Bara

Now and Then (1)



Now and Then (1)

0Satu hari sebelum rapat pemilihan CEO diadakan, Bara akhirnya memutuskan untuk hadir di rapat tersebut. Bara dan Pak Agus sudah mempercayakan Arga untuk menjaga Pak Haryo selama mereka berdua ada di Jakarta. Setelah Bara setuju untuk hadir dalam rapat tersebut, Pak Agus segera berkoordinasi dengan Damar. Damar terdengar sangat senang begitu Pak Agus memberitahunya bahwa Bara bersedia untuk hadir. Selanjutnya, Pak Agus segera menghubungi pilot mereka untuk segera mengurus penerbangan mereka ke Jakarta.     

Sementara itu, Bara merapikan barang-barangnya dari ruang rawat Pak Haryo. Arga terlihat sedang beristirahat setelah melewati malam yang panjang untuk sampai di rumah sakit tempat Pak Haryo dirawat. Bara membiarkannya tertidur di ranjang yang beberapa hari ini ditempati olehnya. Setelah seluruh barang bawaanya sudah rapi, Bara kembali merapat ke sisi tempat tidur Pak Haryo.     

Bara menggenggam erat tangan Pak Haryo, "Eyang tidak perlu khawatir, saya akan melanjutkan pekerjaan Eyang, saya tidak akan membuat Eyang kecewa."     

Bara menatap lama wajah Pak Haryo yang seperti sedang tertidur pulas.     

"Pasti selama ini Eyang kurang istirahat," ucap Bara pelan.     

Pak Agus masuk kedalam ruang rawat Pak Haryo dan menghampiri Bara yang berada di sebelah ranjang Pak Haryo.     

"Barang-barang Mas Bara sudah siap?" tanyanya pada Bara.     

"Sudah, Pak," jawab Bara.     

Pak Agus segera mengambil barang-barang Bara dan membawanya keluar. Tidak berapa lama, Pak Agus kembali masuk dan memberitahu Bara bahwa sudah saatnya untuk pergi.     

Pak Agus membangunkan Arga yang sedang tertidur.     

"Nak Arga," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Arga.     

Arga mengerjap-ngerjapkan matanya, "Iya, Pak."     

Arga terduduk di tempat tidur sambil mengucek matanya.     

"Saya dan Mas Bara sudah mau pergi, tolong jaga Bapak, ya," ucap Pak Agus.     

"Bapak sudah mau pergi?" tanya Arga.     

Pak Agus mengangguk, "Selanjutnya tugas kamu untuk menjaga Bapak."     

"Bapak bisa percaya sama saya."     

Pak Agus menepuk bahu Arga sambil tersenyum lembut padanya.     

Pak Agus kemudian kembali menghampiri Bara, "Mari, Mas Bara. Sudah waktunya kita berangkat."     

Bara mengalihkan perhatiannya pada Pak Haryo. Bara mendekatkan wajahnya ke telinga Pak Haryo dan berbisik, "Doakan saya, Eyang."     

Bara meraih tangan Pak Haryo dan menciumnya. Kemudian bersama dengan Pak Agus, Bara berjalan menuju pintu ruang rawat Pak Haryo.     

Arga sudah berdiri di dekat pintu kamar Pak Haryo dan membukakan pintu untuk mereka. Bara berhenti sejenak di bibir pintu.     

"Tolong jaga Eyang," ucapnya pada Arga.     

"Pasti," jawab Arga sambil mengacungkan dua ibu jarinya.     

Bara menepuk bahu Arga, "Gue pergi dulu."     

Arga menganggukkan kepalanya.     

Bara menatap sebentar kearah Pak Haryo, menghela napas dan kemudian berjalan keluar dari ruang rawat Pak Haryo. Disusul oleh Pak Agus yang mengikuti Bara dibelakangnya.     

Selama perjalanan menuju bandara, Bara mencoba untuk menata hatinya yang masih berat untuk meninggalkan Pak Haryo dan kembali meyakinkan tekadnya untuk membongkar skandal tersembunyi MG group.     

****     

Setibanya di Jakarta, Pak Agus dan Bara segera pergi untuk menemui Rudolf di kantornya. Rudolf menyambut kedatangan Bara dan Pak Agus di lobi kantornya.     

"Kalian berdua pasti lelah sekali belakangan ini," ujar Rudolf sambil bergantian memandangi Bara dan Pak Agus.     

"Mau bagaimana lagi, semua terjadi begitu cepat," Pak Agus menimpali ucapan Rudolf.     

"Semua yang Bapak pinta sudah kamu siapkan?" Pak Agus lanjut bertanya pada Rudolf.     

"Tentu sudah, mari kita lanjutkan di ruangan saya," Rudolf mengajak Bara dan Pak Agus untuk segera ke ruangannya.     

Begitu mereka bertiga sudah ada di dalam ruang kerjanya, Rudolf berjalan ke meja kerjanya dan membuka brankas yang ada di samping meja kerjanya. Rudolf mengeluarkan dua buah map kulit dari dalam brankas tersebut dan membawanya ke hadapan Bara dan Pak Agus.     

Rudolf membuka map kulit berwarna hitam, "Ini surat kuasa yang dititipkan Bapak kepada saya," Rudolf menyorongkan map berwarna hitam tersebut ke hadapan Bara. Didalamnya terdapat sebuah kertas yang pada bagian atasnya bertuliskan 'Surat Kuasa' yang dicetak tebal. Bara membaca cepat isi surat kuasa tersebut. Pandangan Bara terpaku ketika melihat bagian akhir surat kuasa tersebut. Tepatnya pada bagian dimana Pak Haryo membubuhkan tanda tangannya. Tanda tangan tersebut dibubuhkan diatas materai enam ribu rupiah. Di bagian bawah materai tertulis jelas nama Pak Haryo yang bertindak sebagai pemberi kuasa. Disebelah tanda tangan Pak Haryo, pada bagian penerima kuasa, Bara melihat namanya tercetak disana.     

"Mas Bara harus tanda tangan disitu," Rudolf menunjuk pada bagian kosong penerima kuasa yang belum ia tanda tangani.     

Rudolf menyodorkan pulpennya pada Bara. Bara menerima pulpen yang disodorkan Rudolf. Bara memejamkan matanya sejenak sebelum menandatangai bagian penerima kuasa.     

"Kapan eyang menyiapkan ini?" tanya Bara pada Rudolf setelah menandatangai surat kuasa tersebut.     

"Mas Bara ingat, waktu Mas Bara kesini untuk serah terima aset milik orang tua Mas Bara?"     

Bara mengingat kali pertama dirinya datang ke kantor Rudolf bersama dengan Pak Haryo.     

"Iya," jawabnya.     

"Setelah serah terima itu selesai, Bapak meminta Mas Bara untuk menunggunya di luar, kan?"     

Bara mengangguk.     

Bara mengalihkan perhatiannya pada Pak Agus yang duduk disebelahnya. "Jadi, Eyang sudah lama menyiapkan surat ini?" tanya Bara pada Pak Agus.     

"Iya," jawab Pak Agus.     

Pak Agus melanjutkan, "Bapak sudah lama menyiapkan surat kuasa ini, dia bahkan sudah mempersiapkan untuk yang terburuk."     

"Maksudnya mempersiapkan untuk yang terburuk?" Bara kembali bertanya.     

Rudolf menyodorkan map kulit berwarna coklat tua pada Bara.     

"Pak Haryo juga sudah menyiapkan sebuah surat wasiat," ujarnya.     

Bara membuka map coklat tua yang diberikan Rudolf. Bara bergetar begitu membaca isi surat wasiat yang sudah dipersiapkan oleh Pak Haryo.     

"Eyang sudah menyiapkan ini semua," batinnya.     

Bara menutup kembali map coklat tua tersebut dan menyerahkannya pada Rudolf.     

"Simpan saja surat wasiatnya, ini belum waktunya saya menerima surat wasiat tersebut, saat ini saya hanya membutuhkan surat kuasa dari Eyang," ujar Bara.     

Rudolf menerima kembali map coklat tua yang dikembalikan Bara padanya, "Baiklah kalau begitu."     

Rudolf berjalan menuju meja kerjanya. Dia kemudian membuka kembali brankas pribadi miliknya dan memasukkan map coklat tua tersebut kesana.     

"Jam berapa rapatnya dimulai?" tanya Rudolf pada Pak Agus.     

"Sekitar jam sepuluh pagi," jawab Pak Agus.     

"Baiklah kalau begitu, saya akan datang ke rapat tersebut untuk menunjukkan surat kuasa yang sudah dibuat oleh Pak Haryo." ujar Rudolf.     

"Baik kalau begitu."     

"Ada lagi yang harus saya persiapkan untuk rapat besok?" Bara menyela percakapan Pak Agus dan Rudolf.     

Rudolf menoleh pada Bara, "Siapkan mental kamu sekuat-kuatnya, orang-orang seperti mereka itu penuh tipu muslihat, jangan sampai kamu terlihat meragukan didepan mereka semua."     

"Benar apa yang dikatakan Rudolf, besok Mas Bara harus tampil meyakinkan dihadapan para Direksi dan Komisaris." timpal Pak Agus.     

"Semoga saya tidak tampil mengecewakan besok," ucap Bara.     

"Kalau begitu kami pamit sekarang," ucap Pak Agus.     

"Oke, kita bertemu lagi besok," ujar Rudolf.     

Rudolf mengambil kembali map hitam berisi surat kuasa yang sudah di tanda tangani oleh Bara.     

"Surat kuasanya tidak diberikan ke saya?" tanya Bara ragu-ragu.     

Rudolf tersenyum kecil mendengar pertanyaan Bara, "Saya yang akan membawa surat kuasa ini ke rapat besok, pokoknya mereka tidak akan bisa berkutik pada saat Mas Bara hadir disana," jawab Rudolf.     

Rudolf melanjutkan ucapannya, "Malam ini, Mas Bara istirahat yang cukup, supaya besok bisa tampil prima," Rudolf menepuk bahu Bara.     

Bara hanya mengangguk pelan sambil tersenyum ragu setelah mendengar ucapan Rudolf. Bara tidak yakin dirinya akan bisa istirahat dengan tenang malam ini.     

Bara dan Pak Agus akhirnya pergi meninggalkan kantor Rudolf dan segera menuju apartemen Bara. Sepanjang perjalanan, Pak Agus memberitahu Bara tentang profil orang-orang yang berada pada jajaran Direksi dan Komisaris MG group. Meski lelah, Bara berusaha mendengarkan penjelasan Pak Agus dengan seksama.     

Tanpa terasa mereka sudah tiba di apartemen Bara. Malam ini, Pak Agus akan ikut tinggal di apartemennya. Bara melangkah masuk menuju kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di kasurnya. Beberapa hari tidur di ranjang rumah sakit, membuat Bara merasa ranjangnya terasa semakin empuk.     

"Ah, enaknya," gumam Bara sambil memejamkan mata merasakan keempukan kasurnya.     

Bara membiarkan dirinya terhanyut dalam kenyamanan ranjangnya yang empuk hingga tertidur. Dia ingin beristirahat sejenak sebelum mengguncang MG group esok hari.     

****     

Pegawai MG Group kasak-kusuk begitu melihat kedatangan Bara di kantor dengan didampingi oleh Pak Agus. Mereka mengetahui bahwa Pak Agus adalah tangan kanan Pak Haryo. Raya melihat Bara yang berjalan melintasi ruangannya. Semua wanita yang ada diruangan itu terpukau dengan penampilan Bara. Tak terkecuali dengan Raya, namun dibalik penampilannya yang membuat wanita terpukau, Raya bisa melihat kesedihan dalam mata Bara.     

"Apa dia baik-baik saja?" ucap Raya pelan.     

Satu minggu yang lalu, seluruh penghuni kantor MG group terkejut begitu mengetahui kabar Pak Haryo yang menjadi korban keributan antar warga yang terjadi di kota Solo. Pada saat mendengar berita tersebut, Raya langsung teringat pada Bara dan mencoba untuk menghubunginya. Namun, Bara tidak mengangkat telpon maupun membalas pesan yang Raya kirimkan padanya. Raya mencoba untuk tidak ambil pusing, Raya menduga saat itu Bara pasti sedang sibuk menemani Pak Haryo.     

Hari ini, ketika melihat kedatangan Bara ke kantor, Raya yakin dugaannya selama ini benar. Dari luar memang penampilan Bara sangat luar biasa mengagumkan. Setelan jas yang dikenakannya sangat cocok dengan figur Bara yang tinggi dan tegap. Bara tampak seperti model yang berjalan di acara fashion show designer ternama.     

"You look soo tired," Raya membatin.     

Raya terus memandangi Bara sampai-sampai tidak sadar dengan salah seorang rekan kerjanya yang sudah ada disampingnya.     

"Kemaren ikut test buat jadi anak magang, sekarang datang ke kantor buat ikut rapat dewan Direksi, enak ya, kalau jadi cucu pemilik perusahaan," seorang rekan kerja Raya mencibir kedatangan Bara ke kantor untuk rapat dewan Direksi.     

"Ya, wajarlah, dia pasti ikut rapat buat wakilin Pak Haryo," timpal Raya.     

Rekan kerja Raya melirik kesal kearahnya, "Lu suka ya, sama cucunya Pak Haryo itu?"     

"Hah?"     

"Habis, kalau gue lagi bahas dia, lu selalu belain dia."     

"Lu lihat tuh, cewek-cewek yang lain aja pada kesengsem ngeliat dia, jadi wajar dong kalau gue juga suka sama dia," Raya menutup mulutnya setelah tanpa sadar mengatakan bahwa wajar jika dirinya menyukai Bara.     

"Masa gue suka sama Bara," batin Raya.     

"Cuma gue ngerasa, tatapan lu ke dia itu beda dari cewek-cewek yang lain."     

"Beda gimana?" tanya Raya dengan terbata-bata.     

"Lu kaya orang yang udah kenal dekat sama dia."     

Rekannya berhenti sejenak, kemudian memperhatikan reaksi Raya dengan seksama, "Apa jangan-jangan lu memang udah kenal dekat sama cucunya Pak Haryo, ya?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.     

"Ngaco lu, gimana caranya gue bisa kenal sama dia, lingkungan pergaulan kita aja udah pasti beda sama dia," Raya mencoba untuk bersikap santai, namun didalam hatinya Raya berdebar-debar bagaimana bisa rekannya mencurigai bahwa Raya dekat dengan Bara. Meskipun kecurigaan rekannya itu benar, Raya mencoba menutupinya dengan bersikap sealami mungkin.     

Ingin rasanya Raya segera mengirim pesan untuk menyemangati Bara, namun rekan kerjanya itu masih belum beranjak dari meja kerja Raya.     

"Kira-kira bakal ada apa ya di rapat Direksi kali ini?" tanya rekan kerja Raya penasaran.     

"Kalau penasaran, lu masuk aja kesana," jawab Raya.     

"Ngapain masuk kesana, nanti juga kita dengar beritanya dari sekretaris Pak Bima."     

"Terus lu ngapain masih disini? meja kerja lu kan disana."     

"Galak amat sih bu."     

"Balik sana ke meja kerja lu."     

"Iya, nyah," rekan kerja Raya akhirnya kembali ke meja kerjanya.     

"Nanti siang makan bareng," Raya berteriak pada rekannya yang sudah berada di meja kerjanya.     

Rekannya menjawab dengan mengacungkan ibu jarinya.     

Raya berdiri dari meja kerjanya dan berjalan keluar dari ruangannya. Begitu keluar dari ruangannya, Raya menoleh ke arah ruangan tempat diadakannya rapat dewan direksi. Bara masih berdiri di luar ruangan rapat dewan Direksi. Pak Agus mendadak menoleh dan melihat Raya yang sedang melihat kearah mereka. Raya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Pak Agus membalasnya dengan tersenyum. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Raya segera berpura-pura berjalan kearah lain.     

"Mas Bara kenal sama dia?" bisik Pak Agus pada Bara.     

Bara menoleh, "Sama siapa, Pak?"     

"Itu," Pak Agus menunjuk ke arah Raya yang sudah membelakangi mereka berdua.     

"Raya," Bara membatin.     

"Mas Bara kenal sama wanita itu?" Pak Agus kembali bertanya.     

"Kenal, waktu saya jadi OB saya sering nemenin dia lembur," Bara akhirnya menjawab pertanyaan Pak Agus.     

Pintu dihadapannya terbuka, Damar muncul dari balik pintu tersebut. Bara menghela napasnya kemudian melangkah masuk ke dalam ruang rapat.     

****     

Pak Angga dan Pak Bima merasa dikhianati oleh Damar. Mereka berdua tidak menyangka bahwa Damar menyetujui pernyataan Bara untuk menunda pemilihan CEO baru. Kali ini Direksi dan Komisaris tidak bisa berbuat banyak karena posisi Bara. Kehadiran Bara untuk mewakili Pak Haryo diperkuat dengan surat kuasa yang dibawa Rudolf ke ruang rapat. Mereka tidak menduga bahwa Pak Haryo ternyata sudah mempersiapkan sebuah surat kuasa yang menjelaskan jika terjadi sesuatu pada dirinya, maka dia akan memberi kuasa pada Bara untuk bertindak sebagai perwakilan dirinya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perusahaan. Mengingat Pak Haryo masih menjabat sebagai komisaris utama sekaligus pemegang saham terbesar, membuat para direksi dan komisaris yang lain tidak berkutik didepan Bara. Bara tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menekan orang-orang yang berpihak pada Pak Angga. Dengan tenang Bara menyampaikan pendapatnya untuk menunda pemilihan CEO baru sampai keadaan Pak Haryo membaik. Bara juga membahas tentang keanehan yang ia temukan dalam laporan keuangan MG group. Bara menyampaikan niatnya untuk melaksanakan audit dengan menggandeng pihak ketiga untuk menyelidiki temuannya. Mendengar Bara berencana untuk kembali melakukan audit eksternal, membuat beberapa pejabat tinggi di perusahaan menjadi gelisah. Pak Agus sendiri sempat tidak percaya ketika melihat Bara bisa bersikap begitu tenang saat berhadapan dengan Direksi dan Komisaris pada rapat tersebut.     

Pada akhirnya, rapat pemilihan CEO baru berlangsung alot karena saat ini ada tiga kubu yang bersaing. Kubu pertama adalah kubu yang mendukung Pak Angga dan mengharapkan untuk segera menunjuk Damar sebagai CEO yang baru, kubu kedua adalah kubu yang mendukung Pak Haryo dalam hal ini berarti mereka mendukung keputusan yang Bara buat, dan kubu ketiga adalah orang-orang tetap berusaha untuk tidak memihak manapun. Meskipun itu sangat sulit untuk tidak memihak diantara keduanya. Bara memanfaatkan kubu ketiga untuk menggagalkan pemilihan CEO baru. Bara memanfaatkan keragu-raguan mereka untuk setidaknya menunda pemilihan CEO sampai kondisi Pak Haryo membaik. Meskipun dalam paparannya, Bara juga belum tahu kapan kondisi Pak Haryo akan membaik. Bara hanya menyampaikan bahwa Pak Haryo sebentar lagi bisa pulang ke Jakarta. Mereka akhirnya mempertimbangkan untuk menunda keputusan untuk menunjuk CEO yang baru. Karena pemilihan CEO saat ini terkesan sangat terburu-buru dan belum waktunya mereka melakukan pemilihan CEO baru. Mereka juga mendukung untuk dilakukannya audit eksternal sebelum pemilihan CEO berikutnya.     

Akhirnya rapat pemilihan CEO hari itu memutuskan untuk menunda pemilihan CEO baru. Pihak yang mendukung Pak Angga tentu saja tidak menerima hasil tersebut dan pergi meninggalkan ruang rapat begitu saja. Bara melihat Pak Angga berusaha untuk menerima putusan rapat dengan tenang. Pak Angga dan Pak Bima keluar dari ruang rapat setelah sebelumnya menyapa Bara sebentar. Mereka mengatakan bahwa mereka lega Bara dapat hadir sebagai perwakilan Pak Haryo dan memuji kemampuan Bara. Bara hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih setelah mendengar pujian yang dilontarkan Pak Angga padanya.     

****     

Selesai rapat, Bara pergi keruangan Pak Haryo. Bara segera melepaskan jas yang ia kenakan, menggulung lengan kemejanya dan merebahkan tubuhnya di sofa. Tidak disangka, berbicara sebegitu banyak di ruang rapat bisa sangat menguras tenaganya.     

Pak Agus duduk di sofa yang berada disebelah Bara, "Penampilan Mas Bara tadi sangat bagus," puji Pak Agus.     

Bara menanggapinya dengan tersenyum simpul.     

"Bapak, ngga tahu aja, perut saya mulas sepanjang rapat tadi," Bara mengelus-elus perutnya yang masih terasa mulas sampai saat ini.     

"Mau saya ambilkan obat?" tanya Pak Agus.     

"Ngga usah, Pak, terima kasih, nanti juga reda sendiri."     

Bara menegakkan tubuhnya ketika teringat dengan Damar.     

"Kira-kira gimana nasib Damar, Pak?" Bara bertanya pada Pak Agus.     

"Ya, saya kurang tahu, semoga saja Mas Damar baik-baik saja."     

Bara merasa khawatir pada Damar yang sudah secara terang-terangan melawan Pak Angga dan Pak Bima. Setelah selesai rapat tadi, Pak Bima segera meminta Damar untuk datang keruangan Pak Angga. Wajah Pak Bima sangat serius sementara ekspresi Damar seperti seorang pesakitan yang siap mendengar putusan hukuman yang akan dijatuhkan oleh Hakim padanya. Dengan wajah pasrah, Damar segera mengikuti Pak Bima keluar dari ruang rapat.     

*****     

Damar masuk keruangan Pak Haryo dan bergabung bersama Bara. Damar langsung ikut merebahkan badannya disebelah Bara.     

"Pipi lu kenapa?" tanya Bara ketika melihat pipi Damar yang kemerahan.     

"Oh ini," Damar mengelus pipinya, "Habis di 'elus-elus' sama Eyang."     

"Dielus?"     

Damar mengangguk, "Dielus pakai kekuatan pemain voli."     

"Lu abis digampar?" tanya Bara terkejut.     

"Untungnya masih digampar, bukan dicoret dari kartu keluarga," jawab Damar.     

Bara tertunduk mendengar jawaban Damar, "Sorry, gara-gara gue, lu jadi ngga akur sama Eyang Angga."     

"Gue sama Eyang juga ngga sedekat itu kok, jadi lu tenang aja."     

"Lalu sekarang, apa yang akan Mas Damar lakukan?" potong Pak Agus.     

Damar terdiam sejenak dan berpikir.     

"Saya mau makan steak, Pak." ucap Damar sambil melirik kearah Pak Agus.     

"Kayanya otak lu geser deh gara-gara abis digampar tadi," timpal Bara.     

"Otak gue udah geser semenjak kita bertiga bisa kumpul kaya dulu lagi."     

Damar berdiri dan kembali merapikan pakaiannya.     

"Ayo, bangun," Damar menyuruh Bara untuk segera bangkit dari kursinya.     

"Lu serius mau makan?" tanya Bara tidak percaya.     

"Ya serius, gue udah laper nih."     

"Oh, gue pikir cuma bercanda doang."     

"Kita harus makan yang banyak, karena abis ini pekerjaan kita bakal berat," seru Damar.     

"Kalian makan berdua saja, saya masih ada urusan," ujar Pak Agus.     

"Bapak ada urusan apa lagi?" tanya Bara keheranan.     

"Masih ada beberapa hal yang harus saya urus bersama Rudolf, jadi saya akan makan bersama Rudolf," terang Pak Agus.     

"Yaudah, ayo kita berangkat," Damar sudah tidak sabar untuk segera pergi meninggalkan kantor.     

"Iya," Bara bangkit berdiri dan berpamitan pada Pak Agus, "Kalau gitu, saya pergi dulu, Pak."     

Damar segera berjalan menuju pintu ruangan Pak Haryo, Bara berjalan mengambil jasnya yang tersampir pada gantungan baju dan segera berjalan menyusul Damar.     

Pak Agus menatap keduanya yang keluar bersamaan dari ruangan Pak Haryo.     

"Seperti masa lalu," batinnya.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.