Bos Mafia Playboy

Mencintai Istrimu Adalah Pilihan Terbaik



Mencintai Istrimu Adalah Pilihan Terbaik

0Imelda cukup terkejut saat mendapati Laura berada di samping Vincent. Bahkan dari pandangannya, terlihat jika wanita itu sedang menangisi kondisi kakaknya. Setahunya ... Laura dan Vincent tak sedekat itu. "Apa yang sedang kulewatkan kali ini?" tanyanya dalam hati.     

Tak sampai di sana, sebuah pelukan hangat dan juga penuh perasaan dari Laura membuat Imelda kembali bertanya-tanya di dalam hatinya. "Sedekat itukah hubungan mereka berdua?" Untuk sesaat, ia harus menyimpan semua pertanyaan itu di dalam hatinya. Suasana pilu yang diperlihatkan oleh Laura, memaksanya mengurungkan niatnya.     

"Dokter Imelda! Kumohon selamatkan Vincent." Laura berucap dalam suasana hatinya yang semakin tak terkendali. Mungkin saja wanita itu juga telah kehilangan akal sehatnya juga.     

"Tenanglah, Dokter Laura. Dokter Kevin sudah menjelaskan jika kondisinya cukup stabil." Imelda yang tadinya sempat syok mendengar kabar itu, menjadi lebih tenang saat ada seseorang yang begitu tulus mendampingi kakaknya. Segala kecemasan dan kekhawatirannya berangsur menghilang. Dia justru menjadi kasihan pada rekan sesama dokternya itu.     

Laura mengusap air mata di wajahnya, mencoba untuk mengendalikan perasaannya di hadapan Imelda. Dia tak ingin membuat adik dari Vincent itu jika dirinya sangat berlebihan. "Apa Kevin juga mengatakan kalau Vincent hampir saja kehilangan nyawanya?" Sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan untuk Imelda. Dia tak menyangka jika keadaan Vincent sangat mengkhawatirkan.     

"Apa!" Sontak saja Imelda sangat terkejut. Dengan perlahan namun pasti, ia melangkah lebih dekat ke arah Vincent. Menatap wajah tampannya yang terlihat sangat pucat dengan beberapa selang di tubuhnya. "Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Kak?" tanyanya pada sosok pria yang masih belum tersadar.     

Di saat kedua wanita itu sedang berada di suasana keheningan yang memilukan, Brian dan juga Kevin sedang duduk di depan ruangan itu. Mereka sedang membicarakan tentang Vincent yang bisa sampai terluka seperti itu.     

"Bagaimana Kak Vincent bisa sampai terluka seperti itu?" tanya Brian pada sahabatnya yang tak lain adalah pemilik klinik itu.     

Kevin langsung mengalihkan pandangan kepada pria di sebelahnya. Terlihat jelas kecemasan Brian pada kakak iparnya itu. Kevin sangat mengerti jika sahabatnya itu bisa sangat peduli dengan Vincent. "Aku tak begitu tahu dengan yang sebenarnya terjadi. Yang aku tahu ... Martin membawa kakak iparmu itu dalam keadaan tertembak. Entah apa yang sebenarnya sudah terjadi, Martin langsung menghilang begitu ayah mertuamu tiba di sini," jelas Kevin tanpa sambil menatap jam di tangannya.     

"Apa kamu akan pergi? Kenapa terlihat sangat serius menatap jam di tanganmu?" tanya Brian begitu melihat sahabatnya itu terlihat cemas setelah menatap jam tangannya.     

"Aku khawatir dengan Laura. Saat aku memanggilnya ke sini, ia sedang berada di rumah sakit. Ini sudah sangat malam, Laura bersikeras untuk terus menjaga Vincent. Aku takut dia kelelahan karena kurang istirahat." Kevin mencoba menerangkan apa yang sedang dikhawatirkannya.     

Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Brian langsung berpikir keras untuk mengartikan hubungan mereka. "Apakah kamu mencintai Laura?" Tanpa basa-basi ia langsung melemparkan pertanyaan itu pada Kevin.     

"Jangan gila kamu, Brian! Laura itu sudah seperti adikku sendiri, aku mengenalnya sejak dia masuk ke universitas. Daripada harus mencintai Laura, aku lebih memilih untuk mencintai .... " Kevin sengaja memberikan jeda pada ucapannya, ia pun menatap Brian dengan sebuah senyuman penuh arti. "Mencintai istrimu adalah pilihan terbaik," lanjutnya.     

"Sial! Jangan pernah kamu mengucapkan itu lagi!" tegas Brian dalam wajah sangat geram. Dia hampir saja melayangkan sebuah pukulan pada sahabatnya itu.     

Kevin justru tersenyum penuh kemenangan melihat sahabatnya hampir mengamuk. Dia sangat tahu jika Brian sangat mencintai istrinya. Seandainya Kevin benar-benar telah jatuh cinta pada Imelda, dia juga tak akan pernah merebut wanita itu dari sahabatnya sendiri. "Siapa tahu kamu lebih memilih Eliza," goda Kevin sembari senyum-senyum pada pria di sebelahnya.     

"Tak akan pernah itu terjadi. Kisahku bersama Eliza adalah sebuah kesalahan, tentunya itu hanya kebodohanku saja. Aku tak akan pernah tergoda olehnya lagi." Brian sedang mencoba untuk mencari pembenaran atas dirinya sendiri. Dia merasa tak pernah mencintai Eliza sama sekali. Semua hal yang terjadi di masa lalu hanyalah kebodohannya semata.     

"Aku harus menghubungi Martin untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi." Brian langsung mengambil ponselnya dan melakukan panggilan pada orang kepercayaan Adi Prayoga itu. Sayangnya ... Martin sama sekali tak menerima panggilan itu. Ponselnya justru langsung dimatikan begitu saja. "Brengsek! Martin sengaja mematikan ponselnya. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran," kesal Brian dengan wajah yang penuh amarah.     

Melihat kekesalan sahabatnya itu, Kevin harus menahan senyumannya. Dia yakin jika Brian akan mengamuk, saat melihatnya sedang tertawa. "Haruskah aku membantu mencari Martin?" tawarnya.     

"Tak perlu! Aku akan menemui Papa terlebih dulu," sahut Brian lalu bangkit dari tempat duduknya.     

"Mereka ada di ruang tunggu." Kevin sengaja memberitahukan keberadaan Adi Prayoga dan juga Davin Mahendra.     

Tanpa menunggu lama, Brian langsung berjalan cepat menyusuri lorong panjang dan juga sunyi di klinik itu. Dia sudah tak sabar ingin menanyakan keberadaan Martin pada ayahnya. Dari kejauhan, Brian melihat ayahnya sedang duduk bersebelahan dengan ayah mertuanya, Davin Mahendra. Tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya, terlihat jika kedua pria itu sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius.     

Ada sebuah rasa penasaran di dalam hati Brian pada pembicaraan serius di antara mereka berdua. Dengan perlahan dan juga sedikit mengendap-endap, Brian sudah berada di dekat kedua pria itu.     

Meskipun samar-samar Brian masih bisa mendengar pembicaraan mereka berdua.     

"Siapa tahu? Nyatanya kamu juga pernah menghancurkan hati Irene hingga dia hampir tak bisa bertahan saat itu," sindir Adi Prayoga dalam tatapan sinis.     

Mendadak jantung Brian seolah berhenti sejenak mendengar sindiran ayahnya pada Davin Mahendra. "Apa maksud dari ucapan Papa? Apa yang terjadi dengan Mama Irene?" Brian sengaja tak bersuara ataupun tak bergerak sedikit pun. Dia ingin mendengarkan pembicaraan mereka lebih banyak.     

Davin Mahendra terlihat sangat kesal pada Adi Prayoga. Dia pun bangkit lalu melemparkan tatapan dingin pada mantan sahabatnya itu. "Hentikan omong kosongmu! Kamu tidak tahu apa-apa dengan hal itu." Pria itu langsung meninggalkan Adi Prayoga begitu saja.     

Melihat ayah mertuanya sudah pergi, Brian langsung menghampiri ayahnya yang masih duduk terdiam di kursi itu. Hanya tatapan kosong di dalam kesunyian tempat itu yang terlihat sangat jelas.     

"Kenapa Papa duduk sendirian di sini?" Brian berpura-pura tak tahu jika ayahnya baru saja berbincang serius dengan ayah dari Imelda.     

Adi Prayoga langsung tersadar dari lamunannya, ia melihat ke arah suara yang mengejutkannya itu. "Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanya sosok bos mafia dalam tatapan penuh tanya.     

"Sejak Papa berbicara dengan Papa Davin," jawab Brian. Awalnya ... Brian ingin mengatakan kebohongan terhadap ayahnya. Namun ia memilih untuk berkata jujur pada pria yang selalu menyayangi istrinya dengan kasih sayang yang berlimpah.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.