Bara

Butterfly



Butterfly

0Bara menikmati udara pagi dari balkon apartemennya yang berada di lantai tiga puluh tiga. Pagi ini udara jakarta terasa sedikit lebih segar karena sedang berlangsung car free day. Ditambah lagi cuaca yang mendung, membuat pagi ini terasa semakin sejuk. Bara mengamati lautan manusia di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia dari balkon apartemennya.     

"Ngga ikutan car free day, Mas?" Mbok Inah nyeletuk dari dalam apartemen Bara.     

"Ngga, Mbok," Bara menjawab celetukan Mbok Inah tanpa memalingkan wajahnya.     

"Mas Bara ngga bosan di apartemen terus? Mumpung hari libur, biasanya kan anak muda seumuran Mas kalau libur main kemana-mana," seru Mbok Inah.     

Bara terdiam mendengar perkataan Mbok Inah. Mungkin ada benarnya juga perkataan Mbok Inah. Selain bekerja dan jika Kimmy tidak memaksanya untuk pergi keluar, Bara lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen. Bara merasa kondisi fisiknya saat ini sedikit berbeda dibanding sebelum peristiwa penyerangan tempo hari. Saat ini dia mudah sekali merasa lelah, maka dari itu jika sudah memasuki akhir pekan, Bara lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan beristirahat. Bara membuka ponselnya, begitu melihat isi kontaknya, hanya ada nama Kimmy, Eyang, Arga dan beberapa orang karyawan MG Group. Kimmy sedang melakukan pemotretan di luar negeri. Begitu pun dengan Pak Haryo yang sedang berada diluar negeri untuk keperluan bisnisnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba mengubungi Arga, jika dia mengubungi Arga, itu artinya dia harus kembali menjadi Ranu. Sudah cukup dia menjadi Ranu selama bekerja. Dia tidak ingin di akhir pekan kembali menjadi Ranu. Bara kemudian berpikir untuk pergi ke tempat Bang Jali. Tapi sebelum memutuskan, Bara berpikir keras apa yang harus dikatakannya jika Bang Jali menanyakan keberadaannya selama ini. Bagaimana jika dia kembali bertemu dengan penagih hutang yang dulu mengejarnya. Bara akhirnya mengenyahkan segala pikiran yang menurutnya tidak usah terlalu dia pikirkan dan memutuskan untuk pergi ke tempat Bang Jali. Rasanya, dia juga perlu mengobrol dengan Bang Jali seputar pria paruh baya yang mirip dengan Bapaknya yang belum lama ini tidak sengaja ia temui. Mungkin Bang Jali mengetahui informasi tentang keberadaan Bapaknya. Mengingat di warkop Bang Jali seringkali terjadi pertukaran informasi yang tidak disengaja.     

***     

"Udah rapi mau kemana Mas?" tanya Mbok Inah begitu melihat Bara keluar dari kamarnya sudah dalam keadaan rapi.     

"Tadi kan Mbok sendiri yang bilang, anak muda seumuran saya kalau libur pada main, yasudah saya mau main."     

"Mau Mbok telponin Supir buat antar Mas Bara?"     

"Ngga perlu Mbok, saya mau naik kendaraan umum aja."     

"Saya pergi dulu ya, Mbok." Lanjut Bara seraya melangkah keluar dari apartemennya.     

Mbok Inah tersenyum melihat Bara yang baru saja pergi meninggalkan apartemennya. Dirinya sangat salut dengan kepribadian Bara yang menurutnya sangat berbeda dengan anak orang kaya kebanyakan ditempatnya bekerja dahulu. Mungkin karena Bara pernah hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, kehidupannya yang keras telah membentuknya menjadi pribadinya saat ini. Sehingga Bara bisa sangat menghargai apa yang dimilikinya saat ini.     

"Semoga Mas Bara selalu dilindungi Tuhan, jangan sampai kejadian seperti dulu terulang lagi," batin Mbok Inah mendoakan Bara.     

***     

Bara keluar dari gedung apartemennya dan berjalan kaki sedikit menuju halte Trans Jakarta. Trans Jakarta pada saat car free day tidak ada bedanya dengan pada saat hari kerja. Penuh sesak. Ditambah lagi pada saat car free day banyak sekali remaja-remaja tanggung yang pergi bergerombol untuk menikmati car free day. Para remaja ini bercerita dan tertawa keras di dalam bus Trans Jakarta. Tidak jarang ada beberapa penumpang yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tetapi ada juga yang ikut mencuri dengar dan tanpa sadar ikut tertawa kecil mendengar cerita mereka yang heboh. Sisanya adalah golongan yang tidak terlalu memperdulikan keributan para remaja tersebut, termasuk Bara. Bara memilih untuk menggunakan headset dan mendengarkan musik. Bara tidak menyadari ada grup remaja perempuan yang sedang mencuri pandang ke arahnya dan saling berbisik.     

"Mas yang pakai bomber hijau, kata teman saya, Masnya ganteng banget," teriak salah satu remaja wanita tersebut.     

Gerombolan remaja tersebut langsung cekikikan sambil berisik-bisik setelah temannya berani meneriaki Bara. Sayangnya yang diteriaki tidak menyadarinya. Bara asyik mendengarkan lagu sambil memperhatikan jalanan. Tiba-tiba saja penumpang yang duduk dihadapan Bara menarik ujung jaket yang dikenakan bara. Bara melepas salah satu headsetnya begitu menyadari ada yang menarik ujung jaketnya dan menatap penuh tanya ke penumpang dihadapannya.     

"Kata anak-anak disitu Masnya ganteng banget," ucap penumpang tersebut sambil menunjuk ke arah gerombolan remaja perempuan yang tadi meneriaki Bara.     

Bara yang keheranan menoleh kearah remaja-remaja tersebut. Melihat Bara menoleh ke arah mereka, remaja-remaja itu saling senggol dan berbisik-bisik sambil cekikikan.     

"Mas ganteng udah punya pacar belum?" teriak salah seorang diantara mereka.     

Teriakan itu membuat beberapa penumpang ikut menoleh ke arah Bara. Bara menjadi salah tingkah dengan ulah remaja tersebut.     

"Anak jaman sekarang pada berani-berani banget, cuekin aja Mas," ucap penumpang di depan Bara.     

"Iya," ucap Bara salah tingkah dan berusaha mengabaikan ulah remaja-remaja tersebut.     

Setelah melewati beberapa halte akhirnya para remaja tersebut turun. Sebelum turun mereka masih sempat menggoda bara.     

"Dadah Mas ganteng." Mereka kompak berteriak begitu mereka melewati Bara.     

Pipi Bara bersemu merah akibat ulah para remaja tersebut. Bara yang salah tingkah berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan menunduk dan berpura-pura memainkan ponselnya.     

***     

Bara tiba di sebrang jalan tidak jauh dari warung kopi milik Bang Jali. Diperhatikannya deretan ruko yang dulu menjadi tempatnya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. Saat melihat seorang juru parkir sedang memarkirkan kendaraan, Bara seolah melihat bayangan dirinya sendiri kala itu. Tidak peduli panas terik atau hujan, dia akan dengan sigap memarkirkan kendaraan yang keluar masuk. Semata-mata agar dia bisa membayar biaya sewa kontrakan dan melunasi hutang yang ditinggalkan Bapak. Bara melangkah menyebrangi jalanan dan langsung menuju warung kopi milik Bang Jali yang berada di sebelah deretan ruko tersebut. Setibanya di warkop Bang Jali, Bara langsung duduk dideretan bangku yang ada disitu. Bang jali belum menyadari kehadiran Bara di warkopnya. Bang jali sedang sibuk merapikan susunan minuman sachet di tembok.     

"Mie rebus satu bang." Bara berteriak untuk memesan satu mangkuk mie rebus. Berharap bang jali masih mengenali suaranya.     

"Gue kaya kenal ini suara," pikir Bang Jali dan menghentikan kegiatannya sejenak. Bang jali memutar tubuhnya perlahan.     

"Apa kabar bang?" Bara menyapa Bang Jali.     

"Bocah setan, hari gini baru nongol." Bang jali berteriak sambil memukul Bara menggunakan lap yang ada dibahunya.     

"Ampun, Bang. Ampun." Bara berusaha menangkis pukulan kain lap Bang Jali. Bang Jali menghentikan pukulannya dan memperhatikan Bara.     

"Kemana aja lu?" tanya Bang Jali tanpa berbasa-basi.     

"panjang ceritanya bang."     

"Apa perlu gue tutup nih warung buat dengerin cerita lu," canda Bang Jali.     

"Sambil makan indomie rebus juga udah cukup, Bang." Bara menimpali ucapan Bang Jali dan mereka berdua pun tertawa bersama.     

Bang Jali segera menyiapkan semangkuk indomie rebus untuk Bara.     

"Gue kirain lu udah diculik sama preman terus dijual," ucap Bang Jali seraya menyajikan semangkuk mie panas dihadapan Bara. Bang jali kemudian duduk di sebelah Bara.     

"Penampilan lu agak beda," Bang Jali melanjutkan ucapannya.     

"Ah sama aja, Bang. Perasaan Abang aja kali."     

"Beneran dah, kaya ada yang beda gitu."     

Bang Jali kemudian memperhatikan jam tangan yang dikenakan Bara ketika sedang menyuapkan mie kedalam mulutnya. Ketika Bara selesai menyuapkan mie kedalam mulutnya, Bang Jali tiba-tiba meraih tangan Bara dan memperhatikan jam tangan tersebut dengan seksama.     

"Gue tahu nih, ini jam bukan jam KW yang biasa lu pakai."     

Bara refleks menarik tangannya dan mencoba menutupi jam tangan Tag Heuer seri Carrera miliknya.     

"Ngaku lu sama gue, jangan-jangan lu beneran jadi simpenan tante-tante ya?"     

"Astaga, ngga Bang, sumpah!"     

"Terus darimana lu bisa dapat jam tangan mahal begitu?"     

"Nah itu Bang, panjang ceritanya."     

"Yaudah lu cerita aja ama gue."     

"Tapi a6bang janji, jangan kasih tahu siapa-siapa."     

"Yailah, lu kaga percaya amat ama gue," Bang Jali bangkit berdiri dan menutup pintu warkopnya.     

"Nah gue jamin cerita lu ngga bakal kesebar keluar." Bang Jali kembali duduk di sebelah Bara. Bara percaya Bang Jali adalah orang yang selalu memegang ucapannya. Bara kemudian mulai bercerita dari malam pada saat dia diserang oleh sekelompok penagih hutang. Bang Jali tidak dapat menyembunyikan kegeramanannya begitu mendengar para penagih hutang tersebut mengeroyok Bara sampai dirinya terluka parah dan hampir mati akibat salah seorang diantara mereka yang menusuknya dan meninggalkan bara tergeletak begitu saja. Bara kemudian melanjutkan cerita ketika dirinya tersadar disebuah rumah sakit dan seorang pria tua yang menemuinya mengaku sebagai kakek kandungnya.     

"Jadi, selama ini yang ngurusin lu bukan keluarga asli lu?"     

"Awalnya juga gue bingung kaya Abang, tapi orang itu bawa bukti hasil tes DNA, dan hasilnya memang dia itu keluarga gue."     

"Emang siapa orang yang ngaku jadi kakek lu itu?"     

"Abang tahu Kakak beradik dari keluarga Pradana?"     

"Maksud lu keluarga Pradana yang salah satu orang terkaya di Indonesia itu? Iya gue tahu. Terus apa hubungannya sama lu?"     

"Nah yang nemuin dan ngaku sebagai kakek gue itu Haryo Pradana."     

Bang jali menganga mendengar ucapan Bara. Mencoba memproses informasi yang Bara berikan. Bara dan Haryo Pradana memiliki hubungan darah. Bara yang selama ini ia kenal selalu kesusahan bahkan untuk makan sehari-hari sering berhutang padanya ternyata adalah cucu salah satu orang terkaya di indonesia.     

"Jangan ngibul lu," Bang Jali masih belum percaya dengan apa yang diceritakan Bara.     

"Awalnya gue juga ngga percaya Bang."     

"Jadi lu beneran cucunya Haryo Pradana?"     

Bara hanya mengangguk pelan.     

"Gue pikir yang kaya gitu cuma ada di sinetron," timpal Bang Jali.     

Bara kembali menceritakan tentang dirinya yang tidak mengingat apa pun tentang keluarga kandungnya. Bara juga menceritakan perihal kedua orang tuanya yang sudah meninggal karena kecelakaan dan bagaimana setelah kecelakaan itu Bara seolah hilang ditelan bumi.     

"Lu ngga inget pernah kecelakaan?" tanya Bang Jali.     

Bara menggeleng mendengar pertanyaan Bang Jali.     

"Ibu lu dulu ngga pernah cerita apa-apa?"     

"Ngga, makanya sekarang satu-satunya orang yang bisa gue tanyain cuma Bapak. Abang pernah dengar informasi tentang Bapak ngga Bang?"     

"Gue belum pernah dengar soal dia, nanti coba gue tanya-tanya."     

"Kabarin gue Bang kalau ada informasi soal Bapak."     

"Gampang itu sih."     

Bara kembali melanjutkan cerita tentang apa yang dikerjakannya selama ini setelah dirinya keluar dari rumah sakit dan tinggal bersama Pak Haryo. Bagaimana dirinya saat ini sedang berusaha belajar tentang perusahaan yang didirikan oleh Kakeknya itu.     

"Gue kayanya mau mampir ke kontrakan Bang, kira-kira barang-barang gue udah dikeluarin belum ya sama yang punya kontrakan?"     

"Barang-barang lu masih ada."     

"Abang tahu darimana?"     

"Gue yang nalangin bayarin sewa kontrakan lu, jaga-jaga kalau lu tiba-tiba nongol."     

"Serius Bang? Berapa bang biar gue ganti," ucap Bara sembari mengeluarkan dompet dari dalam sakunya.     

"Udah ngga usah, gue ikhlas kok nolongin lu. Gue juga bersyukur keadaan lu sekarang jauh lebih baik dari lu yang gue kenal dulu, semoga lu tetap jadi pribadi yang selama ini gue kenal."     

"Iya, Bang. Makasih banyak, Bang."     

"Ayo sekalian gue anter kalau lu mau mampir ke kontrakan lama lu."     

"Ngga usah Bang, nanti ngerepotin Abang."     

"Kaya sama siapa aja lu, udah ayo buruan," Bang Jali bergegas mengambil kunci motor miliknya dan keluar dari dalam warung.     

Bara mengikuti bang jali keluar. Setelah itu, bara membantu Bang Jali menutup warungnya. Kemudian mereka pergi berboncengan menuju kontrakan lama Bara.     

***     

Bara mencari-cari kunci kontrakan lamanya. Seingatnya dia menaruh kunci kontrakan tersebut di sela-sela lubang angin diatas pintu. Bang Jali yang melihat bara kebingungan segera melangkah kedepan pintu. Tanpa disangka Bang Jali membuka pintu tersebut. Bara yang bingung dibuat semakin bingung ketika Bang Jali berhasil membuka pintu kontrakannya.     

"Kuncinya gue bawa," ucap Bang Jali singkat.     

"Nah masuk gih." Bang Jali menyuruh Bara untuk segera masuk kedalam kontrakannya.     

Bara segera memasuki kontrakannya. Bara terkejut karena kondisi kontrakan yang tadinya dia bayangkan akan penuh debu dan berantakan ternyata berbeda dari yang dia bayangkan. Kontrakan tersebut dalam keadaan rapi dan bersih.     

"Abang juga yang bersihin ini?" tanya Bara.     

"Ya kan kontrakan ngga mungkin bisa bersih sendiri, lagian juga cuma seminggu sekali gue cek sekalian bersihin," jawab Bang Jali.     

"Makasih banyak Bang, gue ngga tahu harus ngomong apa lagi."     

"Santai aja," timpal Bang Jali.     

"Emang lu mau nyari apalagi disini?" tanya Bang Jali.     

"Ngambil amplop dari Ibu," jawab Bara.     

Bara kemudian segera melangkah menuju lemari kayu tua yang ada disudut kontrakannya. Bara membuka laci didalam lemari tersebut dan meraba bagian atas laci tersebut. Bara menarik keluar sebuah amplop coklat yang dulu sempat diberikan Ibu kepadanya sebelum meninggal. Ibu bahkan sempat berpesan agar jangan sampai Bapak mengetahui isi dari amplop tersebut. Karena pesan Ibu tersebut, Bara akhirnya menyembunyikan amplop tersebut di bagian atas di dalam laci lemarinya. Bara membuka amplop yang belum pernah dibukanya tersebut. Bara terkejut dengan apa yang ditemukannya dari dalam amplop. Sebuah kalung liontin emas dengan bandul berbentuk hati. Bandul tersebut di hiasi dengan ukiran berulir berbentuk daun dan bertaburkan batu permata serta berlian.     

"Bang!" Bara memanggil Bang Jali. Bang Jali segera menghampiri Bara.     

"Ternyata ibu ninggalin ini Bang sebelum meninggal." Bara menunjukkan kalung yang sedang dipegangnya tersebut pada Bang Jali.     

"Gila, ini berlian asli?" Bang Jali terkejut dengan apa yang dilihatnya.     

"Ibu lu diem-diem nyimpen kalung berlian?" Bang Jali bertanya pada Bara.     

"Gue juga baru tahu Bang. Setelah Ibu kasih amplop ini ke gue, Ibu nyuruh gue buat umpetin, kata Ibu, Bapak jangan sampai tahu."     

"Iyalah, Bapak lu jangan sampai tahu, kalau dia tahu pasti udah dijual itu kalung."     

"Gue bawa aja ya Bang kalung ini?"     

"Iyalah lu bawa, ngga aman nanti kalau ada yang tahu."     

"Iya Bang." Bara segera memasukkan kalung tersebut kedalam kantung yang ada didalam jaketnya.     

Bara dan Bang Jali bergegas keluar dari dalam kontrakan tersebut. Bang Jali tadinya berniat ingin mengantar bara pulang. Tapi Bara dengan halus menolaknya karena merasa sudah banyak merepotkan Bang Jali. Akhirnya mereka kembali ke warkop Bang Jali dan ba9ra memutuskan untuk kembali ke apartemennya menggunakan taksi. Sebelum berpamitan, Bara memberitahukan tempat tinggalnya saat ini pada Bang Jali dan memintanya untuk sesekali berkunjung ke tempatnya. Tidak lupa juga Bara memberitahukan nomor ponselnya saat ini. Bara memberhentikan sebuah taksi yang sedang melintas dan berpamitan pada Bang Jali.     

"Kapan-kapan gue main lagi Bang," ucap Bara dari dalam taksi yang ditumpanginya.     

"Siap," sahut Bang Jali sambil mengacungkan jempolnya.     

Taksi yang ditumpangi Bara pun perlahan melaju. Bang Jali memandangi taksi yang ditumpangi Bara pergi menjauh.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.