Bos Mafia Playboy

Bulan Madu?



Bulan Madu?

Imelda merasa begitu gelisah setiap kali memikirkan ibu mertuanya. Ia tak pernah melakukan kesalahan atau kejahatan apapun pada seorang wanita yang telah melahirkan suaminya. Namun ... mengapa Natasya sangat membenci dirinya? Pertanyaan itu yang muncul di kepala menantu dari keluarga Prayoga.     

"Apa kamu masih mengingat wajah Mama Irene? Apakah aku sangat mirip denganku?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Imelda. Ia sangat penasaran pada pendapat suaminya sendiri.     

"Tentu saja aku masih sangat mengingat wajahnya. Seorang wanita cantik yang sangat lembut, dan sudah membuat papaku jatuh cinta padanya," jawab Brian dalam sebuah senyuman yang begitu tulus. Seburuk apapun masa lalu antara ibu mertua dan juga ayahnya, Brian ingin melupakannya secara perlahan. Meskipun di dalam hati, ia masih saja terus menyalahkan ayahnya sendiri.     

"Mama Irene memang sangat mirip denganmu, Sayang. Tak ada yang bisa menyangkal hal itu," lanjut Brian lagi.     

Dalam sebuah perasaan yang bercampur aduk, Imelda memandang suaminya. Ia mencoba untuk tersenyum pada sosok pria yang selalu bersamanya itu. Seorang pria yang menjadi cinta pertamanya. Meskipun awalnya, Imelda sama sekali tak pernah mencintai Brian. Seiring berjalannya waktu, hatinya mulai berubah dan jatuh ke dalam cinta tulus dari Brian.     

"Lebih baik kita kembali sekarang saja, Brian. Perselisihan dengan Arya Gunadi sudah berakhir. Beliau sendiri yang akan menemui Papa malam ini." Imelda menarik lengan suaminya dan mengajaknya berjalan menuju ke kamar.     

"Apakah kamu tak ingin menghabiskan waktu di sini sebentar? Siapa tahu kita bisa menikmati suasana seperti sedang bulan madu?" sahut Brian Prayoga dalam tatapan penuh harap.     

Wanita itu justru terkekeh mendengar ucapan dari suaminya. Ia tak menduga jika Brian akan mengatakan hal konyol seperti itu. Bukannya ia tak mau, hanya saja ... masih banyak hal yang lebih penting dari sekedar menikmati waktu santai.     

"Bulan madu?" ulang Imelda atas ucapan suaminya. "Kita tak perlu melakukan bulan madu seperti pasangan lainnya. Hubungan kita ini bukan hubungan biasa yang bebas melakukan apapun di luar sana," terang seorang wanita yang masih memandang suaminya dalam kebingungan. Imelda tak pernah memikirkan untuk berbulan madu sedikit pun.     

Pria itu terlihat cukup kecewa dengan jawaban Imelda. Namun yang dikatakan oleh istrinya itu memanglah benar. Mereka berdua harus sangat berhati-hati pada orang-orang yang bisa mengancam dan juga membahayakan dirinya. Bukan hanya musuh keluarga Mahendra dan juga Prayoga saja. Pasangan itu juga harus berhati-hati pada keluarganya sendiri, terlebih Natasya.     

"Ayo kita membereskan barang-barang dan segera kembali ke rumah. Aku ingin menghabiskan waktu hanya berdua saja denganmu." Brian menggenggam jemari tangan istrinya lalu berjalan bersama menuju ke kamar hotel yang disewanya.     

Setelah berjalan beberapa saat melewati lorong panjang yang tidak terlalu ramai, mereka berdua berpapasan dengan Vincent dan juga Laura yang sudah bersiap untuk pergi.     

"Apakah Kak Vincent akan pulang sekarang?" tanya Imelda pada sosok pria yang berdiri di sebelah wanita yang masih terlihat pucat dan juga sedikit takut.     

"Kami pulang duluan saja, kalian habiskan saja kebersamaan di tempat ini. Masih banyak hal yang harus kulakukan," jawab Vincent pada pasangan di hadapannya.     

Brian dan Imelda saling memandang satu sama lain. Mereka tak menyangka jika pasangan kekasih itu akan segera meninggalkan hotel secepat itu.     

"Biar salah satu bodyguard yang bersamaku membawa mobilmu, Kak. Kebetulan sekali, kami berdua juga akan pulang. Entah mengapa, istriku ini sudah tak sabar untuk segera kembali ke rumah." Brian sengaja mengatakan hal sembari melemparkan sebuah lirikan pada wanita di sebelahnya itu. Ia masih saja kecewa pada penolakan Imelda untuk menghabiskan waktu bersama bak berbulan madu.     

Vincent terlihat berpikir sebentar lalu kembali memandang ke arah pasangan suami istri itu. Ide yg diberikan Brian cukup masuk akal karena dirinya masih terluka karena pukulan keras dari beberapa orang bayaran yang bekerja pada Andra Gunadi.     

"Lekaslah beberes! Aku akan menunggu di lobby hotel bersama Laura." Vincent menjawab hal itu sembari memandang wanita yang berdiri di sebelahnya sembari tersenyum hangat yang penuh ketulusan.     

Begitu Brian dan Imelda pergi ke kamarnya, pasangan kekasih itu beranjak ke sebuah kursi tunggu di lobby hotel. Vincent duduk tepat di sebelah kekasihnya yang sejak semalam hanya terdiam tanpa melakukan atau mengatakan apapun.     

"Apa yang membuatmu sangat risau, Laura? Sejak semalam, kamu sama sekali tak mengatakan apapun pada kami semua. Tidakkah kamu ingin berbicara pada kekasihmu ini." Vincent sengaja menggenggam jemari tangan wanita itu. Ia merasa jika telapak tangan Laura sedikit basah dengan tatapan sangat gelisah.     

Sebelum menjawab pertanyaan dari kekasihnya, Laura mencoba mengulas senyuman hangat pada Vincent. Setengah mati ia mencoba untuk tetap tenang dan bersikap biasa saja. Namun, usahanya sangat sia-sia. Wanita itu tak mampu menutupi perasaannya sendiri.     

"Maaf, Vincent. Aku sudah merepotkan dan juga membuatmu khawatir. Jujur saja, aku masih saja ketakutan setiap teringat kejadian di malam kemarin. Jika saja kamu tak datang, mungkin aku .... " Rasanya, Laura tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Ia tak mampu membayangkan jika hal itu terjadi di dalam hidupnya.     

Pria itu langsung menyentuh bibir Laura dengan jemari tangannya. Ia bisa melihat jika kekasihnya masih saja ketakutan karena insiden malam kemarin. Mungkin saja, wanita itu cukup terguncang karena pelecehan yang hampir merenggut kehormatannya.     

"Itu tak akan terjadi, Laura. Lupakan kejadian buruk malam kemarin. Aku tak ingin kamu semakin tenggelam dalam kegelisahan yang bisa membuatmu semakin terpuruk." Vincent mencoba untuk menghibur kekasihnya. Ia tak rela jika kejadian malam itu justru membuat Laura semakin terpuruk. Apalagi sampai tak bisa melanjutkan kehidupannya.     

"Vincent!" Laura menatap tajam kekasihnya itu dalam sorotan penuh kesedihan dan keraguan cukup dalam.     

Sontak saja, Vincent langsung menatap kekasihnya penuh tanya. Ia sama sekali tak bisa menebak, apa yang ingin ditanyakan oleh wanita yang duduk tepat di sampingnya itu.     

"Apa yang ingin kamu katakan padaku, Laura? Katakanlah!" balas Vincent dalam perasaan cukup cemas namun juga sangat penasaran.     

Dengan penuh keraguan, Laura memandang seorang pria yang sudah beberapa waktu lalu menjadi kekasihnya. Tiba-tiba saja, ia merasa tak pantas berada di samping seorang Vincent Mahendra. Kejadian yang sudah menimpanya malam itu, telah membuat kepercayaan dirinya hancur tak bersisa. Meskipun Andra Gunadi belum sempat melakukan perbuatan hina itu, Laura merasa jika dirinya sudah sangat ternoda.     

"Seandainya malam kemarin, pria brengsek itu berhasil mengambil kehormatan terakhir di dalam diriku ... apakah kamu masih mau menjadi kekasihku?" Itu adalah pertanyaan pertama yang diucapkan oleh Laura kepada Vincent. Masih ada banyak hal yang ingin dikatakan pada kekasihnya itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.