Bara

I'm still Bara



I'm still Bara

0Setelah hampir satu bulan tidak sadarkan diri di ruang ICU, akhirnya Bara bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Mungkin bukan ruang rawat biasa karena sebenarnya dia berada di ruang rawat VVIP. Hari-hari setelah siuman, Bara habiskan dengan berbagai macam terapi untuk memulihkan keadaannya. Hampir setiap hari Pak Haryo menemaninya, tidak terkecuali hari ini. Sebenarnya Bara merasa tidak enak jika Pak Haryo terus menemaninya. Selain karena belum terbiasa dengan kehadiran Pak Haryo, Bara juga masih tidak percaya bahwa Pak Haryo adalah Kakeknya.     

"Kamu mau santai dulu di taman atau langsung kembali ke kamar?" tanya Pak Haryo pada Bara ketika mereka sedang berjalan keluar dari ruang terapi.     

"Kalau Bapak mau santai di taman kita bisa ke taman dulu. Bapak pasti bosan menemani saya terus," jawab Bara.     

"Memangnya ada alasan buat saya bosan nemenin kamu? Kamu, kan, cucu saya."     

Pak Haryo bisa menyadari bahwa Bara terlihat masih menjaga jarak darinya. Pak Haryo kemudian melanjutkan mendorong kursi roda yang diduduki Bara dan mengarah ke taman. Sesampainya di taman, Pak Haryo duduk di salah satu bangku taman dengan Bara di sampingnya.     

"Kalau boleh jujur, Pak. Saya merasa ngga enak sama Bapak, saya tahu siapa Bapak dan saya sadar diri saya siapa. Rasanya ngga mungkin kalau saya ini cucu Bapak." Bara akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan isi pikirannya.     

Mendengar ucapan Bara, Pak Haryo tidak sanggup berkata apa-apa. Alih-alih menimpali ucapan Bara, Pak Haryo justru menelpon asistennya dan menyuruhnya untuk ke taman membawakan tasnya. Asisten Pak Haryo datang dengan tergesa sambil membawakan tasnya. Pak Haryo kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya.     

"Saya tahu kamu pasti ragu, meskipun saya senang mendengar kabar cucu saya sudah ditemukan. Saya masih melakukan cross check untuk membuktikannya," ujar Pak Haryo sambil menyerahkan amplop coklat tersebut kepada Bara.     

Pak Haryo melanjutkan ucapannya. "Selagi kamu tidak sadarkan diri, saya melakukan tes DNA untuk memastikan apakah kamu benar-benar cucu saya. Dan hasilnya ada disitu, kamu bisa lihat sendiri." Pak Haryo meminta bara untuk membuka amplop coklat tersebut dan melihat sendiri hasil tes DNA yang sudah dilakukan Pak Haryo. Bara sedikit ragu untuk membuka amplop coklat tersebut dan menatap Pak Haryo. Pak haryo memberikan isyarat untuknya segera membuka amplop tersebut.     

Bara perlahan membuka amplop tersebut. Mencoba memahami tulisan yang ada di selembar kertas yang diambilnya dari dalam amplop tersebut. Meskipun hasil tes DNA tersebut menggunakan bahasa inggris, Bara masih bisa memahami isinya. Bara terkejut begitu membaca hasil yang menyatakan bahwa DNA miliknya dan Pak Haryo cocok. Itu artinya dia benar-benar cucu seorang Tubagus Haryo Pradana.     

"Ngga mungkin." Bara bergumam.     

Bara menatap Pak Haryo dengan tatapan terkejut. Pak Haryo hanya membalas tatapan bara dengan senyum.     

"Kalau Bapak ini Kakek saya, terus orang-orang yang selama ini saya kenal sebagai Kakek, Nenek dan orang tua saya itu siapa?" Bara tampak sangat terkejut dengan kenyataan yang sedang dipegangnya saat ini.     

"Hal itu masih saya selidiki," jawab Pak Haryo singkat.     

Bara terdiam.     

"Jadi sekarang kamu sudah percaya, kan, kalau kamu ini cucu saya?" Pak Haryo kembali bertanya pada Bara.     

Bara tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Pak Haryo.     

"Otak saya masih mencerna ini semua." Hanya jawaban itu yang bisa Bara berikan.     

"Tidak masalah kalau kamu masih perlu waktu untuk menerima semuanya. Ayo, kita kembali ke kamar."     

Pak Haryo kembali mendorong kursi roda yang diduduki Bara dan menuju kamar tempat Bara dirawat.     

----     

Setibanya di kamar, Pak Haryo membantu Bara kembali ke ranjangnya.     

"Maaf, Pak. Bisa tinggalin saya sendiri dulu? Saya lagi mau sendiri," ujar Bara.     

Pak Haryo menatap Bara dan menyadari jika Bara memang masih memerlukan waktu untuk menerima kenyataan tentang dirinya.     

Pak Haryo menepuk lembut bahu Bara. "Take your time, kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa hubungi saya, Asisten saya berjaga diluar." Kemudian Pak Haryo melangkah keluar dan meninggalkan Bara sendiri di kamar.     

Bara termenung sendirian di kamarnya. Dia bingung harus bagaimana mengekspresikan perasaannya. Percaya tidak percaya jika dia memang cucu seorang Tubagus Haryo Pradana. Lalu siapa orang-orang yang selama ini sudah dia anggap sebagai keluarganya.     

----     

Sementara itu di luar ruangan Pak Haryo berdiskusi dengan Asisten dan Penyidik yang disewanya untuk mencari Bara.     

"Kamu bisa cari tahu apa yang terjadi setelah kecelakaan tersebut?" Tanya Pak Haryo pada Penyidik tersebut.     

"Saya sudah sempat mencari tahu, tapi orang yang selama ini merawat Mas Bara sudah meninggal, saya akan menggali informasi lagi dari orang-orang yang tinggal di sekitar mereka," jawab si Penyidik.     

"Saya penasaran kenapa Bara bahkan tidak ingat wajah saya, padahal dulu dia sangat dekat dengan saya, apa yang terjadi sebenarnya setelah kecelakaan itu?"     

Pak Haryo tampak frustasi melihat Bara yang tidak bisa mengingat dirinya. Meskipun kejadian itu sudah terjadi puluhan tahun lalu, namun pada saat peristiwa itu terjadi umur bara sudah bukan anak kecil lagi. Pak Haryo mengintip ke dalam kamar Bara, dilihatnya bara sedang berbaring, satu lengannya menutupi wajahnya.     

"Kehidupan seperti apa yang sudah kamu jalani selama ini," batin Pak Haryo.     

Tampak kesedihan di wajahnya ketika memandang Bara dari balik pintu kamarnya.     

***     

Akhirnya Bara sudah diperbolehkan pulang. Tentu saja dia akan pulang ke kediaman Pak Haryo. Pagi-pagi Pak Haryo sudah datang untuk menjemputnya. Meskipun akhirnya mereka baru bisa pulang setelah Bara menjalani pemeriksaan terakhir.     

"Ayo duduk!" Pak Haryo meminta Bara untuk kembali duduk di kursi rodanya.     

"Saya sudah bisa jalan kok, Pak."     

"Sudah berapa kali saya bilang jangan panggil saya Bapak, saya ini kan Kakek kamu, panggil saya Eyang."     

"M, maaf, Eyang," Bara masih saja kikuk berbicara dengan Pak Haryo. Apalagi memanggilnya dengan sebutan Eyang.     

"Sudah, ayo sini kamu duduk, kamu belum boleh terlalu capek."     

Pak Haryo memaksa Bara untuk duduk di kursi rodanya. Bara pun akhirnya memilih untuk menuruti kemauan Pak Haryo.     

Bara merasa aneh dengan tatapan para Pegawai rumah sakit yang menatap dirinya dan Pak Haryo ketika berjalan di koridor rumah sakit. Belum pernah dirinya menjadi pusat perhatian seperti sekarang. Pak Haryo hanya sesekali menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada pegawai yang ditemuinya. Bara memilih untuk menutupi wajahnya sambil menunduk karena tidak tahan dengan tatapan mereka. Sesampainya di lobi rumah sakit, Bara semakin terkejut dengan kehadiran puluhan wartawan.     

"Oh, mungkin ada Artis habis lahiran," pikir Bara.     

Tapi pikiran itu langsung buyar begitu melihat para wartawan yang langsung berkerumun ke arahnya. Entah darimana munculnya tiba-tiba para wartawan itu sudah dihadang oleh petugas keamanan berbaju safari. Bara yang terkejut terus merunduk sambil menutupi wajahnya. Sementara para petugas keamanan berusaha memberikan jalan untuk dirinya dan Pak Haryo agar segera memasuki mobil. Dengan dibantu salah seorang petugas, akhirnya Bara masuk ke dalam mobil. Pak Haryo menyusul kemudian dan akhirnya mobil perlahan melaju meninggalkan pelataran rumah sakit yang masih dikerumuni wartawan.     

Bara merebahkan kepalanya di sandaran jok mobil.     

"Apaan itu tadi, ngapain wartawan ngerubung kaya tadi?" pikir Bara.     

"Kamu jangan kaget lihat yang seperti tadi, mulai sekarang kamu harus siap menghadapi situasi seperti tadi, apalagi kalau kamu nanti dapat pacar Artis," ucap Pak Haryo sambil tertawa.     

Bara hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Pak Haryo. Bara menyadari keadaannya saat ini pasti akan sangat berbeda dengan keadaannya dahulu. Bahkan mungkin segala aspek kehidupannya akan berbalik tiga ratus enam puluh derajat. Sampai-sampai Pak Haryo bisa mengeluarkan ucapan seperti tadi. Disatu sisi dia juga harus menjaga sikapnya agar tidak merusak nama baik Pak Haryo. Bara menatap jalanan di luar. Tidak banyak yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan.     

-----     

"Bara, kita hampir sampai."     

Pak Haryo membangunkan Bara yang tertidur disebelahnya. Bara membuka matanya. Perlahan mobil yang mereka tumpangi melewati sebuah gerbang besar, kemudian menyusuri jalan yang diapit taman di kanan dan kirinya. Sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah dengan gaya Eropa bercat putih. Baru bagian luarnya saja Bara sudah terperangah. Biasanya dia hanya melihat bentuk rumah seperti ini dari film-film barat yang dia tonton. Tidak terbayangkan kalau saat ini dirinya akan tinggal di tempat seperti di film yang pernah ia tonton. Tampak luar rumah ini terlihat sederhana dan bersahaja, meskipun terlihat sederhana, dibalik kesederhanannya rumah ini tetap terlihat mewah.     

Begitu tiba di depan rumah, mereka disambut oleh beberapa Asisten Rumah Tangga yang sigap membantu mereka.     

"Mulai sekarang ini rumah kamu juga, ayo kita masuk," ajak Pak Haryo.     

Bara tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada kediaman Pak Haryo. Jelas sekali Pak Haryo memiliki selera yang berkelas. Lantai rumah yang semuanya dilapisi marmer serta perabotan yang semuanya terlihat mewah. Bara merasa seperti sedang berteleportasi ke Eropa.     

"Pak Agus, tolong antar Bara ke kamarnya."     

Pak Haryo meminta tolong pada Asistennya untuk mengantar Bara.     

"Bara!"     

"Bara!"     

"Oh, iya." Bara terkesiap ketika menyadari Pak Haryo sedang memanggilnya.     

"Pak Agus nanti yang akan nunjukin kamar kamu, saya ada urusan sebentar, nanti malam kita makan bersama," ujar Pak Haryo.     

Bara menganggukkan kepala. Dia ingat Pak Haryo pastilah orang yang super sibuk. Mungkin selama menemani Bara di rumah sakit banyak pekerjaannya yang tertunda karena dia selalu bersama Bara.     

"Mari Mas Bara, saya antar," seru Pak Agus yang sudah siap mengantar Bara.     

Bara mengangguk. Pak Agus kemudian berjalan mendahului Bara untuk menunjukkan kamar tidur yang akan di tempati olehnya. Bara segera mengikuti Pak Agus dengan berjalan di belakangnya.     

----     

"Nah, ini kamar Mas Bara, silahkan masuk."     

Pak Agus mempersilahkan Bara untuk memasuki kamarnya. Ruang kamar dengan design minimalis tapi tetap dengan sentuhan mewah.     

"Ini kamar saya, Pak?" tanya Bara tidak percaya.     

"Ya tentu saja ini kamar Mas Bara, masa kamar saya." Pak Agus menjawab pertanyaan Bara sembari tersenyum.     

Belum pernah seumur hidupnya Bara melihat kamar seluas ini. Bahkan luas rumah kontrakan yang selama ini menjadi tempat tinggalnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan luas kamarnya saat ini. Pak Agus kemudian menunjukkan ruangan-ruangan yang ada didalam kamarnya. Mulai dari kamar mandi sampai ruang gantinya. Bara terkejut melihat isi ruang ganti yang ada di kamarnya.     

Selama ini pakaian-pakaian yang ia gunakan hanya ditaruh di dalam lemari kayu usang yang beberapa bagiannya sudah digerogoti rayap. Saat ini, di dalam ruang gantinya terdapat deretan pakaian yang masih terlihat sangat baru, disusun berdasarkan warna dan jenisnya. Di sisi lainnya terdapat rak sepatu dan lemari untuk menyimpan aksesoris seperti topi, kacamata dan dasi.     

"Gue pake dasi?" Bara tertawa di dalam pikirannya sendiri. Membayangkan dirinya menggunakan setelan jas lengkap dengan dasi.     

"Baju-bajunya sengaja tidak disiapkan banyak Mas, takut ngga pas sama Mas Bara, jadi dibeli seperlunya saja."     

Pak Agus mencoba menjelaskan mengapa baru ada sedikit pakaian di dalam walking closet tersebut. Padahal yang dilihat Bara isi ruang ganti ini sudah lebih dari cukup.     

"Iya, ngga apa-apa pak, ini sudah lebih dari cukup," jawab bara.     

"Segini dibilang dikit? Baju gue selama ini ya itu-itu aja," batin Bara melanjutkan ucapan dari mulutnya.     

Pada bagian tengah ruang ganti tersebut terdapat sebuah laci bersusun yang bagian atasnya terbuat dari kaca sehingga Bara bisa melihat isinya. Bara terperangah begitu melihat isi laci tersebut, didalamnya terdapat puluhan koleksi jam tangan mewah. Selama ini dirinya memang mempunyai ketertarikan pada jam tangan. Tapi yang mampu dia beli hanyalah jam tangan KW yang banyak dijual di Pasar Senen. Bara tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya saat ini.     

"Ini semua juga buat saya, Pak?" Tanyanya pada Pak Agus.     

"Sebenarnya itu koleksi milik Papa Mas Bara. Ya, sekarang itu jadi milik Mas Bara," terang Pak Agus.     

"Kamar ini dulunya juga kamar Papanya Mas Bara, tapi designnya agak sedikit diubah." Pak Agus melanjutkan.     

Bara kemudian kembali melangkah ke area sekitar tempat tidur. Dia melihat sebuah foto keluarga di meja nakas yang berada di samping tempat tidur. Ada seorang pria dan wanita bersama anaknya yang masih kecil. Bara lama memandangi foto tersebut. Jika dilihat, wajah pria di foto tersebut mirip dengan Bara. Dan sepertinya mereka berdua juga memiliki ketertarikan yang sama pada jam tangan.     

Pak Agus menyadari kebingungan dalam wajah Bara. "Itu foto Papa dan mamanya Mas Bara, yang kecil itu mas bara."     

Bara tidak ingat dirinya pernah berfoto bersama kedua orang di foto tersebut.     

"Saya tinggal dulu, Mas. Mas Bara istirahat saja." Pak Agus pamit meninggalkan Bara.     

"Iya, Pak. Terima kasih."     

Bara kemudian duduk di pinggir tempat tidur sambil terus menatap foto yang dipegangnya.     

"Jadi mereka Papa Mama gue, terus orang yang selama ini gue panggil Ibu sama Bapak itu siapa?" batin Bara.     

Bara kemudian kembali meletakkan foto tersebut. Bara bangkit berdiri dan membuka tirai yang berada tak jauh dari tempat tidur. Begitu tirai dibuka, Bara bisa melihat pemandangan kolam renang dan taman belakang rumah. Bara menggeser pintu kaca dibalik tirai lalu melangkah keluar dan duduk di kursi santai yang berada di balkon kamarnya. Dipandanginya seluruh area kolam renang dan taman. Dari teras kamarnya, Bara bisa melihat ruang keluarga dengan jendela kaca yang besar. Terdapat jalan setapak di taman dekat kamarnya yang menghubungkan kamar Bara dengan ruang keluarga.     

"Ini ngga mimpi, kan?" Bara mencubit lengannya dan merasakan sakit.     

Semua kemewahan ini adalah miliknya. Bara kembali masuk ke dalam kamarnya dan memilih untuk membersihkan badannya.     

----     

Setelah beberapa saat kebingungan dengan berbagai tombol yang ada di kamar mandinya, akhirnya Bara berhasil mengisi bathup dengan air hangat. Bara memilih berendam untuk menenangkan tubuh dan pikirannya. Bara memejamkan matanya. Menghayati kenyamanan yang ia rasakan saat ini. Cukup lama Bara berendam sambil membersihkan dirinya.     

Selesai membersihkan diri, dia memandangi pantulan tubuhnya di cermin. Memandangi bekas luka yang terdapat ditubuhnya. Luka yang membuatnya hampir mati. Namun bukan kematian yang dia dapatkan, akan tetapi dirinya seperti dilahirkan kembali dalam keadaan yang sepenuhnya berbeda. Bara mencoba memegang bekas luka tersebut. Masih terasa sedikit nyeri. Nyeri yang akan mengingatkannya akan pengalaman hampir menghadapi kematian dan keadaan dirinya sebelum bertemu dengan Pak Haryo.     

Bara kemudian melangkah menuju ruang ganti dengan hanya menggunakan handuk. Ia memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya. Pilihannya jatuh pada setelan kaus casual warna biru navy dan celana training panjang. Setelah mengenakan pakaiannya, Bara mulai melihat-lihat jam tangan mewah yang ada di laci kaca. Sebenarnya sudah sedari tadi dirinya ingin membuka laci tempat koleksi jam tangan tersebut. Tapi dia berusaha untuk menahan dirinya agar tidak terlihat norak di depan Pak Agus. Bara memberanikan diri untuk menjajal beberapa jam tangan yang ada disitu. Kemudian pilihannya jatuh pada jam tangan sporty berwarna mariner blue keluaran Breitling. Wajahnya terlihat sangat puas begitu melihat jam tangan tersebut bertengger di lengannya.     

Bara kembali melihat dirinya dicermin. Mencoba membandingkan dengan penampilan sebelumnya. Tidak ada yang terlalu berbeda.     

"Gue tetap Bara," ucapnya pada dirinya sendiri.     

*****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.