Bos Mafia Playboy

Motif Tersembunyi



Motif Tersembunyi

0Selesai berbicara pada Brian dan juga Imelda ... Martin memutuskan untuk menemui teman lamanya. Yang tak lain adalah Johnny Hartanto. Sepertinya bukan hal yang baik jika dirinya terus mengulur waktu untuk menyelesaikan permasalahan Brian dan juga Eliza. Dia menyakini jika tak segera diselesaikan akan berbuntut panjang dan pasti melebar kemana-mana.     

Dalam beberapa menit, Martin sudah berada di depan firma hukum milik Johnny Hartanto. Sebelumnya, ia sudah menghubungi pemilik firma itu untuk menemuinya. Tak berapa lama datanglah seorang wanita dengan pakaian formal untuk menyambut kedatangannya.     

"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa wanita itu dengan sangat ramah dan juga sopan.     

"Saya sudah ada janji dengan Johnny Hartanto, apa beliau ada di kantor?" jawab Martin cukup sopan.     

Wanita itu kembali mengembangkan senyuman di wajahnya, sebuah tatapan yang hangat dan memperlihatkan betapa ramahnya seorang wanita yang bekerja pada Johnny Hartanto. "Mari saya antarkan ke ruangan Pak Johnny Hartanto," balasnya sembari berjalan menuju ke sebuah lift yang tak jauh dari lobby kantor itu.     

Begitu masuk ke dalam lift, wanita itu langsung menekan tombol lantai 5. Dalam beberapa detik saja, pintu lift kembali terbuka. "Silahkan, Pak," ucap wanita itu dengan senyuman di wajahnya.     

Sampai di depan sebuah ruangan berdinding kaca tembus pandang, Martin tak langsung masuk ke dalam, ia memilih menunggu di luar ruangan sambil memperhatikan sekeliling.     

"Silahkan masuk, Pak Martin. Beliau sudah menunggu Anda di dalam." Wanita itu berdiri di depan pintu dan membukanya agar lebih lebar.     

Martin langsung masuk ke dalam ruangan itu dan terlihat sang pemilik firma sudah berdiri untuk menyambut kedatangannya.     

"Selamat datang, Martin. Duduklah, sudah sangat lama kita tidak bertemu. Aku sedikit terkejut saat kemarin malam kamu menghubungiku." Johnny Hartanto menunjukkan wajah sangat penasaran dengan kawan lamanya yang tiba-tiba saja menghubungi.     

Sebelum memberikan tanggapan, Martin justru bangkit dari tempat duduknya dan memperhatikan seisi ruangan itu. Dia melihat foto keluarga yang tergantung di sebuah dinding. "Apakah wanita itu adalah Eliza?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari sebuah foto besar itu.     

"Apakah kamu sangat tertarik dengan adikku? Aku pasti akan merasa senang jika kamu menjadi adik iparku. Hanya saja ... Eliza terlalu bodoh dan tidak bisa berpikir dengan benar," ungkap Johnny Hartanto sembari bangkit dari kursi lalu ikut berdiri di samping Martin.     

Tentu saja Martin cukup mengerti arti dari ucapan pria di sebelahnya. Kebodohan Eliza tentu saja menyangkut tentang Brian Prayoga. Namun Martin memilih untuk berpura-pura tak mengetahui hal itu. "Bagaimana kamu bisa menyebutkan bodoh?" Dengan sengaja ia ingin memancing kakak laki-laki dari Eliza Hartanto itu.     

"Sepertinya yang aku katakan semalam padamu ... Eliza, adikku yang bodoh itu. Terus saja mengejar pria yang jelas-jelas hanya bisa bersenang-senang dengan banyak wanita. Aku bahkan sudah menunjukkan kebusukan pria itu di depan matanya." Johnny Hartanto langsung terdiam untuk mengatur emosi di dalam dirinya. Dia cukup tersulut amarah dengan perkataannya sendiri. "Eliza sepertinya sudah cinta mati kepada pria brengsek itu," tambahnya lagi diikuti suara helaan nafas panjang dan cukup dalam.     

Ingin rasanya Martin tertawa, ia hanya bisa menahannya agar Johnny Hartanto tidak berburuk sangka kepadanya. Dia tak menyangka jika akan ada seorang wanita yang begitu tergila-gila pada anak dari bos-nya itu. "Apa kamu mengenal pria itu?" lontar Martin pada pria yang masih berdiri di sebelahnya.     

"Pria brengsek itu adalah Brian Prayoga, anak dari Adi Prayoga. Seorang mafia yang cukup dikenal sangat rapi dalam pekerjaannya. Yang kudengar, tangan kanan Adi Prayoga adalah sosok yang paling berpengaruh dalam semua bisnisnya." Perkataan Johnny Hartanto membuat Martin ingin tertawa terbahak-bahak menertawakan temannya sendiri.     

Penyamaran Martin selama ini benar-benar sempurna. Hampir tak ada yang mengetahui jika dirinyalah orang kepercayaan Adi Prayoga. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu sosok Martin sebenarnya. Bahkan, Davin Mahendra juga tak pernah melihat secara pasti orang kepercayaan sang bos mafia itu.     

Sebuah senyuman kecut namun penuh arti dilontarkan Martin pada Johnny yang sudah duduk di kursi yang berada di ruangan itu. "Sepertinya tangan kanan Adi Prayoga adalah sosok yang hebat." Entah dia sedang membanggakan dirinya ataukah justru sedang mencibir dirinya sendiri. Dia tak menyangka jika orang-orang berpikir jika dirinya adalah sosok hebat yang berada di belakang Adi Prayoga. Padahal bagi Martin ... Adi Prayoga adalah sosok yang paling dihormatinya.     

"Sudahlah! Mengapa kita tiba-tiba membicarakan orang lain? Aku sangat penasaran, mengapa kamu tiba-tiba sangat tertarik dengan adikku, Eliza Hartanto?" Tak mampu menahan rasa penasaran di dalam hatinya, Johnny Hartanto pun menanyakan hal itu pada Martin. Dia paling tidak suka jika harus memikul rasa penasaran yang membuatnya tak bisa berpikir jernih.     

Seolah tanpa beban sedikit pun, Martin menatap Johnny Hartanto dengan senyuman hangat yang merekah di wajahnya. "Aku baru saja melihat sebuah artikel tentang Eliza Hartanto. Tiba-tiba saja aku merasa sangat tertarik dengan adikmu itu." Martin mencoba menutupi maksud dan tujuannya mendekati seorang jaksa yang cukup populer.     

Terdengar suara kekehan geli dari Johnny Hartanto. Dia merasa sedikit aneh saat temannya itu mengatakan sedang tertarik dengan adiknya. "Apakah kamu sedang membodohi aku? Tak pernah sekalipun aku melihatmu tertarik dengan seorang wanita. Apa yang kamu inginkan kali ini? Ayolah ... katakan padaku, jangan menganggap aku orang lain." Johnny mencoba untuk membujuk Martin untuk mengatakan hal yang mungkin saja sedang disembunyikan.     

"Aku sangat tertarik pada adikmu! Apa itu kurang jelas?" Martin sengaja meninggikan nada suaranya, seolah dia benar-benar kesal pada pria yang sejak tadi terus menatapnya itu.     

"Baiklah. Aku akan membicarakan hal ini pada Eliza," sahut Johnny Hartanto sembari mengambil ponsel di atas meja kerjanya. Dia pun langsung melakukan panggilan via telepon dengan adiknya itu.     

"Eliza, apa kamu sedang sibuk?" tanya Johnny Hartanto sambil mendekatkan ponsel di dekat telinganya. "Jam berapa sidangnya akan selesai?" tanyanya lagi.     

"Besok pagi datanglah ke kantor, aku ingin berbicara padamu," ujar Johnny Hartanto pada adiknya sebelum kembali meletakkan ponsel itu di atas meja. Pria itu lalu duduk lagi di kursi yang tadi didudukinya.     

Pria itu masih saja penasaran dengan kedatangan Martin di kantornya. Dia sangat meragukan keinginan Martin untuk mendekati adiknya. "Jujur saja, Martin. Aku masih sedikit meragukan keinginanmu itu. Sangat tak mungkin jika kamu jatuh cinta pada adikku. Apakah ada motif tersembunyi di dalamnya?" tuduh Johnny Hartanto pada teman lamanya itu.     

"Jika kamu tak percaya, lebih baik aku pergi saja," kesal Martin dengan cukup jelas.     

"Apakah kamu masih menjadi broker?" Johnny sengaja memastikan hal itu pada Martin. Seingatnya dulu, Martin pernah berkata jika dirinya adalah seorang broker di pasar modal.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.