Bos Mafia Playboy

Penyesalan Yang Berlebihan



Penyesalan Yang Berlebihan

0Mendengar sebuah panggilan dari seseorang yang sangat dikenalnya, Brian langsung memalingkan wajahnya ke arah belakang. Terlihat Imelda sudah berdiri tak jauh dari tempat duduknya. Ada rasa terkejut juga perasaan takut yang tiba-tiba menyerang hatinya. Brian takut jika Imelda mendengar semua pembiacarannya dengan Martin.     

"Sayang!" Pria itu langsung bangkit dan berdiri di samping istrinya. "Duduklah dulu." Brian sedikit mendorong istrinya itu untuk duduk di sebuah kursi yang tadi didudukinya.     

"Sepertinya pembicaraan kalian sangat serius." Imelda mencoba untuk membuka percakapan di antara mereka bertiga. Dia bisa melihat ketidaknyamanan Martin atas kehadirannya di sana. "Kenapa kamu tiba-tiba saja terdiam, Martin?" tanyanya pada sosok pria yang duduk tak jauh dari kursinya.     

Martin langsung mengalihkan pandangan ke arah Imelda, ia merasa jika Imelda terlalu memperhatikan dirinya. "Karena pembicaraan telah selesai, makanya aku diam. Jangan berpikiran mesum terhadap diriku." Martin sengaja menggoda Imelda untuk mengalihkan pembicaraan mereka.     

"Mesum? Tak mungkin juga aku memikirkan hal mesum bersamamu," sahut wanita yang mulai terlihat kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu.     

Sebuah senyuman kecil dilukiskan Martin di wajahnya. Dia tahu jika Imelda hanya mencintai anak dari bos-nya itu. Bahkan Brian adalah cinta pertama Imelda. "Kupikir kamu sudah tertular kemesuman suamimu itu," ledeknya sembari melirik sosok pria yang langsung memelototi dirinya itu.     

"Apa! Kenapa melirikku?" Brian tak bisa menutupi kekesalan di dalam dirinya. Dia pun memilih untuk duduk di antara Martin dan juga Imelda. "Apa kondisi Kak Vincent baik-baik saja, Sayang?" tanyanya pada sang istri.     

"Sudah lebih baik. Kita hanya menunggu Kak Vincent membuka matanya," jawab Imelda dalam wajah yang seolah sedang bingung karena memikirkan sesuatu. "Apakah salah satu di antara kalian mengetahui hubungan Kak Vincent dan Laura?" Imelda bertanya pada kedua pria yang duduk di sebelahnya. Dia tak bisa menahan rasa penasaran di dalam dirinya.     

Martin dan Bryan saling menatap satu sama lain. Mereka pun juga terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Imelda kepadanya. Tak ada yang tahu, hubungan apa yang terjalin antara Laura dan juga Vincent. Mereka berpikir jika hubungan Vincent dan Laura biasa saja dan juga tak terlalu dekat.     

"Tapi tunggu dulu .... " Martin mencoba mengingat sebuah kejadian yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Waktu itu, ia melihat seseorang yang mirip Vincent dan Laura sedang menghabiskan makan siang di sebuah restoran. Sebuah restoran yang cukup dekat dari rumah sakit tempat Laura bekerja. "Sepertinya aku pernah melihat mereka. Kupikir itu orang lain, sepertinya mereka berdua benar-benar memiliki hubungan spesial," lanjut Martin sembari terus mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.     

Imelda langsung menggangguk sambil senyum-senyum membayangkan hubungan Laura dan kakaknya. Dia tak menyangka jika Vincent bisa tertarik dengan rekan kerjanya di rumah sakit. "Sepertinya ... mereka berdua belum saling menyatakan perasaannya. Aku mendengar saat Laura berkata ingin menyatakan perasaannya pada kakakku," ungkap Imelda pada dua pria yang mendengarkan dirinya dalam tatapan yang serius.     

"Dengar itu, Martin! Kita semua sudah memiliki pasangan masing-masing. Sudah saatnya kamu menemukan pendamping hidup," sindir Brian sambil melirik ke pria yang duduk di sebelahnya.     

"Jangan memulainya lagi, Brian!" Martin terlihat sangat tidak nyaman dengan ucapan suami dari wanita yang telah lama membuatnya jatuh hati. Bahkan air mukanya langsung berubah drastis. Dia pun bangkit dari kursinya untuk membiarkan pasangan itu duduk berdua.     

Imelda bisa sangat yakin jika Martin sedang mencoba untuk menghindarinya. Dia pun berusaha untuk menghentikan langkah pria itu sebelum benar-benar pergi. "Tunggu, Martin!" seru Imelda pada sahabat dari kakaknya itu.     

"Ada apa lagi? Sepertinya sudah tidak ada yang bisa kulakukan sekarang." Sebuah jawaban yang terdengar tak acuh dan terkesan dingin pada mereka semua. Martin tak mau mendengar sindiran dan juga perkataan mereka tentang perasaannya kepada Imelda. "Jika kamu hanya ingin menanyakan tentang perasaanku, lebih baik aku pergi sekarang," ucapnya tak bersemangat sembari berjalan menjauhi kursi itu.     

"Berhentilah, Martin!" teriak Imelda pada sosok pria yang langsung menghentikan langkah begitu mendengar teriakannya.     

Dengan penuh keraguan, Martin membalikkan badannya lalu berjalan kembali ke tempat di mana Imelda dan suaminya berada. Terlihat sangat terpaksa dan juga terlalu berat, pria itu akhirnya kembali duduk di kursi yang tadi. "Apa yang ingin kamu ketahui Imelda?" tanyanya tanpa daya.     

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Kak Vincent? Dokter Kevin mengatakan jika kamu yang membawanya ke klinik." Imelda terlihat sangat tidak sabar untuk menantikan jawaban dari sahabat kakaknya itu.     

Martin menjadi sangat bingung untuk menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu. Dia tak tahu harus memulai kisah itu darimana. "Sebenarnya ... tadi pagi, beberapa anak buahku akan melakukannya transaksi. Namun entah bagaimana hal itu bisa tercium oleh agen intelijen. Parahnya lagi, Vincent juga termasuk di dalamnya. Terjadilah bentrokan saling serang di antara mereka. Bos sudah meminta agar transaksi itu dibatalkan. Sayangnya, kedatanganku sudah sangat terlambat. Mereka semua saling menembak untuk mempertahankan diri. Lalu Vincent ... tertembak saat insiden itu." Martin menghela nafasnya sejenak, membiarkan perasaan lebih terkendali.     

"Aku langsung membawanya kabur begitu melihat Vincent tersungkur. Selebihnya aku tak tahu yang terjadi di sana," lanjut Martin dalam wajah yang sedih dan juga sangat menyesal.     

Brian menatap orang kepercayaan ayahnya itu. Terlihat Martin sangat tidak baik-baik saja. Insiden itu telah melukai sahabatnya sendiri. "Mengapa wajahmu terlihat sangat menyesali hal itu?" tanya Brian padanya.     

"Seharusnya aku bisa datang lebih cepat atau justru terlibat dalam transaksi itu. Setidaknya itu bisa menghindari insiden berdarah ini," sesal Martin dalam tatapan kosong yang memilukan.     

Imelda akhirnya mengerti penyesalan Martin atas insiden itu. Dia menyesal tak bisa menghindarkan Vincent dari musibah tersebut. "Tak perlu merasa bersalah, Martin. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk kakakku. Kak Vincent pasti sangat bangga memilikimu sebagai sahabatnya," puji Imelda pada pria yang langsung terdiam begitu mengungkapkan semuanya.     

"Semua tak semudah itu, Imelda. Kamu juga tahu, bagaimana hubunganku dengan Vincent? Meskipun kami berdua pernah terpisah, ikatan persahabatan kami berdua masih terjaga dengan baik." Martin mengingat kembali hubungan kedekatan di antara mereka. Dia merasa jika Vincent adalah seorang saudara laki-laki baginya. Melihatnya terluka adalah siksaan terberat baginya. Apalagi saat melihat Vincent berada dia antara hidup dan mati, ia pun juga tak berdaya.     

Sejak tadi, Brian terus memperhatikan pria di sebelahnya itu. Dia merasa jika penyesalan Martin terlalu besar dan juga mendalam. Dia pun tersenyum penuh arti pada orang kepercayaan ayahnya itu. "Bukankah penyesalanmu terhadap Kak Vincent terlalu berlebihan? Jangan-jangan kalian adalah .... " Brian langsung terkekeh mendengarkan godaannya sendiri untuk Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.