Bos Mafia Playboy

Demi Pertanggungjawaban Dari Brian



Demi Pertanggungjawaban Dari Brian

0Martin baru saja turun dari mobilnya, ia pun langsung masuk untuk mencari Adi Prayoga. Sebelum ia masuk, seorang bodyguard sudah memberitahu jika mereka sedang berada di ruang makan. Dia melihat Imelda dan juga Brian baru saja bergabung di meja makan.     

"Tunggu!" teriak Martin sambil melangkahkan kakinya menuju meja makan. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan dengan Anda, Bos," ucapnya dengan suara lantang dan sangat jelas.     

"Duduklah dulu, Martin. Kita bisa membicarakannya setelah selesai sarapan," sahut Adi Prayoga dengan wajah tenang dan juga dingin seperti biasanya.     

Tak ada pembicaraan apapun di antara mereka semua. Setelah kedatangan Martin di rumah itu, suasana jadi terasa menegang dan bahkan seolah sangat mencekam. Apalagi Brian ... sosok Martin lebih terlihat seperti dewa kematian baginya. Pria itu sangat takut jika orang kepercayaan dari ayahnya itu akan mengatakan sesuatu yang membuat hubungannya dengan Imelda memburuk.     

Begitu selesai sarapan, Brian terlihat semakin gelisah dengan wajah yang sedikit pucat. Seolah ada tekanan yang sangat besar sedang menghimpit dirinya. Sambil mengernyitkan keningnya, ia memandang Martin yang duduk di sebelah Vincent. Memandangnya penuh harap dan juga perasaan cemas yang sulit dijelaskan.     

"Bisakah aku bicara denganmu sebentar saja, Martin?" tanya Brian pada sosok pria yang hanya melemparkan tatapan aneh kepadanya.     

"Sebelum berbicara denganmu, Martin harus berbincang serius denganku dulu," tegas Adi Prayoga sembari bangkit dari kursi makan. "Datanglah ke ruang kerja, Martin," perintah Adi Prayoga pada seorang pria yang sudah cukup lama bekerja untuknya.     

Tanpa membuang waktu, Martin langsung mengikuti Adi Prayoga ke sebuah ruangan yang berada di dekat tangga. Dia sama sekali tak melihat wajah Brian yang sangat memelas seakan sedang memohon belas kasihan.     

"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Adi Prayoga. Sebuah pertanyaan yang singkat tetapi menuntut untuk sebuah jawaban tepat dan juga akurat.     

Martin menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Adi Prayoga. Itu semua hasil penyelidikannya hanya untuk semalam saja. "Itu hasil penyelidikan singkat yang sudah kulakukan. Aku sangat yakin, akan ada banyak kejutan jika kita menyelidikinya lebih dalam," terang Martin pada pria di hadapannya.     

"Bagaimana kamu bisa mendapatkan semuanya dalam waktu yang cukup singkat?" Adi Prayoga menjadi sangat penasaran pada orang kepercayaannya itu. Dalam beberapa jam saja, Martin sudah mendapatkan informasi yang cukup lengkap.     

Merasa sedikit diragukan oleh bos-nya, Martin mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Kemudian ia menunjukkan sebuah foto antara dirinya dan seorang pria yang terlihat cukup akrab. "Meskipun persahabatan kami tidak terlalu dekat, kakak kandung dari Eliza cukup membantuku untuk mendapatkan informasi itu. Walaupun tidak secara langsung," jelas Martin sangat serius.     

"Eliza Hartanto ... seorang jaksa muda yang patut diperhitungkan. Anak dari seorang hakim senior, Rizal Hartanto. Karirnya cukup cemerlang dan disinyalir akan melanjutkan jejak ayahnya .... " Adi Prayoga membaca beberapa poin penting tentang sosok wanita yang memiliki hubungan dengan anak laki-lakinya.     

Martin membaca perubahan mimik wajah Adi Prayoga, seolah mengisyaratkan sebuah kecemasan yang cukup mengusik dirinya. "Yang paling penting bukan itu, Bos." Martin mengambil kembali map itu dan mengeluarkan beberapa foto di dalamnya. "Brian benar-benar pernah memiliki hubungan dengan wanita itu," ungkapnya.     

"Aku mengerti," sahut Adi Prayoga dengan sorot mata penuh kekecewaan yang sangat besar. Dia tak pernah mempermasalahkan jika anaknya sering mempermainkan beberapa wanita murahan yang menginginkan uangnya. Namun kondisi saat itu sangat berbeda, Eliza bukan wanita bayaran yang bisa dengan mudah dibungkam dan masalah selesai. Apalagi Rizal Hartanto adalah seseorang dari masa lalunya. "Bagaimana kamu akan mengatasi masalah ini, Martin?" tanyanya sembari memegang kepalanya.     

Semua yang sudah terjadi tak mungkin bisa dianggap remeh. Apalagi hal itu melibatkan elit hukum. Sedikit saja kesalahan, semua pasti akan hancur secara bersamaan. Martin benar-benar harus memikirkan hal sebaik mungkin. Dia tak mungkin membiarkan Imelda terseret dalam rumitnya hubungan Brian dan Eliza.     

"Aku akan memikirkan solusi terbaik untuk mengatasi hal ini, Bos," ucap Martin dengan wajah yang terlihat tidak bersemangat. Dia juga ikut bingung menghadapi kekacauan yang dilakukan oleh seorang pria playboy yang dulunya selalu mempermainkan banyak wanita.     

"Beritahu aku jika kamu sudah menemukan solusinya," balas Adi Prayoga dengan wajah datar.     

Martin pun pamit untuk keluar dari ruangan itu, dia ingin membicarakan banyak hal pada sahabat dekatnya. Begitu keluar, terlihat mereka semua masih duduk di meja makan dalam suasana mencekam. Tak ada yang mereka bicarakan, hanya tatapan kosong dalam kesunyian yang menakutkan.     

"Vincent! Aku ingin berbicara denganmu," cetus Martin sambil berjalan keluar menuju halaman samping.     

Vincent langsung mengikuti sahabatnya itu tanpa berpikir panjang. Dia bisa melihat jika Martin akan membicarakan sesuatu yang sangat penting padanya. "Apa yang ingin kamu katakan, Martin?" tanyanya sangat penasaran.     

Martin langsung menghentikan langkahnya di tengah-tengah halaman dan menatap tajam sahabatnya. "Aku tak tahu, kutukan apa yang diberikan untuk keluarga Mahendra. Seolah ... masalah datang tanpa henti kepada kalian." Martin terlihat sangat menyesal mengatakan hal itu. Namun ia memang harus mengatakan hal itu.     

"Apa maksudmu, Martin?" Vincent sudah sangat penasaran dan juga tak sabar untuk mendengar penjelasan dari sahabatnya.     

"Masalah penyerangan terhadap Imelda masih belum selesai. Sekarang ada permasalahan baru yang bisa saja melukai hati adik kesayanganmu itu," sahut Martin tanpa menjelaskan apapun. Hal itu semakin membuat tanda tanya besar bagi Vincent.     

Seakan bermain teka-teki, Vincent pun menjadi sangat kesal pada pria di depannya. "Jangan berbelit-belit! Aku muak bermain teka-teki, terlalu banyak teka-teki yang belum bisa aku pecahkan," kesalnya dengan aura yang menakutkan.     

"Ini tentang Eliza ... Brian benar-benar pernah memiliki hubungan dengan wanita itu. Setelah lama menghilang, Eliza kembali datang untuk mencari pria yang dicintainya itu," ungkap Martin penuh kecemasan. Dia tak bisa membayangkan, apa yang akan dilakukan Imelda jika mendengar hal itu. Martin takut jika wanita yang pernah disukainya itu melakukan hal bodoh tanpa berpikir.     

Vincent terlihat sedang berpikir cukup keras. Dia tak menyangka jika segalanya menjadi sangat rumit. "Sepertinya tak masalah jika itu hanya masa lalunya. Toh ... Imelda juga sudah tahu jika suaminya itu pernah bermain dengan beberapa wanita murahan." Sebisa mungkin Vincent mencoba untuk setenang mungkin, ia tak mau mengacaukan kehidupan adik kesayangannya itu.     

"Kondisinya berbeda, Bodoh! Eliza itu sangat tergila-gila pada adik iparmu itu. Dia menjadi jaksa karena terobsesi untuk bersanding dengan Brian .... Apakah kamu sebodoh itu?" Martin mulai kesal dengan respon Vincent yang terlalu tak peduli.     

"Siapa di sini yang lebih bodoh?" Vincent mulai tersulut emosi mendengar cibiran dari pria di hadapannya.     

Dengan pelan namun cukup kuat, Martin menarik rambutnya sendiri. "Eliza hanya melakukan hubungan itu dengan Brian saja! Dia datang untuk meminta pertanggungjawaban ... " terangnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.