Bos Mafia Playboy

Eliza Hamil?



Eliza Hamil?

0Vincent masih mencoba setiap ucapan Martin kepadanya. Rasanya terlalu sulit untuk mengerti ucapan sahabatnya. "Apa maksudmu, Martin?" tanyanya. "Rasanya kamu sedang memakai bahasa planet lain hingga aku terlalu sulit untuk memahaminya," tambah Vincent dengan wajah yang mulai kesal.     

"Jika kamu membenci Adi Prayoga ... seharusnya kamu juga membenciku. Aku juga bekerja untuknya," jawab Martin tanpa senyuman sedikit pun. Sepertinya ia sangat serius mengatakan hal itu pada sahabatnya.     

Sontak saja Vincent langsung mengerjapkan matanya, ia tak menduga jika Martin akan mengungkit hal itu. "Apa kamu tak sadar, jika aku sangat membencimu sekarang?" ledeknya dengan kekesalan yang terlihat cukup jelas.     

Sejenak ... Vincent memandang Martin dengan penuh tanya. Ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar dari mulutnya. Namun dia mencoba untuk menahan dirinya, agar mampu mengendalikan segala bentuk gejolak yang sangat mengganggunya. "Mungkinkah Eliza sedang hamil dan meminta pertanggungjawaban Brian?" tanyanya dengan penuh keraguan.     

"Gila kamu! Mana ada yang hamil gara-gara Brian? Dia selalu bermain bersih, hanya Imelda yang mampu menghilangkan kendali di dalam dirinya," terang Martin dengan cukup menyakinkan.     

"Apa kamu melihat sendiri saat Brian sedang berhubungan dengan Eliza? Tentu saja kamu tak melihatnya." Vincent melemparkan sebuah tanya lalu dijawab sendiri.     

Di saat dua pria itu sedang membicarakan hubungan Brian dan Eliza. Tanpa mereka sadari, Imelda sudah berdiri tak jauh dari mereka. Dia mendengar seluruh cerita tentang Brian dan juga Eliza. Imelda sengaja tak bersuara untuk tetap mendengar pembicaraan Martin dan juga kakaknya.     

Tak berapa lama, ponsel Vincent berdering. Pria itu menerima panggilannya sambil bangkit dari tempat duduknya. "Imelda!" Terlihat keterkejutan di dalam wajahnya.     

"Iya ... ada apa?" tanya Vincent pada seseorang di dalam ponselnya. Pria itu terus saja menatap Imelda yang masih berdiri tanpa mengeluarkan suaranya.     

"Aku akan ke markas sekarang," ucapnya sebelum panggilan itu berakhir. Vincent langsung menghampiri Imelda dan memberikan belaian singkat di kepalanya. "Aku harus pergi sekarang," pamitnya lalu berlari dan masuk ke dalam mobilnya.     

Imelda hanya bisa menatap kepergian Vincent dari hadapannya. Dia telah kehilangan kata-katanya sendiri. Dengan perlahan, ia pun berjalan menghampiri Martin yang sejak tadi memperhatikan dirinya. "Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?" tanyanya pada sosok pria yang selama ini sudah banyak membantu.     

"Apakah Eliza sedang mengandung anak Brian?" Hanya pertanyaan itu yang sangat ingin ditanyakan Imelda pada orang kepercayaan dari Adi Prayoga itu. Wanita itu tersenyum kecut dengan tatapan sayu dan juga memilukan.     

"Sejak kapan Eliza hamil?" Tiba-tiba saja Brian sudah berdiri di belakang Imelda. Dia langsung mendekati istrinya dan memberikan sebuah genggaman tangan yang terasa begitu hangat.     

Martin dan juga Imelda secara bersamaan langsung melemparkan tatapan pada Brian. Mereka berdua tak menyadari kehadiran anak dari Adi Prayoga itu. Tidak ada yang menjawab atau merespon pertanyaan itu.     

"Kalau pun sekarang Eliza sedang hamil, jelas itu bukan anakku. Hubunganku dengan Eliza sudah sangat lama, saat kamu berdua masih kuliah," ungkap Brian kepada dua anak manusia yang sejak tadi terus melemparkan tatapan terhadapnya.     

Hanya diam dan mencoba untuk mengendalikan perasaan di dalam dirinya. Hal itulah yang mampu dilakukan oleh Imelda saat itu. Berkata pun seolah tak ada gunanya. Terlebih ... yang diucapkan oleh Brian adalah cerita masa lalunya.     

"Masalahnya bukan itu!" sahut Martin pada anak dari bos-nya. "Apa yang sudah kamu janjikan pada Eliza dulu?" lontarnya tanpa sadar. Martin telah melupakan keberadaan Imelda di sana. Tak seharusnya dia menanyakan hal itu pada Brian. Apalagi di saat wanita hamil itu sedang berdiri di antara mereka.     

"Apa maksud dari ucapanmu, Martin?" tanya Imelda pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya. Dia benar-benar tak mengerti arti ucapan Martin kepada suaminya.     

Brian masih berdiri di antara mereka sembari mencoba mengingat sebuah janji yang pernah diucapkannya. Dia benar-benar telah melupakan hal itu. Apalagi kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. "Katakanlah, Martin! Aku benar-benar sudah lupa," sahut Brian dengan suara nyaring.     

"Jika kamu saja sudah melupakannya, bagaimana aku bisa mengetahui sesuatu yang tidak aku saksikan sendiri?" Martin tak ingin mengatakan sebuah perkataan yang akan menghancurkan hati Imelda. "Lebih baik kamu menemuinya dan menyelesaikan segalanya," ujar Martin sambil memperhatikan air muka Imelda yang semakin terlihat sedih.     

Tanpa membuang waktu, Brian langsung berdiri di hadapan Imelda. Menatapnya penuh harap dan juga perasaan. "Sayang ... ijinkan aku menemui Eliza kali ini saja. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Aku juga akan mengatakan jika aku sudah memiliki kamu dan juga anak kita," bujuknya dengan wajah memohon di berharap Imelda akan mengijinkan dirinya untuk menemui wanita itu.     

"Apakah sebegitu inginnya kamu menemui wanita itu?" Imelda mengatakan hal itu dengan tatapan dingin dan tanpa senyuman sedikit pun. "Jika kamu terlalu merindukannya, aku bisa apa? Temui saja Eliza ... seperti keinginanmu, Brian." Imelda langsung memalingkan wajahnya membelakangi suaminya. Dia tak ingin melihat sosok pria yang sudah membuatnya jatuh cinta itu. Rasanya Imelda tak mampu lagi menahan perasaannya di dalam hatinya.     

"Sayang ... jangan berpikir yang tidak-tidak. Kumohon, percayalah padaku! Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya," jelas Brian. Dia merasa sangat sulit untuk menjelaskan hal itu kepada istrinya. Imelda selalu saja menyudutkan dirinya.     

Martin mencoba memahami pasangan suami istri di depannya itu. Dia merasa sangat prihatin dengan hubungan Imelda yang terlalu rumit itu. Rasanya dia ingin memberikan sebuah pelukan hangat pada istri dari Brian itu. "Jika kamu dan Eliza tak memiliki hubungan apapun, mengapa kamu tak mengajak Imelda untuk menemui wanita itu?" lontar Martin pada pria yang sejak tadi berusaha untuk meluluhkan hati istrinya.     

"Benar, Sayang. Kamu harus melihat sendiri jika aku dan Eliza tak memiliki hubungan apapun. Aku akan membawamu menemuinya besok," ajaknya pada wanita yang sedang mengandung penerus dari keluarga Prayoga dan Mahendra.     

"Aku tak mau ikut denganmu," sahut Imelda dengan penuh keraguan. Dia tak yakin untuk mengikuti Brian menemui seorang wanita dari masa lalunya itu.     

Imelda sangat yakin akan ada banyak hal tak terduga yang mungkin saja terjadi di saat menemui wanita itu. Mengingat, betapa kelamnya kehidupan Brian sebelum menikah dengannya. Walaupun sebenarnya dia tak mempermasalahkan masa lalu dari suaminya itu.     

"Aku tak mungkin bisa memaksamu, Sayang. Namun aku sangat berharap jika besok kamu mau ikut bersamaku untuk menemui Eliza." Brian terlihat pasrah tanpa mampu memaksakan apapun kepada Imelda. Dia sangat memahami posisinya sendiri.     

Imelda langsung melemparkan tatapan dingin kepada suaminya itu. Sebuah tatapan yang terasa menakutkan bagi Brian. "Silahkan kamu temui kekasihmu itu sendirian, Brian. Jangan menyeret aku masuk dalam rumitnya kisah cintamu," pungkas Imelda sebelum kembali masuk ke dalam.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.