Bos Mafia Playboy

Jantungnya Berhenti



Jantungnya Berhenti

0"Tutup mulutmu, Mahendra!" bentak Adi Prayoga masih dalam tatapan dingin yang mampu membekukan seluruh klinik itu.     

Davin Mahendra justru tertawa penuh kemenangan melihat rivalnya itu itu semakin murka. "Apa yang ingin kamu ingkari? Semua itu adalah kenyataan yang .... " Secara tiba-tiba, Davin Mahendra menghentikan ucapannya. Dia baru menyadari jika kedua dokter itu sudah keluar dari ruangan.     

"Bagaimana keadaan Vincent, Dokter?" Davin Mahendra berjalan cepat ke arah dua dokter yang sepertinya sudah berdiri di sana cukup lama.     

Kevin dan Laura memperlihatkan wajah yang tidak tenang. Mereka berdua sama-sama sedang berusaha untuk menyelamatkan nyawa Vincent. "Kondisi pasien masih kritis, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Meskipun peluru itu menembus punggung pasien, kami telah berhasil mengeluarkannya. Untung saja peluru itu tidak mengenai organ vitalnya. Kita hanya bisa menunggu agar pasien segera sadar," jelas Kevin panjang lebar.     

Mendengar penjelasan Kevin, ingin rasanya Davin Mahendra menerobos masuk dan langsung memeluk anaknya. Hatinya sangat hancur saat Vincent harus terluka seperti itu. Sekuat hati, ia menahan agar air matanya tidak jatuh di hadapan mereka semua.     

"Haruskah kita membawanya ke sebuah rumah sakit besar yang memiliki peralatan lebih canggih?" Meskipun Davin Mahendra mengetahui Vincent tak bisa dipindahkan saat itu juga, dia tetap saja menanyakan hal itu pada dokter yang menangani anaknya. Seolah ia baru saja kehilangan akal sehatnya, saat mendengar kondisi Vincent yang cukup mengkhawatirkan.     

Sebuah gelengan kepala diperlihatkan Kevin kepada wali pasien. Dia tak sanggup mengatakan hal itu pada Davin Mahendra. "Saya yakin jika Anda cukup memahami semuanya. Dalam kondisi seperti sekarang, pasien tak mungkin dipindahkan ke manapun. Anda hanya perlu bersabar sambil menunggu pasien sadar." Kevin mencoba menjelaskan kondisi pasien yang sangat tidak stabil.     

"Saya permisi," pamit Kevin sebelumnya meninggalkan kedua pria itu. Kevin berjalan diikuti Laura di belakangnya. Mereka berdua langsung masuk ke ruangan praktek Kevin.     

Laura langsung saja melemparkan tatapan aneh pada teman baiknya itu. Seolah ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada pemilik klinik itu. "Kevin .... " Sebuah keraguan yang begitu besar tercetak sangat jelas di wajah cantiknya.     

"Katakan! Apa yang ingin kamu ketahui?" Kevin langsung menembakkan sebuah pertanyaan pada wanita yang sudah cukup lama dikenalnya.     

"Bagaimana kamu tahu, jika aku ingin bertanya padamu?" sahut Laura dengan wajah keheranan atas respon Kevin terhadapnya.     

Tanpa berpikir, Kevin langsung mengerutkan kening sembari mengerucutkan bibirnya. "Kamu pikir kita baru berkenalan?" cibirnya dengan sebuah cubitan mendarat di pipi Laura. "Kita saling mengenal sejak kita kuliah, coba pikir ini sudah berapa lama?" Kevin seolah sedang bermain tebak-tebakan dengan teman dekatnya itu.     

"Bisa saja 10 tahun atau lebih, aku tak mau menghitungnya," sahut Laura dengan wajah yang semakin bingung mengartikan ucapan Kevin.     

"Sepertinya 10 tahun lebih kita saling mengenal. Aku sudah menganggap kamu seperti adikku sendiri. Aku pun sangat hafal dengan tingkahmu itu." Kevin dengan sengaja memberikan sebuah belaian seperti seorang kakak kepada adiknya.     

Laura memperlihatkan senyuman lembut yang cukup menarik hati. Dia senang bisa bertemu dengan Kevin di hari pertama kuliah dulu. "Terima kasih untuk segalanya, Kevin," ucapnya sangat tulus. Dia pun lalu senyum-senyum sendiri sambil memandangi sosok temannya itu. "Apakah pria tadi adalah papanya Vincent?" Laura terlihat malu-malu menanyakan hal itu.     

"Benar sekali." Kevin menjawabnya dengan cukup menyakinkan. Namun di dalam hatinya, ia sedang mencemaskan sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi. "Apa kamu juga mendengar pembicaraan mereka tadi?" Dengan sangat ragu, Kevin menanyakan hal itu. Dia hanya ingin memastikan jika Laura tidak mendengarkan semuanya.     

Tanpa langsung menjawabnya, Laura justru membuang muka. Dia tak ingin jika Kevin menyadari kegelisahan hatinya. "Apakah itu soal Irene Mahendra yang menjadi kekasih Adi Prayoga?" tanyanya sangat penasaran. "Apa yang dimaksud dengan janji seorang kekasih?" Laura kembali bertanya pada pria yang berada tak jauh darinya.     

"Lupakan apa yang baru saja kamu dengar. Akan lebih baik jika kamu tak mendengarnya. Jangan pernah mencoba untuk mencari tahu apapun tentang itu." Jawaban Kevin kali ini terdengar lebih seperti sebuah ancaman bagi Laura. Wanita itu semakin tak mengerti dengan semua yang baru saja didengarnya itu.     

Kevin terlihat gelisah setelah mengatakan hal itu pada Laura. Dia hanya tak ingin teman baiknya itu ikut terseret dalam rumitnya hubungan keluarga Mahendra dan juga Prayoga. Hubungan mereka akan sangat sulit untuk kembali baik. Kevin sangat tahu dengan alasan di belakangnya. Dia tetap diam meskipun mengetahui kebenaran itu. Bukan karena takut, diam adalah cara Kevin untuk melindungi dirinya sendiri.     

"Kevin! Kamu membuatku takut mendekati Vincent saja," protes Laura. Dia sudah sangat jatuh hati pada kakak Imelda itu. Namun perkataan Kevin barusan, membuat nyalinya sedikit menciut.     

"Tak perlu ragu pada Vincent. Dia adalah sosok pria yang baik dan jauh dari hingar bingar kehidupan malam yang mampu menghipnotis setiap pria. Bahkan Vincent Mahendra jauh lebih baik dari Brian Prayoga," ungkap Kevin dengan sangat menyakinkan. Dia pernah dengan sengaja mencari tahu tentang keluarga Mahendra karena rasa penasarannya itu. Namun fakta yang didapatkan Kevin, melebihi apa yang ingin didengarnya. Banyak hal yang sangat mengejutkan yang diketahuinya di antara dua keluarga itu.     

Wanita itu langsung mengembangkan senyuman cantik di wajahnya. Laura membayangkan jika dirinya dapat bersanding dengan Vincent Mahendra. "Haruskah aku memberitahu Dokter Imelda tentang keadaan kakaknya? Aku tak bisa membayangkan jika dia mengetahui hal ini." Laura memandang Kevin dengan wajah sedih dan juga mencemaskan pria yang beberapa waktu lalu telah membuatnya jatuh hati.     

"Tak perlu memberitahukan hal ini pada Dokter Imelda. Dia sedang melewati masa-masa terberat di dalam hidupnya. Biar nanti aku memberikan kabar ini pada Brian saja." Kevin mencoba menjelaskan kondisi Imelda yang tidak terlalu baik pada teman baiknya itu.     

Laura tak bisa menyanggah ucapan Kevin kepadanya, ia memilih untuk mengikuti perkataan pria di depannya itu. Tiba-tiba saja, Laura ingin sekali melihat keadaan Vincent. Meskipun pria itu belum sadar, rasanya cukup bahagia bisa berada di dekatnya. Merasakan sebuah kedekatan yang mampu menggetarkan hati. Menghilangkan akal sehat di dalam dirinya.     

"Vincent ... Kuharap kamu segera bangun. Entah kamu akan mengerti perasaanku atau tidak ... yang terpenting bangunlah terlebih dahulu." Laura menggenggam jemari tangan seorang pria yang berada di antara hidup dan matinya.     

Saat suasana begitu hening, hanya terdengar suara monitor yang menampilkan detak jantung pasien. Namun tiba-tiba saja ....     

"Dokter Kevin! Detak jantung pasien berhenti." Dengan sangat panik, Laura menyiapkan Defibrilator (alat kejut jantung). Dia sangat ketakutan jika harus kehilangan Vincent di saat cinta mulai bertumbuh di hatinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.