Bara

Est-ce La Fin? 1



Est-ce La Fin? 1

0Ibu Kasmira akhirnya keluar dari apartemen yang ditempati Ben dan yang lainnya. Ia keluar pada pagi-pagi buta di saat Ben dan yang lainnya masih tertidur. Sebelum pergi, ia sempat memandangi Ben yang masih tertidur di sofa.     

"Bye, Ben," ujar Ibu Kasmira pelan. Ia menyelipkan sesuatu di tangan Ben. Setelah itu ia pergi meninggalkan Ben.     

Tanpa Ibu Kasmira sadari, Ben sebenarnya sudah bangun saat ia berpamitan padanya dan menyelipkan sebuah kertas di tangannya. Ben menggenggam erat kertas tersebut tidak lama setelah Ibu Kasmira keluar melewati pintu apartemen. Ia menghela napas panjang. Entah mengapa hatinya sedikit terasa berat melepaskan Ibu Kasmira yang kembali pergi meninggalkannya.     

-----     

Pagi hari di dalam apartemen, Arga keluar dari kamar dan terkejut melihat Ben yang sudah kembali duduk di depan meja kerjanya. "Lu ngapain?"     

Ben tersenyum menyambut Arga yang baru keluar dari kamarnya. "Iseng aja. Tangan gue gatel ngga nagapa-ngapain."     

Arga geleng-geleng kepala mendengar jawaban yang diberikan Ben. "Lu ngga siap-siap buat besok?"     

"Apanya yang harus disiapin? Tinggal bawa baju doang, kan?" sahut Ben.     

"Hmm," gumam Arga. "Iya juga, sih. Harus nyiapin apa, ya? Semuanya pasti udah disiapin sama Bara." Ia menyengir pada Ben.     

"Laper ngga lu?" tanya Ben.     

"Laper, lah," sahut Arga cepat.     

"Tuh." Arga menunjuk ke arah meja makan. "Tadi gue abis olahraga sebentar. Pulangnya beli nasi uduk buat kalian."     

"Mana nasi uduk?" ujar Reno tiba-tiba.     

Arga terkesiap dan menoleh ke belakangnya. Reno sudah berdiri di bibir pintu dengan mata yang masih setengah terbuka dan hanya mengenakan celana boxer.     

"Lap dulu, tuh, iler. Baru nanyain nasi uduk," ujar Arga.     

"Bodo amar. Gue laper." Ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan langsung membuka bungkusan nasi uduk yang sudah dibelikan Ben.     

Ben geleng-geleng kepala melihat tingkah Reno. Sementara itu, Arga segera menyusul Reno ke meja makan dan ikut membuka bungkusan nasi uduknya.     

"Pelan-pelan makannya," seru Ben tanpa memalingkan perhatian dari layar monitornya. Ia tersenyum melihat titik merah yang berkedap-kedip di layar monitornya. Ibu Kasmira ternyata tidak benar-benar pergi meninggalkannya kali ini. Ia membiarkan tracking miliknya tetap menyala hingga Ben bisa terus mengetahui posisinya.     

----     

Ibu Kasmira berdiri di depan sebuah makam yang terletak di pinggir kota Jakarta. "Ini semua adalah awal yang baru dari apa yang sudah kamu mulai. Banyak yang akan melanjutkan perjuangan kamu, Yasmin." Ia kemudian meletakkan buket bunga calla-lily putih di atas makam Yasmin.     

Ia menundukkan kepalanya dan berdoa untuk Yasmin yang sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Tiba-tiba saja seseorang sudah berdiri di sebelah Ibu Kasmira. Orang tersebut meletakkan karangan bunga baby's breath di atas makam Yasmin.     

Ibu Kasmira menoleh dan memandangi orang yang berdiri di sebelahnya. "Rupanya kamu masih mencintai Yasmin."     

"Saya ngga pernah berhenti mencintainya," ujar Cipta sembari menoleh pada Ibu Kasmira.     

"Bagaimana keadaan Axel?" tanya Ibu Kasmira.     

Cipta mengangguk. "Baik, untungnya kecelakaan kemarin tidak terlalu fatal. Tapi, saya masih tidak menyangka kalau Bapak sampai bertindak sejauh itu."     

Ibu Kasmira menghela napas panjang. "Bukannya memang dari dulu Bapak kamu tidak suka dengan kehadiran Axel. Sekarang bagaimana?"     

"Bagaimana apanya?" tanya Cipta kebingungan.     

"Kamu lihat sendiri, kan, apa yang dilakukan Axel. Menurut kamu, mereka akan diam saja setelah kalian melemparkan kotoran di wajah mereka?"     

"Rasanya saya ngga perlu khawatir soal itu. Masa kekuasaan keluarga mereka semakin lama semakin memudar. Polisi juga sudah berani menyelidiki masalah itu sampai tuntas. Peta kekuasaan sudah bergeser sekarang," ujar Cipta.     

Ibu Kasmira tertawa mendengar ucapan Cipta. "Jadi, kamu akan mengikuti jejak bapakmu untuk terjun ke dunia politik?"     

"Bukannya ini momen yang pas buat saya untuk terjun ke dunia politik. Setidaknya di sisa terakhir hidupnya, Bapak masih mengungkapkan tentang skandal itu. Dan itu bisa sangat membantu saya untuk meraih simpati."     

Ibu Kasmira hanya menghela napas panjang. "Darah memang lebih kental daripada air." Ia kemudian menepuk bahu Cipta. "Setidaknya jangan menjadi terlalu busuk seperti bapakmu. Karena kalau kamu sudah semakin busuk banyak ulat yang keluar dan kamu akan hancur dengan sendirinya."     

Cipta manggut-manggut mendengarkan ucapan Ibu Kasmira. "Terima kasih untuk sarannya. Saya akan ingat itu." Cipta lalu menatap Ibu Kasmira. "Sekarang kamu mau pergi?"     

"Iya, sudah waktunya saya pergi. Saya ingin menikmati kebun saya," jawab Ibu Kasmira.     

Cipta seketika mendengar ucapan Ibu Kasmira. "Kamu? Berkebun? Mengganti popok Axel saja tidak becus."     

Ibu Kasmira melirik sinis pada Cipta. "Itu karena saya ngga pernah pegang anak kecil dan kamu langsung meminta saya untuk menyamar sebagai pengasuh. Jadi, wajar kalau waktu itu saya tidak bisa mengganti popok."     

"Tapi, saya masih tidak percaya kamu bisa merawat sesuatu," sahut Cipta.     

"Kamu akan terkejut sama hasilnya. Biar begini saya sudah mendidik salah satu agen terbaik," timpal Ibu Kasmira.     

"Oh, ya? Kamu pernah mendidik seorang agen?" tanya Cipta tidak percaya.     

Ibu Kasmira melirik sembari tersenyum pada Cipta. "Mungkin suatu saat nanti, kamu akan mengenalnya."     

"Apa dia sekarang bekerja untuk BIN?" Cipta kembali bertanya.     

Ibu Kasmira menggeleng. "Kamu tidak akan menemukannya di BIN. Dia bagaikan laba-laba yang diam-diam mengawasi kamu. Dan dia sudah menentukan akan memberikan kesetiaannya pada siapa. Jadi, jangan harap kamu bisa membujuknya bekerja untuk kamu."     

Cipta menganggukkan kepalanya. "Kalau kamu sampai memujinya seperti itu, sepertinya saya harus percaya kalau kamu memang sudah mendidik seorang agen hebat."     

"Saya pergi dulu," ujar Ibu Kasmira sembari menepuk bahu Cipta. Ia kemudian pergi meninggalkan Cipta yang masih berdiri di depan makam Yasmin.     

"Jangan lupa kirim hasil kebun kamu," seru Cipta pada Ibu Kasmira.     

Ibu Kasmira terus melanjutkan langkahnya sembari melambaikan tangannya pada Cipta tanpa menoleh sedikit pun. Cipta tertawa pelan melihat Ibu Kasmira yang pergi begitu saja. Ia kemudian kembali menatap makam Yasmin. "Mulai saat ini, saya akan menjaga Axel dengan baik. Kamu bisa awasi saya dari atas sana."     

Cipta membelai sebentar nisan yang bertuliskan nama lengkap Yasmin. Setelah itu, ia pergi meninggalkan makam tersebut.     

----     

Raya terkejut dengan kehadiran Maya dan Kimmy yang tiba-tiba datang menjemputnya di rumah sakit. "Kenapa kalian berdua yang jemput gue?"     

"Salah kalo kita yang jemput?" ujar Maya.     

Kimmy melirik jahil pada Raya. "Atau lu nunggu orang lain buat jemput? Hayo ngaku."     

Raya terkesiap kemudian menggeleng cepat. "Ngga, gue ngga nungguin siapa-siapa, kok."     

"Yakin?" Sekali lagi Kimmy melirik jahil pada Raya.     

Raya kembali mengangguk meski ia sedikit kikuk ditatap Kimmy dengan tatapan ingin tahu.     

"Udah, yuk," sela Maya. Matanya kemudian memperhatikan barang-barang milik Raya yang sudah ada di atas ranjang rumah sakit. "Barang-barang lu cuma ini aja, Ray?"     

"Iya," jawab Raya.     

Sambil menghela napasnya, Maya langsung memasukkan barang-barang milik Raya ke dalam tas. "Biar kita cepet keluar dari sini."     

Raya segera membantu Maya yang sedang merapikan barang-barangnya. Begitu semua barang miliknya masuk di dalam satu tas jinjing yang sudah Raya persiapkan, mereka bertiga akhirnya keluar dari ruang rawat Raya.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.