Bara

When The Sky is Falling (3)



When The Sky is Falling (3)

0"Bara, ayo cepat!" teriak Mahesa.     

Rania keluar dari dalam rumah dan segera membantu Mahesa untuk memasukkan barang bawaan mereka kedalam mobil.     

"Bara belum siap?" tanya Mahesa pada Rania.     

"Dia masih sibuk memilih buku untuk dibaca bersama Eyangnya," jawab Rania.     

"Tapi kita harus segera berangkat."     

"Sabar, sebentar lagi juga dia keluar."     

Mahesa melirik nakal kearah Rania, "Sambil menunggu Bara," Mahesa menarik Rania kepelukannya.     

Rania terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan Mahesa, "Apa, sih."     

Mahesa membelai lembut wajah Rania, "Sejak kapan istri saya jadi secantik ini," godanya.     

Wajah Rania merona mendengar perkataan Mahesa. Mahesa terus membelai wajah Rania sambil sesekali merapikan rambut Rania yang jatuh di wajahnya. Perlahan Mahesa mendekatkan wajahnya ke wajah Rania.     

"Nanti kalau dilihat Bara, gimana?" bisik Rania.     

"Ngga apa-apa, biar dia tahu, kalau Papa dan Mamanya saling mencintai," Mahesa menatap Rania sambil tersenyum lembut.     

Mahesa semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Rania hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Mahesa mulai mengecup lembut bibir Rania. Rania balas mengecup bibir Mahesa. Keduanya menutup mata, bibir mereka saling berpagut mesra. Rania mulai mengalungkan lengannya pada leher Mahesa. Sementara Mahesa semakin erat memeluk tubuh Rania.     

"Ayo, kita berangkat." teriak Bara sambil berlari kegirangan dari dalam rumah.     

Seperti pasangan muda yang digrebek warga saat sedang bermesraan, Mahesa dan Rania yang terkejut, segera melepaskan pelukan masing-masing.     

"Ups," ujar Bara ketika berhenti disebelah kedua orang tuanya yang terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.     

Mahesa berjongkok didepan Bara, "Kamu mau baca apa sama Eyang nanti?" tanyanya.     

"Ini," Bara menunjukkan buku kumpulan cerita Sherlock Holmes pada Mahesa.     

Mahesa terheran-heran dengan pilihan buku yang dibawa Bara.     

"Ayo, kita berangkat," Mahesa tersenyum pada Bara dan mengusap lembut kepalanya. Mahesa kemudian berdiri dan membukakan pintu belakang untuk Bara.     

"Serius, dia mau baca Sherlock sama Bapak?" bisik Mahesa pada Rania sambil membukakan pintu untuknya.     

Rania tersenyum sambil melirik kearah Bara yang sudah duduk di jok belakang, "Dia itu memang jiplakan kamu."     

"I love you," Rania mengecup pelan pipi Mahesa sebelum masuk kedalam mobil.     

Mahesa membalas ucapan Rania dengan tersenyum lebar hingga menunjukkan seluruh deretan gigi depannya. Setelah Rania dan Bara sudah berada didalam mobil, Mahesa segera menyusul masuk kedalam dan duduk di kursi pengemudi.     

"Kita berangkat sekarang?" tanya Mahesa pada Bara.     

"Iya," jawab Bara lantang.     

"Kalau begitu," Mahesa menurunkan rem tangan sambil menoleh kearah Rania dan Bara.     

"Let's go!" teriak ketiganya kompak.     

Mereka berangkat menuju Lembang dengan riang.     

Sepanjang perjalanan mereka bertiga terlihat sangat bahagia. Mereka tidak henti bernyanyi dan bercanda sepanjang perjalanan. Canda tawa menghiasi perjalanan mereka, sampai tiba di suatu titik, Mahesa mulai menyadari ada kendaraan yang mengikuti mereka. Perjalanan yang tadinya riang berubah menjadi hening dan penuh ketegangan. Bara mendengar kedua orang tuanya berbicara, namun Bara tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.     

"Rania, kamu percaya pada saya kan?" tanya Mahesa tiba-tiba.     

"Tentu saja, kenapa kamu masih mempertanyakannya," jawab Rania.     

"Kalau begitu kamu harus percaya dengan rencana yang sudah saya buat, saya sudah memperhitungkannya masak-masak," ujar Mahesa.     

"Maksud kamu, rencana yang tempo hari kamu bicarakan pada saya?" Rania balik bertanya.     

Mahesa mengangguk.     

"Memangnya kamu sudah mempersiapkannya?" Rania kembali bertanya.     

Mahesa melirik kalung liontin berlian yang ia berikan pada Rania, "Kalung itu bagian dari rencana saya."     

"Maksud kamu?"     

Mahesa memegang kalung yang berlian pemberiannya pada Rania dan menekan salah satu dari deretan berlian yang ada disana.     

"Saya sudah mengaktifkan pelacaknya, bantuan akan datang," terang Mahesa.     

Rania menatap Mahesa tidak percaya. Rania tidak mengetahui bahwa Mahesa sudah menyelipkan sebuah pelacak pada liontin miliknya.     

"Tapi, rencana kamu terlalu beresiko, bagaimana jika rencana kamu tidak berjalan sesuai rencana?" Rania mulai tidak yakin dengan rencana yang sudah dipersiapkan Mahesa.     

Mahesa terdiam mendengar ucapan Rania. Selalu ada resiko dari setiap keputusan yang dibuat. Keputusan itulah yang kelak menentukan arah hidup kita. Dan kali ini, keputusan yang akan Mahesa buat akan sangat mempengaruhi kelangsungan keluarga mereka.     

"Kamu lihat," Mahesa melirik kearah kaca spion mobilnya, "Mobil itu sedari tadi sudah mengikuti kita."     

Rania menoleh kebelakang dan melihat sebuah mobil jeep hitam yang sedang mengikuti kendaraan yang sedang mereka naiki.     

"Bara, pasang sabuk pengaman kamu," Rania memerintahkan Bara untuk kembali memakai sabuk pengaman yang dia lepaskan.     

"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Bara polos.     

"Karena kita akan mengebut," jawab Rania sambil tersenyum.     

"Asyik, Papa mau ngebut," Bara kembali terlihat riang ketika rania mengatakan bahwa mereka mau mengebut.     

Rania kembali mengalihkan pandangannya kedepan.     

"Baiklah, saya akan mengikuti rencana kamu, ini semua demi keluarga kita," ucap Rania.     

Dengan berat hati, Rania bersedia untuk mengikuti keputusan yang sudah diambil Mahesa. Meskipun, dia menganggap rencana Mahesa ini lebih seperti sebuah misi bunuh diri.     

"Maafkan saya, saya sudah membawa kamu dan Bara kedalam bahaya seperti ini."     

"Kamu tidak perlu meminta maaf, sejak awal kita berdua sudah tahu konsekuensinya akan seperti apa,"     

"Terima kasih, kamu sudah mendampingi saya sampai sejauh ini, kalian berdua adalah hal terindah yang hadir dalam hidup saya," Mahesa menyampaikan rasa terima kasihnya pada Rania yang sudah mendampinginya.     

Mahesa menggenggam lengan Rania.     

"I love you," Mahesa mencium lembut punggung tangan Rania.     

Rania memandangi Mahesa dengan perasaan yang campur aduk, "I love you too," balas Rania.     

Rania mulai menguatkan hatinya dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Rania berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, dia akan melanjutkan rencana yang sudah disusun oleh Mahesa.     

Mahesa mulai mempercepat laju kendaraannya. Kendaraan yang mengikuti mereka juga ikut mempercepat lajunya untuk menyusul laju kendaraan yang ditumpangi Mahesa sekeluarga.     

Bara yang semula kegirangan perlahan ketakutan karena mobil yang ditumpanginya semakin cepat.     

"Papa, aku takut!" teriak Bara dari kursi belakang.     

"Bukannya kamu suka kalau Papa ngebut?"     

"Tapi ini terlalu cepat."     

"Bara, kamu ingat apa yang sering Papa bilang?" ucap Mahesa sambil melirik Bara dari kaca spion.     

"Jagoan tidak boleh takut pada apa pun!"     

"Kamu jagoan, kan?"     

"Iya,"     

"Kita sedang balapan, jadi kamu tidak boleh takut, mengerti?"     

"Iya."     

"Nah, itu baru jagoan Papa."     

"Aku pemberani, aku jagoan Papa Mama!" teriak Bara yakin.     

Mahesa dan Rania tersenyum mendengar apa yang diucapkan Bara. Dalam hati, mereka berdua sadar waktunya sudah semakin kritis.     

"Bara," Mahesa kembali memanggil Bara.     

"Iya, Pa," sahut Bara.     

"Kamu harus jadi seperti burung phoenix."     

"Memang apa hebatnya burung phoenix?"     

"Burung phoenix itu burung yang sangat kuat dan dia tidak bisa mati, kalau pun dia mati, dia akan bangkit kembali dari sisa-sia abunya."     

Mahesa menoleh ke belakang dan tersenyum hangat pada Bara. Bara membalasnya dengan tersenyum riang. Pada saat itu juga, Mahesa membanting setir mobilnya kearah berlawanan. Kondisi jalan yang basah membuat mobil itu hilang keseimbangan hingga terguling. Dari arah berlawanan muncul sebuah truk. Supir truk yang terkejut dengan kendaraan dari arah berlawanan yang tiba-tiba terguling dihadapannya, tidak sempat mengerem dan langsung menabrak mobil tersebut hingga kembali teguling sampai akhirnya terperosok ke area persawahan.     

****     

Bara tersadar dari mimpi buruknya dan langsung terduduk dengan napas terengah-engah. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat kepalanya seperti berputar, Bara meringis sambil memegangi kepalanya.     

"Tiduran dulu aja kalau masih pusing," ujar Kimmy yang sudah ada disebelah Bara.     

Bara menoleh sambil tetap memegangi kepalanya. Wajah Kimmy terlihat samar dimatanya.     

"Berapa lama gue ngga sadar?" tanya Bara perlahan sambil meringis menahan pusing.     

"Dua hari," jawab Kimmy.     

Kimmy kemudian bertanya, "Lu inget apa yang terjadi?"     

Bara memijat-mijat kepalanya dan mencoba mengingat-ingat apa yang dialaminya dua hari lalu.     

"Gue keluar dari lift terus ada yang nyerang gue dari belakang, gue coba ngelawan tapi orang itu nyuntik gue pake sesuatu."     

"Lu disuntik pakai penenang dengan dosis yang cukup tinggi, bahkan kata Dokter itu cukup buat melumpuhkan seekor Gajah, dengan kata lain, lu hampir mati gara-gara overdosis obat penenang."     

Bara terdiam dengan apa yang dijelaskan Kimmy. Lagi-lagi nyawanya hampir melayang.     

"Lu inget sebelumnya lu mau ngapain?" Kimmy kembali bertanya.     

Bara kembali mengingat-ingat apa yang hendak dilakukannya kala itu. Bara langsung terperanjat ketika mengingatnya, "Eyang."     

Bara kembali menoleh pada Kimmy. Kimmy tertunduk ketika Bara menyebut Eyang.     

"Eyang ada di Solo," ujar Bara pelan.     

"Ya, gue tahu."     

"Ada berita apa selama gue ngga sadar?"     

Kimmy terdiam sejenak.     

"Sebelumnya, gue mau minta lu tenang, karena lu juga baru sadar dan masih dibawah pengaruh obat penenang itu,"     

"Ada berita apa?"     

"Eyang," Kimmy menghentikan kalimatnya.     

"Ada apa sama Eyang?" Bara semakin tidak sabar dengan berita yang akan disampaikan Kimmy.     

Kimmy menatap mata Bara lekat-lekat, kemudian menundukkan wajahnya.     

"Eyang jadi korban keributan di Solo, dan saat ini Eyang jatuh koma," ucap Kimmy pelan.     

"Ha?" Bara membelalakan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari Kimmy.     

"Lu bohong, kan?"     

Kimmy kembali memandang wajah Bara. Kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. Bara sadar apa yang diucapkan Kimmy bukanlah sebuah kebohongan. Kimmy merunduk dan menyeka air mata yang sudah berada diujung matanya.     

"Gue harus segera kesana," Bara meraih selang infus yang terpasang dilengannya dan berusaha melepaskannya.     

"Lu mau ngapain?" Kimmy berusaha mencegah Bara melepaskan infusnya.     

"Lepas," Bara menampik lengan Kimmy yang berusaha mencegahnya.     

"Please, Bara, lu harus tenang, kondisi lu juga belum stabil," Kimmy memohon pada Bara sambil tetap berusaha mencegah Bara melepas selang infus yang ada di lengannya.     

"Disaat Eyang koma, lu masih bisa nyuruh gue buat tenang?" Bara mulai meninggikan suaranya.     

Kimmy terdiam.     

"Jawab!" bentak Bara.     

Kimmy hanya terdiam dan melepaskan tangannya. Bara berhasil melepas selang infus yang terpasang dilengannya dan beranjak turun dari ranjangnya. Begitu kakinya menjejak lantai rumah sakit, kepalanya kembali terasa berputar. Bara berpegangan pada pinggir tempat tidurnya. Bara berusaha melangkah, namun lantai dibawahnya terasa ikut berputar, hingga akhirnya Bara jatuh terduduk. Kimmy berjongkok dan memeluk Bara. Sambil terisak, Kimmy mencoba untuk membujuk Bara.     

"Please, gue mohon kali ini sama lu, setelah Dokter bilang kondisi lu sudah stabil, gue janji, kita akan langsung berangkat ke Solo."     

Bara bergeming dipelukan Kimmy. Yang ada dipikirannya kali ini hanyalah ingin segera melihat keadaan Pak Haryo dengan mata kepalanya sendiri.     

Kimmy melepaskan pelukannya dan menatap Bara.     

Bara balas menatap Kimmy, "Setelah Dokter bilang gue udah ngga kenapa-kenapa, kita langsung berangkat," ucap Bara tegas.     

Kimmy mengangguk, "Iya."     

Kimmy kemudian membantu Bara untuk berdiri dan kembali keranjangnya. Setelah itu Kimmy pamit keluar untuk memanggil Perawat. Kimmy sebenarnya bisa langsung menekan tombol yang ada disebelah tempat tidur Bara untuk memanggil Perawat, namun Kimmy memilih untuk keluar sejenak dari ruang rawat Bara. Kimmy tahu, Bara membutuhkan waktu sebentar untuk menenangkan dirinya.     

****     

Damar merasa frustasi dengan usahanya mencari pelaku penyerangan Bara yang menemui jalan buntu. Dua hari yang lalu, sekembalinya dari rumah sakit, Damar segera menuju ruang keamanan untuk bertemu dengan pelaku penyerangan tersebut. Namun ternyata pelaku tersebut berhasil kabur setelah menyerang petugas yang berusaha membawanya. Damar kemudian mencoba memeriksa keruang CCTV, hasilnya pun sama. Tidak ada satu pun rekaman tentang peristiwa penyerangan tersebut. Bukti satu-satunya hanyalah sebuah pen injeksi yang ditemukan Arga. Damar segera meminta tolong rekannya di kepolisian untuk memeriksa sidik jari pelaku melalui pen tersebut. Hasilnya pun nihil. Hanya ada sidik jari Arga yang ditemukan pada pen tersebut. Itu artinya, pelaku penyerangan tersebut adalah seorang professional karena dia tidak meninggalkan jejak apa pun. Ingin rasanya Damar segera mengkonfrontasi Papanya perihal penyerangan yang dialami Bara. Akan tetapi Damar mengurungkan niatnya karena tidak memiliki cukup bukti. Dia tidak ingin hanya bertanya serampangan tanpa bukti apa pun. Bisa-bisa apa yang ditanyakannya dengan mudah dimuntahkan kembali oleh Papanya. Yang tersisa tinggal Arga, dialah satu-satunya saksi mata peristiwa penyerangan tersebut. Damar harus mengantisipasi agar tidak ada yang mengincar Arga. Damar menelpon Arga untuk segera menemui diruangannya.     

"Bapak cari saya?"     

"Iya, saya mau memastikan sesuatu sama kamu?"     

"Memastikan apa Pak?"     

"Dua hari ini, apa ada yang mencurigakan disekitar kamu?"     

Arga berpikir sejenak, "Ngga ada, Pak."     

"Kamu yakin?"     

"Yakin, Pak. Memangnya ada apa, Pak?"     

"Ngga ada apa-apa, yasudah, kamu boleh kembali."     

"Baik, Pak."     

Arga kembali keluar dari ruangan Damar.     

Damar memutuskan untuk mendiskusikan perihal Arga kepada Kimmy dan Bara. Tinggal kesaksian Arga yang mereka miliki untuk membuktikan penyerangan yang sudah dialami Bara.     

****     

"Apa kamu mengenali orang yang menyerang kamu?" tanya Pak Angga pada orang suruhannya.     

"Saya ngga lihat wajahnya dengan jelas, tapi sepertinya dia salah satu karyawan di perusahaan Bapak."     

"Apa orang itu melihat wajah kamu?"     

"Sepertinya tidak, Pak."     

"Baiklah kalau begitu, untuk sementara kamu harus bersembunyi sampai saya memastikan siapa orang yang membantu Bara."     

"Baik, Pak."     

Orang suruhan Pak Angga segera pergi meninggalkan ruang kerja Pak Angga dirumahnya. Begitu orang itu keluar dari pintu, Pak Angga memberi isyarat pada Bang Ojal untuk mengikutinya. Bang Ojal sudah sangat mengerti apa yang diinginkan Pak Angga. Pak Angga ingin orang itu segera disingkirkan. Tanpa banyak bicara, Bang Ojal pergi menyusul orang tersebut.     

"Bagaimana, Bima? Kamu sudah mendapatkan rekaman CCTV di basement pada saat kejadian?" Pak Angga beralih pada Pak Bima yang sudah menunggu untuk melapor padanya.     

"Sudah, Pa."     

Pak Bima menghampiri meja kerja Pak Angga dengan membawa komputer tangan miliknya. Mereka berdua kemudian menonton rekaman CCTV didekat lift yang merekam peristiwa penyerangan pada Bara. Pak Angga dan Pak Bima mencari-cari sosok yang menolong Bara. Mereka mencari dari berbagai sudut kamera CCTV untuk membuktikan ucapan orang suruhannya tentang orang yang membantu menyelamatkan Bara.     

"Nah, ketemu," Pak Angga menekan tetikus untuk menghentikan rekaman CCTV yang menunjukkan wajah penolong Bara dengan lebih jelas.     

Pak Bima memperhatikan dengan seksama.     

"Sepertinya dia Office Boy dikantor," ujar Pak Bima.     

"Kamu kenal?" Pak Angga lanjut bertanya.     

"Tidak, tapi saya sering lihat dia mempersiapkan ruang rapat sebelum rapat bulanan."     

"Yasudah kamu urus dia, pastikan dia tidak menjadi masalah kedepannya."     

"Baik, Pa."     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.