Bos Mafia Playboy

Merebut Brian Prayoga



Merebut Brian Prayoga

0Pagi itu, Martin sengaja datang untuk menemui Adi Prayoga. Dia datang untuk memberitahu rencananya tentang Eliza pada bos-nya. Begitu turun dari mobil, ia melihat ada yang tidak beres di kediaman keluarga Prayoga itu.     

Dengan wajah cemas, Martin menjumpai seorang bodyguard yang sedang berjalan keluar dari rumah mewah itu. "Apa yang baru saja terjadi?" tanyanya sembari menatap kekacauan yang sudah terjadi di rumah itu.     

"Beberapa pria tak dikenal datang dan membawa bos Brian dan juga istrinya," jelas sang bodyguard itu.     

"Apa! Bagaimana itu bisa terjadi? Apa saja yang kalian lakukan!" Martin berteriak cukup keras pada seorang bodyguard di depannya. "Apakah Bos ada di dalam?" tanyanya dalam wajah geram.     

Bodyguard itu terlihat ketakutan mendengar Martin berteriak padanya. Di antara mereka semua, Martin memang sosok yang paling ditakuti selain Brian dan Adi Prayoga. "Bos sedang melakukan perjalanan bersama dua bodyguard lain. Kami sudah berusaha untuk menghubungimu sejak tadi," jelasnya.     

Untung saja, Martin memasang sebuah pelacak di mobil Brian. Setelah insiden penyerangan itu, ia langsung berjaga-jaga agar selalu bisa mengetahui keberadaan anak dari bosnya itu.     

Martin masuk ke dalam sebuah ruangan khusus di rumah Adi Prayoga. Dia langsung melacak keberadaan Brian dan juga Imelda. Dalam beberapa menit saja, ia sudah tahu keberadaan pasangan itu.     

"Bukankah ini rumah sakit tempat Imelda dulu bekerja?" Martin bertanya pada dirinya sendiri sambil menatap layar besar yang memperlihatkan keberadaan mereka berdua. "Untuk apa mereka ke rumah sakit itu?" Lagi-lagi Martin harus berpikir cukup keras untuk mengetahui alasan orang-orang itu membawanya.     

Tak berapa lama, Martin seolah menyadari sesuatu yang sangat penting. "Sial! Bagaimana aku bisa melupakan hal itu?" Tanpa berpikir lagi, Martin langsung masuk ke dalam mobil dan melajukan secepat mungkin. Dia hanya berpikir agar segera sampai di rumah sakit. Sambil mengemudi, ia berniat melihat layar ponselnya. Tapi ternyata ....     

"Aku lupa menyalakan ponselnya!" kesal Martin sambil terus menyalahkan dirinya sendiri. Dia berpikir jika itu semua tak terjadi jika dia tak mematikan ponselnya. Rasanya bersalah yang bercampur dengan kecemasan mulai memenuhi hatinya. Martin akan sangat bersalah jika terjadi hal buruk pada mereka berdua.     

Dalam beberapa menit saja, Martin sudah berada di depan rumah sakit itu. Sebelum ia turun, terlihat Brian dan Imelda baru saja keluar dari gedung tinggi beberapa lantai itu. Dia bisa melihat jika pasangan itu baik-baik. Bahkan dari pandangannya, Martin bisa melihat saat Imelda mengumbar senyuman di wajah cantiknya. Itu berarti jika mereka berdua baik-baik saja.     

Mendadak, Martin justru memikirkan Eliza yang masih berada di rumah sakit itu. Dia yakin jika wanita itu pasti sedang tidak baik-baik saja. Tanpa menemui Brian dan Imelda, ia memutuskan untuk melihat Eliza di dalam ruang perawatannya. Martin hanya ingin memastikan jika adik dari temannya itu baik-baik saja.     

Dengan langkah sangat cepat tanpa keraguan sedikit pun, Martin langsung menuju ke kamar itu. Tak ada yang aneh di sekitar lorong tempat Eliza berada. Bahkan suasana justru terlihat sangat sunyi. Begitu Martin mendorong pintu itu untuk masuk, terlihat sesuatu yang sangat mengejutkan dirinya.     

"Hentikan, Eliza!" Martin datang dan langsung merebut pisau yang sudah berada di tangan wanita itu. Namun Eliza sama sekali tak melepaskan pisau itu dari tangannya. Terjadilah aksi saling merebut di antara mereka. Dan tiba-tiba saja ....     

"Ahhh!" Martin berteriak pelan saat pisau itu berhasil merobek pergelangan tangannya. Darah langsung mengalir deras membasahi lantai itu.     

Eliza langsung panik dan juga sangat bingung. "Apa yang sudah kulakukan ini?" teriaknya sambil berusaha menekan sebuah tombol untuk memanggil petugas medis yang berjaga.     

Tanpa berpikir lagi, Eliza menarik syal miliknya dan langsung mengikat luka di pergelangan tangan Martin. Dia mencoba untuk menghentikan pendarahan Martin. "Maafkan aku! Semua adalah kesalahanku," sesalnya karena merasa sangat bersalah saat darah Martin mengalir cukup deras.     

Sedangkan pria itu sama sekali tak membalas ucapan Eliza. Martin hanya menatap wanita yang terlihat sangat panik dalam rasa bersalah yang besar.     

"Ada apa, Nona Eliza." Seorang perawat yang datang langsung menunjukkan wajah terkejut dan juga panik saat ada darah yang berceceran di lantai ruangan itu     

"Selamatkan suami saya, Sus." Eliza terlihat sangat memohon agar dua suster yang datang. Dia merasa berdosa telah membuat seseorang yang pernah menolongnya terluka karena kebodohannya sendiri. Eliza berpura-pura menjadikan Martin sebagai suaminya agar tidak membuat kehebohan di rumah sakit.     

Seorang perawat membantu Eliza untuk kembali ke atas ranjang, sedangkan yang lainnya membantu membersihkan dan juga mengobati luka di pergelangan Martin. Sejak insiden itu, Eliza sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Martin.     

"Jangan menatapku seperti itu! Aku tak akan mati hanya karena terkena pisau buah," ucap Martin sembari melirik wanita yang sudah berada di atas ranjang.     

"Sebenarnya, apa yang sedang terjadi hingga Anda terluka seperti ini?" tanya seorang perawat yang sedang membalut luka Martin.     

Martin memperlihatkan senyuman di wajahnya lalu menatap Eliza yang terlihat tak berdaya di atas ranjang. "Istriku ingin mengupas buah sendiri, padahal aku sudah melarangnya. Jadi kamu berdua berebut pisau itu dan akhirnya justru melukai tanganku," kilah pria yang mulai pandai berakting sejak berjumpa dengan Eliza Hartanto.     

"Syukurlah luka Anda tidak dalam, besok pagi Anda bisa datang ke sini untuk mengganti perbannya," ucap seorang perawat wanita yang dengan sangat hati-hati memberikan pertolongan kepada Martin.     

"Terima kasih, Suster." Martin mengungkapkan ucapan terima kasih sebelum dua perawat itu keluar dari sana. Pria itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Eliza. "Apa kamu sudah gila? Bagaimana kamu bisa berpikir untuk bunuh diri," tanyanya.     

Eliza justru tak memberikan jawaban, wanita itu menatap Martin dengan wajah yang terlihat sangat menyedihkan. "Itu bukan urusanmu!" sahutnya.     

"Itu jadi urusanku karena aku terlibat juga di sini," tegas Martin pada wanita yang terlihat hancur dan kehilangan harapannya itu. Terlihat sangat jelas jika Eliza benar-benar sangat terluka dan juga menderita. Ada sebuah perasaan yang berhasil untuk menggetarkan hati seorang tangan kanan dari Adi Prayoga itu.     

Wanita itu justru terkekeh dalam kesedihan yang mendalam. Eliza tak peduli jika semuanya akan sangat memalukan baginya. "Bagaimana aku tidak gila? Pria yang aku cintai baru saja membawa istrinya ke sini. Dia berkata jika tak ada sedikit pun cinta untukku. Padahal aku sudah memberikan segalanya untuk pria itu. Bahkan aku bekerja mati-matian agar Brian Prayoga bisa melihatku sedikit saja .... " Eliza memberikan jeda dalam ucapannya. Air matanya mengalir begitu saja setiap kali mengingat betapa menyedihkannya hidup yang harus dijalani.     

"Rasanya aku ingin melawan takdir dan merebut Brian Prayoga dari wanita itu!" Eliza meninggikan nada suaranya dalam wajah yang mulai terbakar amarah yang begitu dalam.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.