Bos Mafia Playboy

Rahasia Antara Brian Dan Eliza



Rahasia Antara Brian Dan Eliza

0Adi Prayoga merasakan ada yang aneh dengan Brian. Ada sesuatu yang seolah sedang ditutupi oleh anak semata wayangnya itu. "Ada apa denganmu, Brian?" tanyanya sambil menatap penuh kecurigaan.     

"Aku hanya tak ingin mengusiknya saja. Papa tak perlu menyelidiki hubunganku dengan Eliza," sahut Brian dengan wajah yang sangat gelisah.     

"Itu bukan urusanmu!" tegas Adi Prayoga pada anaknya.     

Dalam beberapa menit saja, Martin sudah datang ke rumah itu. Melihat situasi yang tidak kondusif, dia pun menjadi penasaran. "Ada apa,Bos?" tanyanya pada Adi Prayoga.     

"Aku ingin kamu menyelidiki seorang wanita yang bernama Eliza. Dia adalah teman kuliah Brian. Siapa sebenarnya wanita itu bagi pria bodoh ini? Kamu juga bisa bertanya pada Kevin," perintah Adi Prayoga sambil melirik anaknya. "Lakukan secepatnya!" tegas sang bos mafia.     

Brian terlihat sangat frustrasi, ia tak pernah menyangka jika semua akan menjadi terlalu rumit baginya. Dalam dilema yang sedang melanda dirinya, Brian mendekati istrinya dan langsung berlutut di hadapannya. "Sayang ... kumohon, apapun yang akan ditemukan oleh Martin tak akan menggoyahkan perasaanmu padaku," pintanya dengan wajah memelas dan sangat menyedihkan.     

"Apa maksud dari ucapanmu, Brian? Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" Imelda melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus untuk melegakan hatinya.     

Pria itu masih berlutut di depan Imelda, menggenggam jemari tangan wanita yang sangat dicintainya itu. "Aku hanya ingin kamu percaya jika aku tak pernah mencintai wanita manapun selain dirimu," bujuk Brian pada wanita yang semakin bingung dengan banyak hal yang tak terduga di dalam kehidupannya.     

Martin yang masih berada di sana menjadi ikut prihatin. Dia tak pernah menyangka jika Imelda harus menjalani kisah cinta rumit yang mungkin saja juga menyakitkan untuknya. "Bos ... sepertinya aku harus pergi sekarang," pamitnya pada sang tuan rumah.     

Adi Prayoga hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan apapun. Dia pun melihat jika rencana makan malam itu juga telah hancur. "Vincent ... apa ayahmu tidak akan datang?" tanyanya pada kakak Imelda.     

"Papa ada dinas di luar kota, dia memintaku untuk datang kesini menggantinya," jawab Vincent tak bersemangat. Dia bangkit dari kursinya lalu berjalan ke arah Imelda. Dengan usapan lembut, Vincent menyentuh kepala adiknya. Rasanya tak tega melihat adik kesayangannya itu harus bersedih ataupun terluka. "Imelda ... aku harus pergi sekarang," pamitnya pada seorang wanita yang terlihat tak rela dirinya pergi.     

Wanita itu langsung berdiri dan memegang erat lengan kakak laki-lakinya. "Tidak bisakah Kakak tinggal di sini malam ini?" pinta Imelda dengan wajah memohon.     

Vincent tak sanggup menolak permintaan adiknya, ia pun memutuskan untuk tak pulang. "Baiklah. Aku akan tetap tinggal malam ini," jawabnya dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Dia hanya ingin menenangkan hati Imelda saja. Tak ada maksud lain dalam hati maupun pikirannya.     

"Terima kasih, Kak." Sebuah ucapan tulus diucapkan Imelda pada pria yang berada tepat di depannya. Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca lalu menetes butiran air yang tadinya menggenangi pelupuk matanya.     

"Hey! Kenapa kamu malah menangis?" Vincent semakin mencemaskan wanita yang sekarang sudah memeluk dirinya. Rasanya terlalu menyakitkan, melihat setiap tetes air mata adiknya sendiri. Setiap tetesnya, seolah mampu mengiris tipis hatinya.     

Momen kedekatan adik dan kakak itu telah membuat Adi Prayoga sangat terharu. Dia tak ingin mengganggu kebersamaan mereka berdua. Pria itu pun bermaksud untuk meninggalkan mereka berdua saja. "Brian! Kutunggu di ruang baca. Papa ingin berbicara padamu," lontar Adi Prayoga pada anak semata wayangnya.     

Meskipun tak rela, Brian juga merasa tak berguna berada di dekat istrinya. Beberapa kejadian hari itu, telah membuat pukulan yang berat bagi Imelda. Dia sangat menyesali segalanya.     

"Kevin, tetaplah di sini sampai besok pagi. Aku tak mau tiba-tiba Imelda pingsan seperti tadi," pintanya pada sang dokter yang masih duduk terdiam sambil memandangi Imelda yang begitu dekat dengan kakaknya.     

Kevin langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke sebuah kamar yang biasa dipakainya. "Aku akan beristirahat sebentar, sejak semalam aku belum tidur. Jika ada apa-apa, langsung saja bangunkan aku," ucapnya sebelum masuk ke dalam kamar itu.     

Sebelum Brian menyusul ayahnya, dia memandangi wajah Imelda untuk beberapa saat. Dia merasa sudah sangat berdosa pada wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Setelah puas menatapnya istrinya, Brian langsung menyusul ayahnya di ruang baca.     

"Apa yang ingin Papa bicarakan?" tanyanya begitu masuk ke sebuah ruangan di mana banyak buku-buku di sana. Ada beberapa bangku dan juga meja di dalam ruangan itu. Bahkan ruangan itu mirip dengan mini perpustakaan.     

Adi Prayoga langsung meletakkan buku di tangannya lalu beralih memandang Brian yang terlihat tak bersemangat. "Aku jadi semakin meragukan perasaanmu pada Imelda. Jika kamu memang tak mencintainya, biarkan Imelda tinggal bersama Papa sampai anak kalian lahir. Aku tak ingin Imelda menderita apalagi terluka karena hidup bersamamu," ujar Adi Prayoga dengan wajah serius.     

Semua yang dikatakannya itu adalah untuk kebaikan mereka bersama. Adi Prayoga sudah tak tahan melihat Imelda sangat menderita. Hal itu mengingatkannya pada sosok Irene Mahendra yang sangat dikenalnya itu.     

"Apa maksud, Papa?" sahut Brian dengan emosi yang tidak stabil. "Apakah Papa juga tak melihat kesungguhan hatiku pada Imelda? Aku sangat mencintainya, Pa. Sekalipun, aku tak pernah berpikir untuk menyakiti Imelda," ungkapnya dengan suara bergetar dan terbata-bata.     

"Kita bisa membuktikan semuanya setelah Martin kembali dengan penyelidikannya. Sebagai ayahmu, Papa sangat terkejut saat mendengar kamu akan menemui seorang wanita di belakang Imelda." Davin Mahendra mencoba untuk mengerti anaknya sendiri. Namun tetap saja tak pernah bisa. Dilihat dari sudut manapun, Brian tetap saja bersalah meskipun dia belum menemui wanita yang bernama Eliza itu.     

Brian terlihat panik dan takut dengan penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Martin. Ada sebuah rahasia kecil yang selama ini disembunyikannya dari semua orang. Parahnya lagi, hanya Brian dan juga Eliza yang mengetahui rahasia itu.     

"Berikan ponselmu," ucap Davin Mahendra sambil mengambil ponsel dari tangan Brian. " Sebelum Martin kembali dengan hasil penyelidikan itu, ponsel ini tetap Papa simpan. Jangan bertindak bodoh!" tegasnya dengan sangat serius.     

Brian langsung kehilangan kata-katanya, dia tak tahu harus menyanggah atau membalas apa pada ucapan ayahnya. Hanya pasrah yang bisa dilakukannya. Sekalipun berusaha untuk menghindari ayahnya, dia tak akan pernah berhasil. Adi Prayoga selalu memiliki sebuah cara untuk membuatnya tak berkutik.     

"Haruskah Papa membawa ponselku juga?" tanya Brian pada ayahnya.     

"Apa kamu keberatan, Brian?" Bukannya menjawab, Adi Prayoga justru melemparkan sebuah pertanyaan pada anaknya. "Apa yang sedang kamu sembunyikan? Kamu terlihat sangat ketakutan dan juga gelisah sejak Martin pergi," ucap sang bos mafia kepada anak kesayangannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.