Bos Mafia Playboy

Tertembaknya Vincent



Tertembaknya Vincent

0Martin yang tadinya akan pergi, tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Tanpa berpikir lagi, ia membalikan badannya dan memandang ke arah Johnny Hartanto. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya cukup mudah namun menjadi begitu sulit bagi Martin.     

"Kamu tahu jika aku tak pernah mengganti pekerjaanku." Martin mencoba menjelaskan pada teman lamanya itu. Seingatnya, ia pernah mengatakan jika dirinya menjadi seorang broker begitu keluar dari tim pasukan khusus. Martin tak pernah mengatakan alasan di balik alasannya meninggalkan pekerjaannya yang terdahulu.     

Johnny Hartanto beranjak mendekati temannya itu. Dia bisa melihat jika Martin sedikit kesal dengan ucapannya. Sebuah tepukan pelan namun cukup terasa kuat diberikan Johnny Hartanto pada pria di depannya. "Aku akan sangat senang jika kamu benar-benar menjadi adik iparku," ujarnya sangat menyakinkan.     

"Aku harus pergi dulu. Kamu bisa mengabariku apapun itu, terlebih jika itu tentang Eliza." Setelah berpamitan, Martin memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Dia tak ingin berlama-lama di sana. Bukan apa-apa, ia hanya tak ingin menjawab banyak pertanyaan dari Johnny Hartanto saja.     

Saat keluar dari kantor itu, secara tak sengaja Martin berpapasan langsung dengan Rizal Hartanto. Dengan sengaja ia berpura-pura untuk membenarkan tali sepatunya yang terlepas. Padahal, Martin bermaksud untuk memperhatikan hakim senior yang sangat disegani oleh orang-orang di elite hukum.     

Belum juga beranjak dari area itu, ponsel Martin sudah berdering. Dengan sangat cepat dia langsung menerima panggilan itu. "Ada apa, Bos?" tanyanya pada seseorang di dalam ponselnya.     

"Apa! Transaksi kita dibatalkan karena ada razia darurat? Bagaimana kondisinya sekarang?" Martin terlihat cukup panik dengan anak buah Prayoga yang berada di lokasi. Dia khawatir jika mereka tertangkap dan harus mendapatkan hukuman. "Aku akan segera berangkat ke lokasi." Secepat angin, ia masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobil yang sangat cepat.     

Martin berusaha untuk segera sampai di sebuah tempat di mana seharusnya transaksi dilakukan. Dia menerobos macetnya jalanan dan juga sangat padat untuk melalui jalan utama itu. Tak berapa lama, sampailah di pinggiran kota tempat di mana anak buah Prayoga berada. Martin sengaja menghentikan mobilnya di tempat yang agak jauh. Dengan sangat hati-hati, ia berusaha untuk menguasai lokasi itu. Terlihat beberapa anggota intelijen juga telah berada di sana.     

"Sial! Bagaimana Vincent bisa berada di sini?" kesal Martin begitu melihat sosok pria yang sangat dikenalinya. Mendadak, Martin menjadi sangat frustrasi. Dia tak bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan.     

Dengan sangat panik dan juga situasi yang sangat menegangkan, Martin menggambil ponselnya dan berusaha untuk menghubungi anak buah Prayoga. Namun belum juga panggilan itu diterima, terdengar dentuman keras suara tembakan yang bersahutan. "Brengsek! Kenapa tak ada yang mengangkat panggilannya?" geram Martin sambil menarik rambutnya sendiri.     

Suara tembakan yang bersahutan tanpa henti, membuat Martin panik dan langsung berlari ke arah mereka semua. Dia datang dengan mengendap-endap dan tentu saja dalam sebuah penyamaran yang sedang dilakukannya.     

Martin bersembunyi di balik pepohonan rimbun yang sangat dekat dengan lokasi itu. Begitu jelas dari sana saat anak buah Davin Mahendra menyebar dan mengepung lokasi itu. Martin juga melihat saat Vincent menodongkan senjatanya pada anak buah Prayoga tanpa menyadari ada seseorang yang mengarahkan senjata ke arahnya.     

Lagi-lagi dentuman keras terdengar begitu nyaring di telinga Martin. Dia berlari secepat mungkin saat melihat sebuah peluru melesat sangat cepat mengenai tubuh Vincent. "Hentikan transaksinya sekarang juga!" teriak Martin pada anak buah Prayoga dan juga beberapa orang yang akan bertransaksi dengan mereka.     

Kondisi semakin tidak kondusif, sebuah perintah dari Martin tak sampai di telinga mereka. Terjadilah aksi saling serang dan juga saling tembak antara mereka semua.     

Vincent langsung jatuh tersungkur dengan darah yang mengalir dari dadanya. Martin sadar jika segalanya semakin memburuk, Vincent tak mungkin lagi bisa menunggu regu penyelamat yang akan datang ke lokasi itu. Dengan segenap kekuatan, Martin mengendong Vincent dan membawanya berlari ke arah mobil. "Tetaplah sadar, Vincent! Aku akan menyelamatkanmu," ucap Martin dengan suara bergetar dan sangat ketakutan jika hal buruk menimpa sahabatnya itu.     

Rasa ketakutan yang begitu besar tiba-tiba saja menyerang Martin. Dia benar-benar ketakutan melihat sahabatnya sendiri berada antara hidup dan mati.     

Dengan kecepatan penuh, ia melarikan Vincent yang sudah berada di ambang kesadaran. Panik ... takut dan juga terasa tak berdaya. Martin mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Kevin! Persiapkan ruang operasi sekarang juga." Sebuah suara gemetar dan terputus-putus terdengar sangat jelas. "Vincent baru saja tertembak. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke klinikmu." Begitu panggilan berakhir, ia langsung menambahkan kecepatan mobilnya. Tak peduli dengan rambu-rambu di jalanan. Dia hanya berpikir untuk secepatnya berada di klinik milik Kevin.     

Begitu sampai di depan klinik, Kevin dan beberapa perawat langsung membawa Vincent masuk. Tanpa membuang waktu, Kevin membawa pasien ke ruang operasi. "Tetaplah tunggu di luar, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien," tegas Kevin pada seorang pria yang sejak tadi ingin menerobos masuk ke dalam ruang operasi.     

Mendadak kaki Vincent seolah lemas tak bertulang. Dia sangat takut jika Vincent tak dapat diselamatkan. Hatinya menciut seketika, ia tak dapat membayangkan bagaimana Imelda jika mengetahui hal itu.     

Tak berapa lama, terlihat Laura berlari masuk ke ruang operasi. Wanita itu sangat panik dengan wajah yang terlihat pucat. "Bagaimana keadaan, Vincent?" tanyanya pada Kevin yang masih memeriksa kondisi organ vital kakak dari Imelda itu.     

"Aku sedang memeriksa kondisinya, tekanan darahnya masih belum normal. Kita menstabilkan tekanan darahnya sebelum melakukan operasi." Kevin terlihat sibuk memeriksa segala sesuatunya sebelum operasi benar-benar dilakukan.     

"Apa kamu sudah menghubungi Dokter Imelda?" tanya Laura dengan kecemasan tingkat tinggi yang tak mampu dikendalikannya. Terlukanya Vincent cukup untuk membuat langit seolah hampir runtuh. Bagaimana tidak? Seorang pria yang disukainya sedang berada antara hidup dan mati.     

Melihat kondisi Vincent yang mulai stabil, Kevin langsung memulai operasi pada anak laki-laki dari Davin Mahendra itu. "Laura! Fokuslah, jangan sampai kemampuanmu sebagai dokter menghilang hanya karena melihat kondisi Vincent tidak baik-baik saja. Jika kamu benar-benar memiliki perasaan terhadapnya ... kamu harus menyelamatkannya, bagaimanapun caranya." Kevin sengaja memberikan ketegasan pada teman baiknya itu. Dia tahu jika Laura sudah jatuh cinta pada kakak dari Imelda itu.     

Perkataan Kevin itu menjadikan sebuah tamparan bagi Maura. Dia langsung mencoba bersikap setenang mungkin dan langsung fokus pada operasi yang dijalaninya bersama Kevin.     

Begitu operasi telah selesai, Kevin langsung keluar dari ruangan operasi untuk menemui Martin yang sejak tadi hanya duduk di lantai depan ruang operasi.     

"Bangunlah! Meskipun Vincent belum sadar, operasinya telah berhasil. Kita hanya bisa menunggunya hingga sadar," lontar Kevin pada pria yang terlihat tak berdaya dengan wajah sedihnya.     

Kedua pria itu langsung membulatkan matanya saat terdengar dering ponsel dari saku celana Martin.     

"Siapa yang menelepon?" Kedua pria itu mengatakannya secara bersamaan.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.