Bos Mafia Playboy

Berpura-Pura Menjadi Suami



Berpura-Pura Menjadi Suami

0Martin melajukan mobilnya cukup kencang karena tak tega melihat wanita di sebelahnya itu terlihat kesakitan. Dia paling tak tega harus menyaksikan secara langsung penderitaan seorang wanita. "Apa Anda baik-baik saja?" cemas Martin pada wanita itu.     

"Aku baik-baik saja. Namun ... bisakah kamu mempercepat laju mobilnya? Rasanya kakiku menjadi sangat tidak nyaman." Eliza mencoba untuk terlihat baik-baik saja, padahal kepalanya sudah berputar tak terkendali. Ditambah lagi, rasa sakit yang dirasakan pada kakinya itu. Dia merasa sangat aneh, kakinya yang tadi mati rasa bisa menjadi sangat menyakitkan.     

Tanpa membuang waktu, Martin benar-benar mempercepat laju mobilnya. Tak peduli jika itu bisa saja membahayakan keselamatannya. Di dalam kepalanya, dia hanya ingin agar wanita di sebelahnya itu segera mendapatkan pertolongan yang tepat.     

Sampai di depan rumah sakit, Martin langsung membopong Eliza lalu berlari menuju IGD. Wanita itu dapat melihat wajah panik yang ditunjukkan oleh Martin. Bahkan Eliza bisa mendengar suara detak jantung dari pria yang sedang membawanya itu.     

"Dokter! Tolong segera periksa teman saya." Martin berteriak cukup nyaring, tak berapa lama dokter dan juga perawat langsung datang dan memeriksa Eliza. Surat rujukan yang dibawa oleh Martin langsung diberikan pada salah seorang dokter yang menanganinya.     

"Apakah Anda keluarga pasien?" Seorang dokter bertanya pada Martin.     

Pria itu terlihat panik dan juga bingung. "Saya temannya, Dok," jawab Martin penuh keraguan.     

"Bisakah Anda membantu saya menghubungi keluarganya? Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk pasien. Selain itu kondisi pasien juga harus segera mendapatkan tindakan sekarang juga," jelas dokter itu panjang lebar padanya.     

Martin langsung menghubungi Johnny Hartanto saat itu juga. Sayangnya, ponsel kakak laki-laki dari Eliza itu tidak aktif. Dia menjadi lebih panik, apalagi saat melihat Eliza yang sudah hampir kehilangan kesadarannya Karen menahan rasa sakit.     

"Saya adalah suaminya, Dok. Saya juga yang akan bertanggung jawab terhadap Eliza." Entah sadar atau tidak, Martin mengatakan hal itu cukup menyakinkan. Untung saja, dokter itu langsung mempercayai ucapan Martin. Walaupun sebelumnya, dokter itu terlihat sedikit ragu dengan ucapan Martin.     

Eliza yang sudah terbaring di ranjang, mendengar samar-samar ucapan pria yang baru saja ditemuinya itu. Dia terus menatap Martin hingga dirinya hilang kesadaran.     

"Dokter! Pasien kehilangan kesadarannya," seru seorang perawat pada dokter yang menangani Eliza.     

"Saya akan menangani istri Anda dulu. Silahkan menyelesaikan administrasi." Dokter itu pun langsung memeriksa keadaan pasien dan juga memastikan keselamatannya.     

Martin pun mengurus semua administrasi dan menyetujui tindakan apapun yang akan diambil oleh dokter. Yang terpenting, Eliza bisa mendapatkan perawatan yang terbaik untuknya. Dia juga melihat saat dokter mencoba untuk memeriksa dan melakukan beberapa tes untuk Eliza.     

Beberapa kali tak bisa menghubungi Johnny Hartanto, Martin memutuskan untuk mengirimkan pesan pada temannya itu. Dia merasa kasihan pada wanita itu karena di saat seperti itu, tak ada keluarganya yang mendampingi.     

"Pak Martin!" Seorang dokter memanggilnya untuk memberitahukan keadaan Eliza kepadanya.     

"Ada yang bisa saya bantu, Dok?" sahut Martin dalam kecemasan yang tak mampu dikendalikan. Dia sangat takut jika adik dari temannya itu sampai terluka parah dan tak bisa pulih dengan cepat.     

"Mari ikut ke ruangan saya," ajak dokter itu dengan cukup ramah.     

Martin pun langsung mengikuti dokter yang baru saja melakukan beberapa pemeriksaan pada Eliza. Dengan perasaan gelisah dan hati yang tak tenang, Martin duduk berhadapan langsung dengan dokter tersebut. Seolah ada sesuatu yang sangat berat sedang menghimpitnya.     

"Benturan yang terjadi di kepala istri Anda tidak terlalu keras. Namun ada cidera ringan yang menyebabkan pembengkakan pada batang otak." Dokter itu mengambil hasil CT-scan dari Eliza dan memperlihatkan hasilnya pada Martin. "Sedangkan untuk kakinya, benturan keras itu menyebabkan cidera pada kakinya. Untuk beberapa hari, istri Anda mengalami kelumpuhan sementara. Itu hanya terjadi selama beberapa hari saja," jelas dokter itu lagi.     

Martin yang dengan serius mendengarkan hal itu menjadi semakin khawatir, dia khawatir jika keluarga Eliza tak datang. Lalu ... siapa yang akan merawat Eliza? Dalam kebingungan yang semakin menguasai hati, Martin memandang dokter itu penuh arti. "Berapa hari istri saya harus dirawat, Dok?" tanyanya dalam wajah yang terlihat tegang.     

"Paling lama satu mingguan. Semoga saja bisa lebih cepat dari itu," sahut dokter itu dengan sangat ramah.     

Begitu selesai berbicara dengan dokter, seorang perawat mendatangi Martin dan mengatakan jika Eliza sudah dipindah ke ruang perawatan yang tadi sudah dipesannya. Ya ... Martin sengaja menyiapkan sebuah kamar terbaik dari rumah sakit itu. Dia tak ingin seorang Eliza Hartanto mendapatkan pelayanan yang biasa saja.     

Martin pun masuk ke dalam ruangan itu, terlihat Eliza masih terbaring dengan mata terpejam. Entah dia tertidur atau masih belum sadar, Martin sama sekali tak yakin akan hal itu. Dia hanya melihat sebuah selang infus terpasang di tangannya.     

Ada rasa iba dan juga rasa sedih yang hadir di dalam hatinya. Di balik kesuksesan keluarga Hartanto, Martin melihat ketidakbahagiaan di dalamnya. Tanpa sadar, dia terus memandangi wajah pucat Eliza yang terlihat sangat lemah. Hingga seseorang masuk ke dalam ruangan itu ....     

"Apa yang terjadi dengan adikku, Martin?" Johnny Hartanto tiba-tiba saja sudah berada di kamar itu dengan wajah sangat cemas. Dia langsung menghampiri adiknya yang masih terbaring dan belum sadar.     

Martin langsung mendekati teman lamanya itu dan berdiri di sampingnya. "Eliza terlibat dalam sebuah kecelakaan beruntun di dekat klinik milik temanku. Kebetulan aku sedang berada di sana. Karena peralatan klinik yang tidak lengkap, dokter di sana langsung merujuknya ke rumah sakit," jelas Martin dengan tatapan mata yang ikut bersedih.     

"Apa tidak ada ambulans yang tersedia di sana, sampai kamu yang mengantarkan ke rumah sakit?" Bukan apa-apa, Johnny Hartanto hanya tak ingin merepotkan teman lamanya itu. Dia merasa berhutang budi pada Martin .     

"Sepertinya kamu sangat keberatan jika aku menolong Eliza?" sahut Martin dengan wajahnya yang dingin dan seolah tak peduli pada pria itu lagi.     

Johnny Hartanto merasa telah menyinggung perasaan temannya. Dia pun mendekati Martin lalu menepuk bahunya. "Aku tidak ada maksud seperti itu, Martin. Jangan salah paham dengan ucapanku," sesalnya pada pria di sebelahnya.     

Dengan wajah kesal dan juga kecewa dengan ucapan Johnny Hartanto, pria itu memandang Eliza sebentar lalu beralih pada teman lamanya itu. "Kebetulan ambulans di klinik itu telah dipakai untuk mengantarkan pasien lain ke rumah sakit. Aku sama sekali tak berpikir untuk mendekati adikmu diam-diam," terang Martin dalam tatapan aneh yang sulit diartikan.     

"Lebih baik aku pergi dari sini," pamit Martin sebelum keluar dari ruangan itu.     

"Tunggu, Martin!" Johnny Hartanto berusaha untuk mengejar teman lamanya itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.