Bos Mafia Playboy

Firasat Buruk



Firasat Buruk

0Brian dan Imelda baru saja selesai makan malam. Pasangan itu lalu masuk ke dalam kamarnya. Kemudian mereka memilih duduk di sebuah sofa besar yang berada di dekat jendela. Imelda menyandarkan kepalanya di pundak Brian sambil menatap langit-langit kamarnya.     

"Brian ... bisakah kamu mengambilkan aku minuman dingin? Rasanya malam ini sangat tidak nyaman," pinta wanita yang masih bersandar di bahu suaminya.     

Pria itu memindahkan kepala Imelda di sandaran kursi, ia pun bangkit dan beranjak ke dapur. "Tunggulah sebentar, Sayang." Tanpa banyak bicara Brian langsung keluar dari kamar menuju ke dapur. Dia langsung kembali begitu mengambil sebuah gelas kosong dan sebotol minuman dingin di tangannya.     

Begitu kembali ke kamar, Brian langsung menuangkan segelas air dingin dari botol. "Minumlah, Sayang." Segelas penuh air diberikan Brian pada istrinya. Namun saat Brian melepaskan gelas itu dari tangannya, ternyata Imelda belum memegangnya dengan benar.     

Terdengar cukup jelas suara pecahan kaca yang membentur lantai di kamar itu. Gelas itu benar-benar pecah, bahkan hancur berkeping. Bukan sebuah teriakan yang diperlihatkan Imelda pada saat itu. Hanya wajah kesedihan bercampur kecemasan menghiasi keheningan di kamar itu.     

"Apa kamu baik-baik saja, Sayang?" Hal itu yang pertama kalinya terpikirkan oleh Brian. Pria itu langsung menarik istrinya yang masih terdiam dengan wajah yang cukup terkejut.     

Imelda memandang suaminya penuh arti, ada ketakutan yang tersirat dari sorotan matanya. Wajahnya memucat seketika, tak ada perkataan apapun yang diucapkan oleh istri dari Brian Prayoga itu. "Aku merasa jika hal buruk sedang terjadi." Ada guratan luka yang mendalam dalam setiap kata yang terucap.     

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Sayang. Lebih baik kita keluar, biarkan pelayan yang membersihkannya." Brian menggenggam tangan istrinya lalu duduk di sebuah kursi di ruang tengah.     

Imelda berjalan dalam tatapan penuh kecemasan. Dia duduk sambil terus menggenggam tangan suaminya. "Aku takut," ucapnya lirih pada Brian yang sedang duduk di sampingnya.     

Baru saja duduk di sana, ponsel milik Brian berdering nyaring. Dia langsung mengambil ponselnya dan segera menerima panggilan telepon itu.     

"Tumben Papa menelepon malam-malam, ada apa gerangan?" sapa Brian begitu menerima panggilan itu. "Di ada di dekatku sekarang," jawabnya dengan wajah yang berubah cemas.     

"Sebenarnya ada apa, Pa?" Brian mulai meninggikan nada suaranya karena tak tahan dengan teka-teki yang diucapkan oleh ayahnya. "Apa!" Respon sangat terkejut terlihat dari wajah Brian yang mendadak pucat saat itu juga. "Baiklah." Panggilan itu akhirnya berakhir juga.     

Seolah tanpa kekuatan dan juga dengan wajah yang pucat, Brian kembali menghampiri istrinya. Nampak jelas kegelisahan dari wajahnya. Imelda menjadi penasaran pada perubahan ekspresi Brian setelah menerima panggilan dari ayahnya.     

"Apa yang dikatakan oleh Papa, Brian?" tanya Imelda dalam wajah sangat penasaran.     

"Papa mengatakan .... " Brian tiba-tiba saja kehilangan kata-katanya. Dia merasa sangat berat untuk memberitahu kabar itu kepada istrinya. Brian yakin jika Imelda pasti akan sangat panik.     

"Cepatlah katakan! Apa yang sedang kamu tahan di dalam mulutmu itu?" Imelda mulai geram menunggu Brian mengatakan sesuatu yang sudah membuatnya sangat penasaran.     

Sebelum memberikan jawaban pada istrinya, Brian sengaja menarik nafasnya cukup dalam. Dia sedang berusaha untuk bersikap setenang mungkin tanpa membuat Imelda panik. "Kak Vincent mengalami kecelakaan dan sekarang sedang berada di klinik Kevin," jelasnya dengan setenang mungkin.     

"Apakah lukanya parah? Tidakkah itu hanya kecelakaan biasa saja?" Imelda menanyakan hal itu pada sosok pria yang sudah berdiri di sebelahnya.     

Tak mendapatkan jawaban dari suaminya itu, Imelda langsung cemas. "Apakah kondisi Kak Vincent sangat buruk? Katakan, Brian! Mengapa kamu hanya diam saja?" Wanita itu menjadi kehilangan kendali akan dirinya. Dia pun menarik tangan Brian untuk keluar dari rumah itu.     

"Aku juga tidak tahu, Sayang. Kita bisa melihat keadaannya setelah sampai di klinik Kevin." Brian mencoba membuat Imelda tidak cemas dengan tak memberitahukan keadaan Vincent yang sebenarnya.     

Begitu masuk ke dalam mobil, Brian langsung melajukan mobilnya ke klinik Kevin. Terlihat Imelda sudah sangat tidak sabar untuk segera melihat kakaknya. Wanita itu terlihat sangat gelisah duduk di samping suaminya. Dia merasa jika firasatnya memang benar.     

"Brian ... sepertinya gelas yang pecah tadi adalah sebuah firasat buruk. Semua terasa kebetulan dan tak masuk akal. Namun benar-benar terjadi." Suara Imelda bergetar hebat mengatakan hal itu pada pria di sampingnya. "Aku takut, Brian," ucapnya dalam wajah ketakutan.     

"Tenanglah, Sayang." Brian menyentuh jemari tangan Imelda dan menggenggamnya penuh perasaan. "Aku yakin Kak Vincent baik-baik saja." Brian mencoba untuk menghibur istrinya sebaik mungkin. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia sangat cemas dan juga ketakutan memikirkan kakak iparnya itu.     

Tanpa membuang waktu lagi, Brian menambahkan kecepatan pada mobilnya. Dia juga ingin segera melihat keadaan sosok pria yang dulu cukup dekat dengannya. Meskipun Vincent selalu menunjukkan kebencian di dalam dirinya, Brian masih bisa sangat menyayanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh Vincent terhadapnya.     

Hingga tak berapa lama, mereka berdua sudah sampai di depan klinik. Imelda langsung membuka pintu mobil itu dan berlari keluar untuk segera memasuki klinik. Brian langsung menyusul istrinya yang sangat terburu-buru itu.     

"Sayang ... jangan berlari!" teriak Brian sembari terus berlari mengejar istrinya.     

Namun Imelda sama sekali tak menghiraukan panggilan suaminya. Dia hanya ingin segera melihat keadaan kakak kesayangannya.     

"Dokter Kevin!" teriak Imelda begitu melihat pria itu keluar dari sebuah ruangan di klinik itu. Dengan panik dan juga dalam wajah yang bingung, Imelda langsung menghampiri pemilik klinik itu. "Bagaimana keadaan Kak Vincent?" Tanpa membuang waktu, Imelda langsung melemparkan sebuah pertanyaan kepada Kevin.     

Mendengar panggilan untuknya, Kevin langsung menghentikan langkahnya dan berbalik badan ke arah suara. Dia melihat Imelda sedang berlari ke arahnya. Ada perasaan takut dan juga sedih yang ditunjukkan wanita itu padanya. "Dokter Imelda ... Anda tak perlu khawatir. Kondisi pasien sudah mulai stabil, meskipun jantungnya sempat berhenti untuk beberapa saat," jelasnya dengan hati berdebar-debar.     

"Aku ingin melihat keadaannya." Imelda langsung menerobos masuk ke sebuah ruangan di mana kakaknya berada. Dengan langkah yang sedikit ragu, ia berjalan mendekati ranjang pasien itu. Dia melihat Laura berada di samping Vincent dengan wajah yang sangat sedih. Bahkan air matanya sudah menggenang dan hampir membanjiri seluruh wajahnya. "Dokter Laura ... " Imelda cukup terkejut melihat wanita itu terlihat begitu hancur dengan keadaan Vincent.     

Laura langsung memalingkan wajahnya dan menatap wajah Imelda dalam air mata yang siap mencair. "Dokter Imelda." Dia langsung menghampiri istri dari Brian Prayoga itu dan memeluknya erat. "Kamu harus menyelamatkan Vincent. Aku tak mau kehilangannya sebelum aku sempat menyatakan perasaanku." Laura benar-benar sudah tak mampu membendung air matanya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.