Bos Mafia Playboy

Takdir Yang Tak Bisa Ditolak



Takdir Yang Tak Bisa Ditolak

0Begitu Laura mengatakan akan melihat Vincent, pemilik klinik itu pun menjadi cemas. Kevin takut jika teman baiknya itu akan terbawa perasaan. Dia memutuskan untuk mengikuti Laura ke tempat di mana Vincent berada. Baru juga berada di depan pintu, terdengar teriakan keras dari teman baiknya itu. Adi Prayoga dan juga Davin Mahendra juga langsung panik dan juga ketakutan. Mereka tak pernah mengharapkan hal buruk menimpa Vincent.     

"Dokter Kevin! Detak jantung pasien berhenti." Terdengar suara Laura yang sangat panik di dalam ruangan itu.     

Secepat kilat, Kevin langsung berlari masuk dan langsung mengambil Defibrilator yang sudah disiapkan oleh Laura. Beberapa perawat juga datang membantunya. Setelah beberapa kali memberikan alat kejut itu di dada Vincent ... detak jantungnya telah kembali. Ada kelegaan yang sangat besar terlukis di wajah mereka. Laura langsung tersungkur di lantai. Kakinya seolah sudah tak sanggup menopang tubuhnya.     

"Kevin! Aku sangat takut jika Vincent pergi sebelum aku menyatakan perasaanku." Butiran air mata melesat begitu saja tanpa mampu ditahannya lagi.     

Sebuah senyuman penuh kelegaan terukir jelas di wajah Kevin. Rasanya begitu lega bisa mengembalikan detak jantung pasiennya. "Bangunlah! Vincent akan kehilangan perasaannya padamu jika sikapmu seperti itu," goda Kevin pada wanita yang masih terduduk di samping ranjang tempat Vincent berbaring.     

"Saat jantung Vincent berhenti berdetak, jantungku sendiri seolah akan meledak." Laura bangkit lalu berdiri di samping pria yang masih terbaring lemah tanpa membuka matanya. "Aku memutuskan akan merawat Vincent sampai sembuh." Tiba-tiba saja, wanita itu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal.     

Kevin langsung menggelengkan kepalanya, ia masih tak bisa mempercayai kegilaan Laura terhadap Vincent. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Pria itu mencoba mengingatkan teman baiknya agar tidak gegabah dalam memutuskan semuanya.     

"Aku akan mengambil cuti, jika pihak rumah sakit tidak bisa menerimanya ... maka aku akan meninggalkan pekerjaanku. Aku bisa bekerja di sini bersamamu," jawab Laura seolah tanpa beban sedikit pun.     

"Dasar gila! Kamu bisa kehilangan karirmu yang selama ini kamu kejar mati-matian," terang Kevin. Dia hanya tak ingin jika teman baiknya itu salah mengambil keputusan. "Bagaimana jika Vincent bangun dan langsung menolakmu begitu saja?" Kevin hanya ingin memastikan jika Laura tak akan menyesali keputusannya.     

Dengan air mata yang masih menggenang, Laura mencoba melukiskan sebuah senyuman di wajahnya. Dia sudah memutuskan semuanya, apapun resiko yang akan dihadapinya.     

"Jika Vincent sampai menolak aku ... itu adalah takdir yang tak bisa aku tolak." Laura mencoba menjawab pertanyaan Kevin sekaligus untuk menyakinkan dirinya sendiri.     

Kevin langsung kehilangan kata-katanya, ia tak menyangka jika perasaan Laura sudah cukup besar untuknya. Ada perasaan lega sekaligus cemas di dalam hatinya. Rasanya Kevin sudah tidak sabar untuk mendengar jawaban Vincent akan perasaan Laura kepadanya. "Aku akan memberitahukan kondisi pasien pada keluarganya." Kevin langsung keluar dari ruangan itu.     

Begitu pintu terbuka, kedua pria itu sudah sangat tidak sabar untuk mendengar tentang Vincent. "Anda tidak perlu khawatir, kondisi pasien sudah cukup stabil. Sebentar lagi Vincent pasti akan sadar," hibur Kevin pada kedua pria itu. Dia pun bermaksud akan kembali ke ruangannya.     

"Tunggu, Kevin!" Adi Prayoga menghentikan langkah dokter yang memiliki klinik itu.     

"Ada apa, Om?" tanya Kevin penasaran dan juga sedikit berdebar.     

Adi Prayoga memandang Kevin dan Davin Mahendra secara bergantian. Dia sedikit ragu untuk mengatakan apa yang ingin diucapkannya. "Apa kamu sudah mengabari Imelda?" tanyanya.     

"Aku pikir Dokter Imelda harus tahu kondisi kakaknya. Om Adi juga tahu jika Dokter Imelda sangat menyayangi Vincent. Aku tak mampu membayangkan jika terus merahasiakan hal ini kepadanya. Dia pasti akan sangat murka terhadap kita semua," terang Kevin sambil memandang ke arah dua pria itu.     

Mendengarkan penjelasan Kevin terhadap Adi Prayoga, membuat Davin Mahendra cukup terkejut. Dia tak menduga jika Kevin begitu memahami anak perempuannya itu. "Benar apa yang dikatakan oleh Dokter Kevin. Jika kita merahasiakan hal ini dari Imelda ... dia akan sangat murka saat mengetahuinya. Kemarahan Imelda jauh lebih mengerikan dari kemarahan atasanku sendiri," sahut Davin Mahendra dengan sangat menyakinkan.     

"Kalau begitu, biar aku saja yang menghubungi Brian sekarang," ucap Adi Prayoga. Kemudian ia langsung mengambil ponsel dari saku celananya. Pria itu langsung menghubungi anak semata wayangnya itu.     

Menempelkan ponsel di dekat telinganya, Adi Prayoga langsung berbincang serius dengan anaknya. "Apakah Imelda ada di dekatmu, Brian?" tanyanya pada seseorang di ponsel.     

"Tetaplah tenang. Jangan menunjukkan hal apapun pada istrimu," bujuk Adi Prayoga via telepon. "Vincent sedang berada di klinik Dokter Kevin. Kondisinya sangat kritis, dia baru saja mendapat sebuah tembakan saat menjalankan misi," jelas Davin Mahendra dengan suara pelan namun terdengar sangat tegas.     

"Beritahu Imelda secara pelan-pelan. Jangan sampai dia syok saat mendengar hal itu." Adi Prayoga langsung mengakhiri panggilan itu dan kembali memasukkan ponsel di saku celananya.     

Kevin bisa melihat jika kedua pria di hadapannya itu terlihat sedikit lelah. "Jika ingin istirahat, saya bisa mengantarkan ke sebuah rumah di belakang klinik. Anda berdua bisa beristirahat di sana," tawar Kevin pada Adi Prayoga dan juga Davin Mahendra.     

"Aku ingin menunggu Imelda datang," sahut Adi Prayoga dengan sangat yakin. Dia lebih senang menunggu menantu kesayangannya itu daripada harus menghabiskan waktu bersama Davin Mahendra.     

Kevin sangat mengerti, dia bisa melihat jika Adi Prayoga sangat menyayangi menantunya itu. "Kalau begitu, saya akan membeli kopi untuk Anda berdua. Silahkan menunggu di kursi yang berada di sana." Dengan cukup ramah ia pun membawa kedua pria itu untuk duduk di deretan kursi yang berjajar rapi.     

Begitu Kevin pergi, Adi Prayoga langsung melemparkan tatapan dingin dengan pria di sebelahnya. Ada sesuatu yang ingin ditanyakannya sejak beberapa hari lalu pada besannya itu.     

"Apa yang sebenarnya kamu tutupi dari kami semua? Bukti apa yang sudah kamu hancurkan? Aku curiga ... jika kamu terlibat dalam kebusukan mereka semua." Adi Prayoga mengatakan hal itu dengan sangat kesal. Dia sangat yakin jika ada banyak hal yang sedang disembunyikan oleh Davin Mahendra.     

Davin Mahendra tersenyum kecut pada pria di sebelahnya. Semua tuduhan itu sama sekali tidak beralasan. Dia hanya bisa menahan diri agar tidak terprovokasi dengan ucapan Adi Prayoga terhadapnya. "Kamu pikir aku sudah gila? Sejahat-jahatnya aku, tak mungkin jika aku akan melukai anakku sendiri," balas Davin Mahendra dengan tatapan dingin.     

"Siapa tahu? Nyatanya kamu juga pernah menghancurkan hati Irene hingga dia hampir tak bisa bertahan saat itu," sindir Adi Prayoga.     

"Hentikan omong kosongmu! Kamu tidak tahu apa-apa dengan hal itu." Davin Mahendra mulai sangat kesal terhadap perkataan Adi Prayoga terhadapnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.