Bos Mafia Playboy

Baik Buruknya Istri Tergantung Suami



Baik Buruknya Istri Tergantung Suami

0Antara sadar dan tak sadar, Vincent mendengar keributan di alam bawah sadarnya. Sepenuh jiwanya dia berjuang untuk membuka mata, melawan rasa sakit yang terus menawannya untuk tidak terbangun. Dengan sangat pelan dan sangat perlahan, Vincent berusaha membuka matanya.     

Kevin yang menyadari hal itu langsung mengembangkan senyuman penuh kelegaan. Dia ingin segera memberitahukan pada Imelda dan juga Brian tentang keadaan Vincent. Namun, pria yang masih terbaring di atas ranjang itu, menarik tangannya dan memberikan isyarat agar Kevin tetap diam.     

Untuk beberapa saat, Vincent sengaja membiarkan pasangan itu tenggelam dalam sebuah ciuman yang menggairahkan. Lama-kelamaan, dia pun menjadi geram dengan pasangan tak tahu malu itu.     

"Cepat usir pasangan gila itu!" seru Vincent dengan suara pelan namun terdengar sangat jelas di telinga semua orang yang berada di ruangan itu.     

Seketika itu juga, Imelda langsung melepaskan ciumannya lalu membalikkan badan. "Kak Vincent!" Imelda langsung berlari ke arah kakaknya. Kemudian dia memberikan pelukan hangat pada Vincent.     

"Jangan memelukku! Tubuhmu sudah terkontaminasi dengan aroma Brian," goda Vincent sambil menahan rasa sakit karena Imelda terlalu erat memeluknya.     

"Apa-apaan sih, Kakak!" kesal Imelda dengan wajah cemberut. Dia kesal karena ucapan Vincent kepadanya.     

Begitu Imelda melepaskan pelukannya, Vincent langsung memandangi wajah cantik adik kesayangannya. Sebuah tatapan penuh arti dalam kasih sayang yang mendalam. "Apakah kamu tak punya malu? Bagaimana kamu bisa berciuman dengan santai tanpa rasa malu?" Sebuah pertanyaan yang dilemparkan oleh Vincent langsung membuat pasangan itu saling melemparkan tatapan.     

"Bukankah kami sudah suami istri?" Imelda mencoba untuk membela dirinya sendiri. Meskipun kelakuannya sedikit berlebihan, ia tak mau disalahkan atas tindakannya itu.     

"Kamu pikir kalau sudah suami istri bisa berciuman di mana saja?" Vincent mulai terlihat kesal dengan jawaban yang diberikan oleh adiknya. Dia tak ingin jika orang lain akan memandang Imelda dengan penuh cibiran.     

Imelda tak mau menyerah begitu saja, ia terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban telak yang mampu membuat Vincent kehilangan kata-katanya. "Itu karena kakak belum menikah, apalagi tak memiliki kekasih," sahut Imelda dengan senyuman penuh kemenangan.     

"Sudahlah! Aku malas berdebat denganmu." Vincent langsung mengalihkan pandangan ke tempat di mana adik iparnya berada. "Brian! Baik buruknya Imelda tergantung padamu. Aku tak ingin adik kesayanganku ini bersikap tak sopan apalagi tak tahu malu," tegasnya dalam ekspresi wajah sangat serius.     

Brian pun langsung menyesali perbuatan yang baru saja dilakukannya bersama Imelda. Sedikit ucapan Vincent telah membuat hatinya bergetar hebat. Secara tidak langsung, Vincent sudah menyerahkan Imelda sepenuhnya kepada dirinya. Ada sebuah perasaan tersendiri yang dirasakan Brian begitu mendengar semua itu.     

"Terima kasih, Kak. Aku akan memastikan untuk selalu memberikan yang terbaik untuk Imelda. Maaf jika kami berdua kurang sopan," ucap Brian begitu tulus dalam tatapan hangat yang penuh arti.     

Pria yang masih berbaring di ranjang klinik itu lalu beralih memandang adiknya. "Imelda! Apakah sejak tadi kamu berada di sini?" Vincent menanyakan hal itu karena dia merasakan kehadiran seseorang yang begitu menyentuh hati.     

"Menurut, Kakak?" Imelda masih sangat kesal pada sosok pria yang masih terlihat sedikit pucat.     

Ingin rasanya Brian mengelus dadanya sendiri. Melihat kelakuan Imelda membuatnya harus menelan kekesalan dan suka rasa jengkel pada adik perempuannya itu. "Dasar, Anak manja!" ledeknya sambil melirik Imelda.     

"Kakak pikir aku manja?" protes Imelda sembari mengerucutkan bibir karena terlalu kesal.     

Brian yang menyaksikan betapa kerasnya sang istri, langsung mendekati dan memberikan belaian lembut yang penuh cinta. "Sudahlah, Sayang. Kak Vincent baru saja terbangun dari masa kritisnya. Sebaiknya kamu jangan bersikap seperti itu." Dengan lembut dan juga ucapan yang sangat hati-hati, Brian mencoba untuk membujuk Imelda agar tidak terus kesal. Dia tak tega melihat kakak iparnya yang harus menjadi sasaran kekesalan sang istri.     

"Baiklah. Kali ini aku akan melepaskan Kakak. Lain kali jangan harap itu akan terjadi." Sebuah perkataan dari Imelda itu justru terdengar seperti ancaman bagi Vincent.     

Ketiga pria di dalam ruangan itu hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Imelda kepada kakaknya sendiri. Mereka tak menyangka jika wanita itu bisa melakukan sesuatu yang sedikit berlebihan.     

"Bukan aku yang selalu berada di sini untuk menjagamu .... " Imelda berhenti sejenak, ia sengaja melihat respon Vincent terhadap ucapannya.     

"Lalu ... siapa yang selalu berada di samping dengan berurai air mata?" Mendengar pertanyaan Vincent, mereka semua langsung terlihat serius untuk mendengar kelanjutan cerita itu.     

"Dokter Laura!" Dalam waktu yang hampir bersamaan, Imelda dan Kevin menyebutkan sebuah nama yang sama. Mereka tak mungkin menutupi hal itu dari Vincent. Bisa saja mereka berdua memang telah berjodoh.     

Vincent cukup terkejut mendengar jawaban itu. Dia tak menyangka jika Laura telah mengorbankan waktu hanya untuk dirinya. Padahal hubungan mereka jauh sekali dengan kata akrab. Yang diingat oleh Vincent, dia dan Laura hanya pernah menghabiskan waktu makan siang bersama di sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit. Hal itu karena Vincent merasa telah berhutang budi pada Laura, saat wanita itu mengantarkannya ke markas.     

"Di mana dia?" Vincent berusaha mencari tahu keberadaan wanita yang sudah menjaga dan menemaninya selama beberapa waktu lalu.     

"Aku menyuruhnya beristirahat sebentar. Dokter Laura terlihat sangat kelelahan dalam wajahnya yang semakin pucat," jelas Imelda sambil berjalan ke arah kakaknya.     

Mendengar pertanyaan dari Vincent, pemilik klinik itu langsung keluar dari ruangan. Dia berinisiatif untuk memanggil Laura untuk menemui kakak ipar dari Brian itu. Kevin pun menuju ke sebuah ruangan di mana dokter dan juga perawat bisa beristirahat di sana. Kebetulan sekali, Laura sudah bangun dan baru saja merapikan tempat itu.     

"Apa yang membawamu ke sini, Kevin?" tanya Laura pada teman baiknya itu.     

"Vincent baru saja sadar dan sedang mencarimu," sahut Kevin dengan wajah dingin seperti biasa.     

"Benarkah itu?" Dengan tidak sabar, Laura langsung berlari menuju ruangan di mana Vincent berada. Seakan rasa lelah dan mengantuk langsung menghilang begitu saja. Begitu sampai di depan pintu, tiba-tiba ada keraguan yang sangat besar di dalam hatinya. Laura sangat takut jika Vincent akan menolaknya.     

Tanpa beralih dari depan pintu, Laura masih berdiri di sana. Tak berapa lama, pintu itu akhirnya terbuka. Terlihat Brian sudah berdiri berhadapan langsung dengannya.     

"Kenapa tak langsung masuk? Kak Vincent sudah menunggu sejak tadi." Brian melihat kegelisahan di hati Laura. Antara takut dan juga tak yakin terhadap dirinya sendiri. Pria itu kemudian memandang ke arah istrinya. "Sayang! Dokter Laura sudah berada di depan pintu. Ajaklah dia masuk!" seru Brian pada Imelda yang masih duduk di sebelah kakaknya.     

Imelda langsung berjalan ke arah pintu dan menghampiri Laura. "Cepatlah masuk! Kak Vincent sudah menunggumu," ucap Imelda pada teman seprofesinya.     

"Maaf. Aku tak bisa menemui kakakmu." Laura langsung berlari menjauhi kamar itu. Dalam sekejap saja, ia sudah menghilang. Hanya kekecewaan dan juga rasa penasaran yang ditinggalkannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.