Bara

When The Sky is Falling (4)



When The Sky is Falling (4)

0Pagi-pagi sekali Bara sudah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Setelah pemeriksaan kemarin, Dokter mengizinkannya untuk keluar dari rumah sakit, tetapi dengan syarat dia harus menghabiskan satu malam lagi di rumah sakit untuk memastikan dirinya sudah baik-baik saja. Meskipun pikirannya sudah terbang memikirkan Pak Haryo, namun Bara menerima syarat yang diajukan oleh Dokternya. Tidur satu malam lagi di rumah sakit bukanlah sebuah masalah besar, asal dia bisa segera melihat keadaan Pak Haryo. Sesuai janjinya, Kimmy segera mempersiapkan keberangkatan Bara ke Solo. Mereka akan berangkat pagi ini.     

Kimmy masuk kedalam ruang rawat Bara, "Sudah siap?" tanyanya.     

Tidak banyak yang Bara persiapkan. Bara hanya berganti pakaian dari setelan pasien rumah sakit ke setelan celana panjang hitam dan kaus turtleneck warna khaki yang dibawakan kimmy.     

"Ayo, berangkat," ujar Bara.     

"Oke."     

Kimmy berjalan keluar dan Bara mengikuti dibelakangnya. Mereka tiba di lobi rumah sakit, kendaraan mereka sudah menunggu. Matahari masih malu-malu untuk muncul ketika mereka menuju bandara Halim Perdana Kusuma. Diperjalanan, Bara dan Kimmy tidak banyak bicara. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing.     

"Kapan matahari akan terbit lagi di keluarga kita?" ucap Kimmy memecah kesunyian diantara mereka berdua. Sorot mata Kimmy jauh memandang cakrawala.     

Bara tidak menjawab. Bara bisa melihat pantulan sinar matahari pada mata Kimmy yang berkaca-kaca. Bara meraih lengan Kimmy dan menggenggamnya.     

"Selama masih ada kita bertiga, gue yakin, keluarga kita akan kembali seperti dulu," ujar Bara meyakinkan Kimmy.     

Kimmy menyeka ujung matanya setelah mendengar ucapan Bara. Kimmy balas menggenggam erat lengan Bara.     

Setibanya di bandara Halim Perdana Kusuma, mereka segera menuju pesawat jet milik keluarga mereka yang sedang melakukan persiapan. Seorang Pilot menyambut mereka. Mereka kemudian segera masuk kedalam pesawat. Tidak berapa lama, mereka sudah mengudara menuju Solo. Selama perjalanan, Bara terus memikirkan pembicaraannya dengan Damar tadi malam tentang nasib Arga.     

****     

Malam sebelumnya, Damar menyempatkan diri untuk mampir kerumah sakit dan menengok keadaan Bara. Ketika Damar masuk kedalam kamar rawat Bara, hanya ada Bara seorang diri sedang berdiri memandang keluar jendela kamarnya. Bara yang melihat bayangan Damar pada jendela kamarnya segera menengok kearah Damar dan kemudian kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela.     

"Kimmy mana?" tanya Damar sembari menghampiri Bara.     

"Dia pulang buat nyiapin keberangkatan gue besok," jawab Bara tanpa menoleh pada Damar.     

"Lu udah boleh pulang?"     

"Dokter bilang, gue cuma perlu satu malam lagi disini untuk memastikan efek obatnya sudah hilang," terang Bara.     

Bara bergumam, "Ini ketiga kalinya gue lolos dari kematian, entah berapa kali lagi gue harus berhadapan sama kematian," Bara menatap lurus keluar jendela tanpa ekspresi.     

Damar merasa sedikit tidak nyaman dengan apa yang baru saja diucapkan Bara.     

Ada keheningan panjang diantara keduanya. Damar dan Bara hanya memandang kerlap-kerlip cahaya lampu diluar jendela tanpa berkata apa-apa.     

"Ada sesuatu yang harus gue kasih tahu ke lu," Damar memecah keheningan.     

Bara menoleh pada Damar, "Apa?"     

"Selama dua hari ini, gue berusaha nyari informasi tentang penyerangan yang terjadi sama lu, tapi hasilnya nihil, sepertinya pelaku penyerangan itu seorang profesional."     

"Maksud lu? Bukannya pelakunya sudah dibawa ke pos keamanan? Kata Kimmy, Arga berhasil ngasih tahu petugas keamanan."     

"Iya, Arga memang berhasil ngasih tahu petugas kemanan, tapi si penyerang berhasil kabur pas mau dibawa ke pos keamanan, rekaman CCTV kejadian pun ngga ada, bahkan sidik jari pelaku ngga ada di pen yang dia pakai buat nyuntik lu."     

"Terus petugas yang bawa si pelaku gimana?"     

"Waktu gue tanya, dia jadi kaya orang bingung, ucapannya selalu berubah."     

"Jadi, satu-satunya saksi yang tersisa cuma Arga?"     

Damar mengangguk ragu, "Gue khawatir ada pihak yang akan berusaha nyingkirin Arga."     

"Kalau gitu, kita harus cari cara buat ngelindungin Arga."     

"Itu yang lagi gue pikirin, gimana caranya supaya Arga aman, tanpa menimbulkan kecurigaan apa pun."     

Keduanya sama-sama kembali terdiam. Kali ini mereka memutar otak tentang bagaimana cara untuk melindungi Arga tanpa menimbulkan kecurigaan dari pihak lain.     

"Pecat Arga," ujar Bara.     

Damar terkejut ketika Bara mengusulkan untuk memecat Arga.     

"Lu ini ngga tahu terima kasih atau apa, masa lu mau mecat orang yang udah nolongin lu?" ucap Damar berapi-api.     

"Itu demi keselamatan Arga."     

"Apa tujuan lu sebenarnya?"     

"Lu pecat Arga, selanjutnya gue bakal pekerjakan dia sebagai asisten pribadi gue, dengan begitu dia bakal ada disamping gue."     

"Lu yakin kalau dia ada disamping lu, dia bakal aman?" Damar sangsi dengan usul Bara.     

Bara mengangkat bahu, "Gue juga ngga yakin, tapi cuma itu yang kepikiran sama gue."     

"Saran dari lu, gue tampung dulu, nanti gue pikirin lagi cara yang lain, pokoknya jangan sampai ada yang curiga," ujar Damar.     

Damar merasa jika Arga berada disamping Bara, itu malah akan menyulitkan Arga. Terlebih setelah apa yang menimpa Pak Haryo, Bara harus didampingi oleh seseorang yang lebih ahli dan sangat mengenal seluk beluk perusahaan. Karena jika tidak, Bara hanya akan berakhir menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang ingin menyingkirkannya.     

"Ngomong-ngomong, besok lu ikut kita ke Solo?" tanya Bara.     

"Gue ngga bisa ikut ke Solo, tapi gue usahain buat nyusul kalian secepatnya, gue juga mau lihat keadaan Eyang Haryo."     

Bara berjalan kembali ke ranjangnya dan merebahkan badannya. Damar mengikuti Bara dengan merebahkan tubuhnya pada sofa disamping tempat tidur Bara.     

"Lu mau tidur?" tanya Damar.     

"Gue udah tidur dua hari, sekarang buat merem aja susah," Bara memandangi langit-langit kamar rawatnya.     

Bara menoleh pada Damar yang sedang tiduran di sofa, "Lu ngga pulang?"     

"Lu ngusir gue?" Damar mendelik pada Bara.     

"Ngga, besok kan lu harus kerja tapi jam segini lu masih disini."     

Damar memejamkan matanya dan menghela napas panjang, "Kenapa ini terjadi sama keluarga kita?" keluhnya.     

Bara tidak menanggapi ucapan Damar dan membiarkan Damar terdiam sambil memejamkan matanya. Tidak lama kemudian, Bara mendengar suara dengkuran halus dari arah Damar. Damar sudah tertidur di sofa.     

****     

Bara dan Kimmy tiba di rumah sakit tempat Pak Haryo dirawat. Mereka segera menemui Pak Agus untuk menanyakan keadaan Pak Haryo.     

Pak Agus berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bara, begitu melihat Bara dan Kimmy sudah tiba dirumah sakit, "Mas Bara baik-baik saja?" Pak Agus langsung menanyakan keadaan Bara.     

Pak Agus sangat frustasi begitu mendapatkan kabar bahwa Bara juga dirawat dirumah sakit akibat diserang seorang tidak dikenal.     

"Saya sudah ngga apa-apa, Pak."     

"Benar, kamu sudah ngga apa-apa?"     

"Iya, Pak. Gimana keadaan Eyang?"     

Pak Agus meengabaikan pertanyaan yang diajukan Bara, "Syukurlah, kalau Mas Bara sudah tidak apa-apa."     

Pak Agus menepuk lembut bahu Bara, sementara tangannya yang lain menyeka air mata yang hampir keluar dari matanya.     

Bara menyadari Pak Agus juga terlihat sedang tidak baik-baik saja. Pak Agus tampak sangat letih.     

"Bapak, ngga apa-apa?" tanyanya.     

Pak Agus hanya menjawabnya dengan anggukan pelan. Pak Agus terisak sedikit sebelum kembali mengangkat wajahnya.     

"Mari, saya antar ke ruangan Bapak," terang Pak Agus.     

Pak Agus kemudian mengantar Bara dan Kimmy untuk melihat keadaan Pak Haryo. Pak Agus menjelaskan, sesuai peraturan rumah sakit, penjenguk hanya boleh masuk pada saat jam besuk, dan jam besuk pun dibatasi hanya selama dua jam, diluar dari jam besuk, penjenguk hanya diperkenankan untuk melihat dari balik dinding kaca ruang ICU. Mereka melihat Pak Haryo dari balik dinding kaca ruang ICU. Kimmy tidak dapat menahan tangisnya begitu melihat tubuh tua Pak Haryo terbaring tidak berdaya. Kimmy segera beralih dan duduk di kursi selasar rumah sakit. Kimmy merunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Berbeda dengan Bara, Bara mencoba menguatkan dirinya sendiri. Melihat Pak Haryo terbaring tidak berdaya dengan berbagai selang yang terhubung ke tubuhnya, membuat Bara berpikir, mungkin apa yang dirasakannya saat ini sama dengan apa yang dirasakan Pak Haryo ketika melihat dirinya yang ada di posisi itu. Sewaktu Pak Haryo berhasil menemukan Bara, Bara juga dalam kondisi yang tidak baik.     

"Apa waktu itu Eyang juga melihat saya dalam keadaan seperti itu?" tanya Bara pada Pak Agus.     

Pak Agus mengangguk.     

"Bagaimana Eyang menghadapinya?"     

"Kenapa Mas Bara menanyakan itu?"     

"Karena sekarang saya ngga tahu harus bagaimana, yang paling saya rasakan saat ini cuma kemarahan karena melihat satu-satunya orang tua yang saya miliki terbaring tidak berdaya," ucap Bara dengan nada bergetar.     

"Saya marah, sampai-sampai saya ingin menghabisi orang-orang yang menyebabkan Eyang seperti ini," Bara melanjutkan ucapannya.     

"Bapak pasti tidak ingin Mas Bara melakukan itu," ujar Pak Agus menenangkan Bara.     

"Lalu saya harus bagaimana?" Bara menyandarkan kepalanya pada dinding kaca yang memisahkan antara dirinya dan Pak Haryo.     

"Saya harus gimana?" Bara membenturkan pelan keningnya pada dinding kaca tersebut.     

Pak Agus hanya bisa merunduk sambil menepuk-nepuk bahu Bara. Pak Agus sangat mengerti apa yang dirasakan Bara. Perasaan Bara saat ini pasti sangat kacau. Belum lama ini dia menghadapi kehilangan Pak Ardan dan saat ini dirinya harus menyaksikan Pak Haryo yang berada diambang hidup dan mati.     

Bara terus membenturkan keningnya pada dinding kaca ruang ICU, Kimmy bangkit dari kursinya dan menghampiri Bara. Kimmy meletakkan telapak tangannya pada kening Bara untuk menghalangi Bara kembali membenturkan keningnya. Bara menoleh pada Kimmy yang sudah berdiri disebelahnya. Matanya berkaca-kaca. Kimmy merangkul leher Bara dan menarik Bara kedalam pelukannya. Bara membenamkan wajahnya pada bahu Kimmy dan mulai terisak.     

"Let it all out," bisik Kimmy lembut sambil membelai lembut rambut Bara.     

Bocah laki-laki kecil didalam hati Bara bangkit dan memberontak. Hanya beberapa kata yang diucapkan Kimmy, mampu membuat Bara mengeluarkan semua tangisnya. Tangis ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Bocah laki-laki didalam dirinya tidak ingin lagi merasakan ketakutan yang sama. Dia sudah beberapa kali menyaksikan orang-orang yang berharga baginya terenggut secara paksa didepan matanya. Kimmy membiarkan Bara beberapa saat menangis dalam pelukannya, sampai Bara sendiri yang melepaskan pelukannya.     

****     

Pada dini hari, Damar tiba di kota Solo. Setelah rapat yang cukup panjang dengan dewan Direksi perusahaan, Damar memutuskan untuk segera menyusul Bara dan Kimmy. Wajah Damar tampak kusut ketika menemui Kimmy dikamar hotelnya.     

"Ada apa?" tanya Kimmy setengah sadar.     

Damar tidak langsung menjawab pertanyaan Kimmy dan berjalan masuk kedalam kamar hotel yang Kimmy tempati. Damar segera melangkah ke mini bar dan mengambil sebotol air mineral. Damar segera membuka segel air mineral itu dan meminumnya cepat. Selesai meminumnya, Damar memperhatikan botol air mineral tersebut, "Sebenarnya gue berharap lu bakal punya alkohol disini," ujarnya.     

Kimmy sudah menantikan apa yang mau disampaikan Damar. Kimmy sangat yakin ada hal yang mengganggu Damar, sampai-sampai Damar sudah muncul di hotel tempatnya menginap pada dini hari, dengan wajah yang tampak sangat kusut.     

"Rapat pemilihan CEO akan dipercepat," tampak jelas kekesalan yang dirasakan Damar ketika akhirnya menjawab pertanyaan yang diajukan Kimmy.     

Kimmy langsung membelalakan matanya begitu mendengar jawaban Damar.     

"Kapan rapatnya?" tanyanya kembali pada Damar.     

"Minggu depan."     

"Mereka ngga mempertimbangkan keadaan Eyang Haryo?"     

"Sepertinya sebagian dari mereka justru sengaja mau mempercepat pemilihan CEO."     

"Sebagian itu maksudnya Eyang sama Papa?" tanya Kimmy sinis.     

"Ya, begitulah."     

"Dan lu ngga bisa berbuat banyak dalam rapat itu?"     

"Suara gue ngga terlalu berpengaruh disana, mereka berdua malah mau jadiin gue sebagai CEO baru."     

"Suara lu yang ngga berpengaruh atau lu yang sudah terpengaruh karena mau diusulkan sebagai CEO yang baru?" sindir Kimmy.     

Damar melirik kesal pada Kimmy, "Gue bukan manusia yang mau memanfaatkan situasi buruk demi kepentingan gue, gue masih punya hati."     

"Tapi lu mau kan kalau dipilih jadi CEO baru?"     

"Siapa yang ngga mau jadi CEO, tapi gue ngga mau dipilih dengan cara-cara kotor seperti ini, gue mau mereka menilai gue dari kemampuan gue," Damar meninggikan suaranya karena merasa kesal dengan sindiran yang diucapkan Kimmy.     

"Terus gimana caranya supaya pemilihan CEO itu bisa dibatalkan?"     

"Bara harus hadir dirapat itu."     

Kimmy menghela napas begitu Damar mengatakan bahwa Bara harus hadir dalam rapat pemilihan CEO.     

"Gue ngga yakin Bara mau hadir dirapat itu," ujar Kimmy.     

"Itu kan kewajibannya dia untuk datang di rapat pemilihan CEO," timpal Damar.     

"Ya tapi ngga semudah itu, kita minta Bara untuk hadir dalam situasi seperti ini," Kimmy menghentikan ucapannya.     

"Gue ngga tega kalau sampai harus nyuruh dia datang ke rapat pemilihan CEO," lanjut Kimmy.     

"Bara ada dikamarnya?" tanya Damar.     

Kimmy menggeleng, "Dia ngga mau kemana-mana, dia cuma mau ada disamping Eyang."     

"Jadi, sekarang dia ada di rumah sakit?" tanya Damar.     

Kimmy mengangguk lesu.     

"Besok gue coba ngomong sama dia, dia harus mau datang ke rapat itu, kalau perlu, gue bakal seret dia buat hadir di rapat itu," ucap Damar tegas.     

****     

Keesokan harinya, Damar ditemani Kimmy datang kerumah sakit. Sebelumnya, Kimmy mewanti-wanti Damar untuk tetap bersabar saat berhadapan dengan Bara. Pada saat mereka tiba, Bara sedang duduk sendiri diluar ruang ICU. Kimmy menyentuh lembut bahu Bara. Bara menoleh pelan. Mata Bara tampak lelah.     

"Lu datang?" Bara menyapa Damar yang datang bersama Kimmy.     

"Gimana keadaan Eyang?" tanya Damar.     

"Masih belum ada perubahan."     

"Kalau keadaan lu gimana?" Damar menanyakan keadaan Bara.     

Bara hanya mengangkat bahu.     

"Sebenarnya selain menjenguk Eyang Haryo, ada hal lain yang mau gue bicarain sama lu," Damar langsung mengungkapkan tujuannya datang ke rumah sakit.     

Bara menatap Damar, "Apa yang mau lu bicarain sama gue?"     

"Ini soal pemilihan CEO baru."     

Bara tersenyum kecut mendengar ucapan Damar.     

"Disaat seperti ini, kalian masih sempat bahas pemilihan CEO," ucap Bara sinis sambil menatap Damar dan Kimmy bergantian.     

Bara bangkit berdiri dan berhadapan dengan Damar.     

Kimmy memegang lengan Bara, "Lu jangan emosi dulu."     

Bara melepaskan lengan Kimmy yang memegangnya.     

"Lu kesini cuma mau bilang supaya gue dukung lu di pemilihan CEO baru, kan?" Bara menantang Damar.     

"Jaga ucapan lu," Damar berusaha untuk menahan emosinya.     

"Lalu apa tujuan lu kesini mau berbicara sama gue?"     

"Gue mau minta lu datang ke rapat minggu depan dan membatalkan pemilihan CEO itu."     

"Omong kosong, mana ada orang yang mau membatalkan pemilihan buat dirinya sendiri," sindir Bara.     

"Disaat seperti ini, suara lu sangat berpengaruh Bara, lu bisa mewakili Eyang untuk berbicara disana," Kimmy berusaha memberi pengertian pada Bara.     

"Apa yang dikatakan Mbak Kimmy itu benar," Pak Agus yang ternyata sudah mencuri dengar, akhirnya ikut bergabung dalam percakapan antara Bara, Damar dan Kimmy.     

Bara menoleh pada Pak Agus yang tiba-tiba bergabung bersama mereka, "Pak Agus juga mau minta saya buat datang ke rapat pemilihan itu?"     

Pak Agus mengangguk.     

Bara menggeleng tidak percaya, "Saya ngga nyangka, disaat seperti ini, kalian bertiga bisa kompak untuk memaksa saya."     

Bara pergi meninggalkan ketiganya. Kimmy hendak menyusul Bara, namun Damar segera menahannya.     

"Biar gue yang nyusul dia," Damar kemudian segera berjalan menyusul Bara.     

Bara menghentikan langkahnya pada area duduk yang berada tidak jauh dari ruang ICU tempat Pak Haryo dirawat. Dari area duduk tersebut, Bara bisa melihat pemandangan kota Solo dari ketinggian. Damar menghampiri Bara yang sedang berdiri sambil menatap pemandangan kota Solo dari ketinggian.     

"Lu masih mau membuktikan hasil temuan orang tua lu?" tanya Damar.     

Bara terdiam tidak menjawab. Dalam hatinya dia ingin sekali membuktikan hasil temuan orang tuanya, namun keadaan saat ini membuatnya semakin ragu untuk melanjutkan hasil temuan tersebut.     

"Lu ngga mau kan hasil temuan orang tua lu jadi sia-sia?" Damar melanjutkan pertanyaannya.     

Bara tetap diam tidak menjawab.     

"Well, gue anggap sikap diam lu sebagai tanda bahwa lu masih mau menyelidiki skandal yang terjadi di perusahaan," Damar terus berbicara tanpa mempedulikan Bara yang memperhatian ucapannya atau tidak.     

"Kalau lu masih mau melanjutkan penyelidikan itu, gue tunggu lu diruang rapat minggu depan, semua keputusan ada di tangan lu, gue, Kimmy atau Pak Agus ngga akan maksa lu kalau memang lu ngga mau datang ke rapat itu." lanjut Damar.     

"Gue pamit dulu, pikirkan masak-masak sebelum lu membuat keputusan, jangan sampai lu menyesal di kemudian hari," Damar menepuk bahu Bara dan meninggalkannya sendiri.     

Damar dapat memahami, dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa memaksa Bara untuk datang ke rapat pemilihan CEO. Pada akhirnya Damar ingin membuat Bara menentukan pilihannya sendiri, dan Damar tidak akan mengganggu pilihan apa pun yang nantinya dipilih oleh Bara.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.