut-manggut mendengar ucapan Pak Haryo. "Ya sudah kalau begitu. Mau berangkat kapan?"     

"Sebentar lagi. Saya sudah minta sama bagian dapur untuk menyiapkan bekal untuk saya dan Angga bermain catur."     

Pak Agus tertawa pelan. "Memangnya kalian mau piknik. Pakai bawa bekal segala."     

Pak Haryo tidak mempedulikan cibiran Pak Agus dan melangkah menuju teras rumahnya. Pak Agus hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Tetapi kemudian dia menyusul Pak Haryo. Keduanya duduk menikmati teh hangat yang sudah disediakan di pingir kolam renang sambil menunggu bekal yang akan dibawa Pak Haryo siap.     

----     

Rania menghampiri Bara yang sedang duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman belakang rumah. Ia meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja kopi yang ada di sebelah kursi yang Bara duduki. Bara menoleh dan melihat pisang goreng yang baru saja dibawa mamanya yang masih mengepulkan asap panas.     

"Kayanya kalo aku kelamaan tinggal disini, otot-otot aku bakal balik jadi lemak lagi," canda Bara.     

Rania tertawa mendengar ucapan Bara. "Mbok Inah terlalu bersemangat karena kita berdua kembali tinggal disini. Tangannya jadi ngga mau diam."     

Bara mencomot pisang goreng yang masih panas itu dan meniupinya. "Tapi, harus aku akui kalau pisang goreng Mbok Inah ini enak banget." Ia kemudian mengigit ujung pisang goreng yang ia pegang.     

Rania tersenyum lalu menyesap teh chamomile miliknya. Selesai menyesap tehnya, Rania menghela napas panjang. "Hari ini sepertinya sunyi sekali."     

"Iya, daritadi aku disini, angin aja ngga ada," sahut Bara.     

Rania dan Bara kemudian terdiam sembari memperhatikan keadaan di sekeliling mereka.     

"Kamu mau makan siang apa nanti?" tanya Rania.     

Bara menoleh pada Rania sambil menaikkan satu alisnya. "Apa ya?"     

"Tatapan kamu kenapa jadi kaya gitu?"     

Bara terkekeh.     

"Kamu makin mencurigakan aja."     

"Aku bayangin makan pete goreng sama sambel," ujar Bara sembara tertawa pelan.     

"Yakin kamu mau makan pete?"     

Bara mengangguk. "Udah lama banget ngga makan pete. Barusan bayangin pete sama sambel kayanya enak."     

Rania tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Tapi Mama ngga tanggung jawabnya kalo Maya protes kamu bau pete."     

"Kan, bisa sikat gigi habis itu," sahut Bara sambil memainkan kedua alisnya.     

"Ya udah, Mama kasih tahu Mbok Inah. Kamu hati-hati nanti kalo makan sambelnya Mbok Inah."     

"Hati-hati kenapa? Pedes? Kalo pedes, sih, ngga takut."     

Rania menggeleng. "Hati-hati ketagihan."     

Bara tertawa pelan. "Ya kalo ketagihan Mbok Inahnya juga masih disini. Tinggal minta bikinin lagi."     

"Bisa aja kamu." Rania berdiri sambil mengelus kepala Bara. Ia kemudian kembali berjalan masuk ke dalam rumah untuk menemui Mbok Inah yang masih setia berada di dapur. Sementara Bara kembali mencomot pisang goreng Mbok Inah dah menyuapkannya ke dalam mulutnya.     

----     

Pak Haryo turun dari mobilnya. Dengan menenteng tas berisi papan catur dan bekal yang sudah disiapkan oleh Asisten rumah tangganya, ia berjalan menuju ruangan tempat Pak Angga dirawat. Senyuman tidak tidak terlepas dari wajahnya. Ia menyunggingkan senyumnya pada semua orang yang dilewatinya.     

Ia bahkan menyempatkan diri untuk berhenti sebentar di taman yang berada di tengah bangunan tersebut dan membagikan beberapa makanan yang ia bawa dari rumah kepada para lansia yang kebetulan sedang berada disana. Mereka sempat bersenda gurau sebentar, sebelum akhirnya Pak Haryo kembali melanjutkan langkahnya.     

Suasanya yang tadinya sedikit ramai, semakin berubah sunyi ketika Pak Haryo mulai memasuki bangunan dimana ruang rawat Pak Angga berada. Hanya ada cicit burung keci yang bertengger di pinggir jendela yang menemani langkahnya menuju ruang rawat Pak Angga.     

Seorang Perawat yang berjaga di depan ruang rawat Pak Angga tersenyum begitu melihat Pak Haryo berjalan mendekat ke arahnya.     

"Bagaimana keadaannya?" tanya Pak Haryo pada Perawat tersebut.     

"Sepertinya mood Pak Angga juga sedang bagus hari ini," jawab Perawat yang menjaga Pak Angga.     

"Baguslah kalau begitu. Saya sudah bawa ini." Pak Haryo menunjukkan tas yang ia bawa pada Perawat tersebut.     

Perawat itu tersenyum pada Pak Haryo sembari membuka pintu ruang rawat Pak Angga. Pak Haryo balas tersenyum dan masuk ke dalam ruang rawat Pak Angga.     

Baru beberapa saat Pak Haryo melangkah masuk ke dalam ruang rawat Pak Angga, tiba-tiba Perawat yang berjaga di luar keheranan melihat Pak Haryo yang mundur melewati pintu ruangan tersebut. Tas yang dibawa Pak Haryo terjatuh ke lantai.     

"Ada apa, Pak?" tanya Perawat itu pada Pak Haryo.     

Pak Haryo diam tidak menjawab. Matanya menatap nanar ke dalam ruang rawat Pak Angga. Perawat yang kebingungan akhirnya menoleh. Matanya membelalak melihat apa yang terjadi di dalam ruang rawat Pak Angga. Ia pun segera memanggil Petugas jaga yang lain sembari berlari ke arah Pak Angga yang sudah tergantung di jendela kamarnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.