Bos Mafia Playboy

Hutang Nyawa



Hutang Nyawa

0Terlihat cukup jelas perubahan air muka Adi Prayoga begitu mendengar jawaban anaknya. Kekhawatiran, kecemasan dan juga rasa takut yang melebur menjadi satu. "Apa kamu juga mendengar semua pembicaraan kami?" tanyanya dalam hati yang berdebar-debar.     

"Aku mendengarnya .... " Brian sengaja memberikan jeda dalam jawabannya. Kemudian ia memperhatikan ekspresi ayahnya yang berubah cepat. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Mama Irene? Bukankah Papa berkata jika Mama Irene hampir tak bisa bertahan?" Rasanya jantung Brian hampir meledak menantikan sebuah jawaban yang sangat dinantikannya.     

Adi Prayoga mencoba untuk menyembunyikan kegelisahan di dalam hatinya. Dia tak ingin jika Brian harus mendengar sesuatu yang tak seharusnya didengar oleh anak semata wayangnya itu. "Sepertinya kamu salah mendengar, Brian. Kamu sudah salah paham terhadap perbincangan kami berdua," kilah Adi Prayoga dengan cukup menyakinkan.     

"Sudah kuduga Papa akan mengatakan hal itu," sahut Brian sembari menunjukkan senyuman kekesalan kepada ayahnya.     

"Seberapa banyak lagi Papa akan terus merahasiakan semuanya? Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti segalanya, untuk siapa lagi Papa merahasiakan semuanya? Toh Mama Irene juga sudah tiada, Mama Natasya juga tak tahu entah di mana." Brian menumpahkan segala kekesalan di dalam hatinya selama ini. Rasanya dia sudah tak tahan lagi untuk menyimpan segalanya di dalam hati.     

Adi Prayoga langsung bangkit dari tempat duduknya, melemparkan tatapan penuh arti pada anak laki-lakinya. "Tetaplah di sini! Papa sedang ada urusan penting yang harus diselesaikan." Pria itu langsung meninggalkan anak begitu saja. Antara tega dan tidak tega, Adi Prayoga sengaja menghindari pertanyaan Brian yang cukup sulit untuk dijawabnya.     

Begitu Adi Prayoga beranjak pergi dari sana, Brian masih berada di tempatnya. Dia sama sekali tak bergerak sedikit pun. Hingga ada seseorang yang datang dan mengejutkannya. Sebuah tepukan tangan yang kokoh dan juga cukup kuat mendarat di bahunya. Brian langsung memalingkan wajahnya dan melihat pada sosok pria di belakangnya.     

"Martin! Apa kamu mendengarkan semua pembicaraan mereka?" Sebuah pertanyaan langsung dilemparkan oleh Brian pada orang kepercayaan ayahnya itu.     

Martin langsung menganggukkan kepalanya, ia pun memilih duduk tak jauh dari anak bos-nya itu. Terlihat sangat jelas jika Brian masih sangat kesal pada sosok pria yang baru saja meninggalkan. Martin merasa prihatin dengan rumitnya kehidupan keluarga Prayoga dan juga Mahendra. Ingin rasanya dia membantu mengungkap semuanya, nyatanya hal itu sangat tak mungkin. Martin hanya terdiam tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Brian Prayoga.     

"Apa kamu juga mendengar yang terjadi dengan Mama Irene?" tanya Brian pada pria di sebelahnya.     

"Mereka berdua tak mengatakan segalanya dengan jelas. Walaupun aku mendengar semua pembicaraan mereka, aku tak bisa menebak ataupun memikirkan siapa dan apa yang melibatkan mereka berdua. Sepertinya ada sesuatu atau seseorang yang membuat Davin Mahendra terperosok dalam sebuah kesalahan dari masa lalunya." Martin mencoba menjelaskan panjang lebar kepada Brian. Padahal sebenarnya ia pun juga sangat bingung dan bahkan tak mengerti dengan pembicaraan mereka berdua.     

Bukannya mengerti atau semakin jelas, Brian mendadak sakit kepala mendengar penjelasan panjang Martin yang justru membuatnya bingung. Seolah yang diucapkan Martin bukanlah sebuah penjelasan, melainkan sebuah teka-teki yang harus dipecahkan.     

"Itu bukan penjelasan, Martin! Kamu justru memunculkan teka-teki baru yang sanggup memecahkan kepalaku ini." Brian memegangi kepalanya sendiri, seolah kepalanya benar-benar akan pecah.     

"Kamu pikir hanya kamu saja, aku pun juga merasakan hal yang sama," ungkap Martin sambil tersenyum memandang anak dari bos-nya.     

Brian berpikir sejenak, memikirkan semua yang baru saja didengarnya. Rasanya ada sebuah perasaan di dasar hatinya yang memaksa diri untuk memecahkan teka-teki itu. "Sepertinya itu bukanlah teka-teki. Setelah aku berpikir sebentar, semua itu adalah puzzle yang masih belum tersusun dengan lengkap." Itulah yang sedang dipikirkan oleh Brian.     

"Sebenarnya ... jika aku membantumu mengungkapkan semua ini, sama saja aku sedang mengkhianati bos-ku sendiri. Menjadikan sebuah bumerang bagi diriku sendiri. Bos juga sudah memperingatkan aku untuk tak menggali masa lalunya," ungkap Martin dalam kegalauan yang melanda dasar hatinya.     

"Bukankah kamu pernah berhutang nyawa denganku?" Brian mencoba mengingatkan pengorbanannya dulu saat menyelamatkan Martin dari sebuah tembakan dari musuh.     

Martin seolah tak memiliki pilihan lain, ia mengingat sangat jelas saat anak dari Adi Prayoga itu merelakan diri hanya untuk menyelamatkannya. Bahkan Brian pernah berjuang antara hidup dan mati gara-gara sebuah tembakan yang hampir saja melukai jantungnya.     

"Apakah kamu sengaja menagih hutang nyawa itu padaku sekarang?" Martin menanyakan hal itu dengan senyuman sinis pada Brian. "Padahal aku sedang berusaha keras untuk menyelamatkan hubunganmu dengan Imelda," lanjutnya lagi sembari mengerutkan keningnya.     

Pria itu menatap Martin dengan tanda tanya besar di kepalanya. Brian tak mengerti dengan yang dikatakan Martin padanya. "Apa maksudmu, Martin? Jangan menambahkan teka-teki di dalam hidupku! Sepertinya kamu begitu senangnya membuat aku terus berpikir keras hingga kepalaku akan meledak," protes Brian pada pria di sebelahnya.     

"Aku sedang berusaha untuk mendekati Eliza, semoga saja aku bisa membuatnya melupakanmu. Untung saja, hubunganku dengan Johnny Hartanto cukup baik. Aku bisa mendekati Eliza melalui kakaknya itu," jelas Martin tanpa mengedipkan matanya. Seolah rencananya itu pasti akan berhasil.     

"Bagaimana jika Eliza benar-benar jatuh cinta padamu?" Brian pun semakin penasaran dengan rencana Martin ke depannya.     

Bukannya langsung menjawab, Martin justru terlihat menghela nafasnya. "Yang penting ... aku membuatnya untuk menghilangkan perasaannya kepadamu dulu. Setelah semuanya selesai, aku hanya tinggal menghilang dari hidupnya," terang Martin tanpa beban sedikit pun.     

"Bukankah itu terlalu kejam?" Brian merasa kasihan jika Eliza harus dicampakkan begitu saja.     

"Apa kamu mau menikahinya juga?" cibir Martin tanpa perasaan. "Kamu tahu sendiri jika aku tak bisa mencintai wanita lain. Kamu sendiri juga tahu alasan. Jika bukan kamu suami dari Imelda, aku pasti sudah merebutnya sejak dulu." Martin mencoba memperjelas perasaannya pada istri dari Brian Prayoga itu. Semua perkataannya itu sangatlah serius. Jika Imelda tidak menikahi Brian, ia akan mengejar wanita itu sampai dapat. Lagi-lagi hutang nyawa itu membuatnya terbelenggu dan tak mampu merebut Imelda dari Brian.     

Begitu serius pembicaraan mereka berdua, hingga dua pria itu sama sekali tak menyadari kedatangan Imelda di sana. Wanita itu langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar Martin mengungkap sebuah rasa yang selama ini telah dipendamnya. Dia tak menyangka jika Martin sudah mencintainya sejak lama.     

"Pantas saja, Martin cukup mengenalku di pertemuan pertama itu." Imelda bergumam sambil memandang dua pria sedang berbicara sangat serius. Dia pun memutuskan untuk menghampiri mereka berdua.     

"Brian!" Sebuah panggilan dari Imelda itu langsung membuka Martin dan Brian mematung dengan wajah yang memucat seketika.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.