Bos Mafia Playboy

Kasih Sayang Yang Berlebihan



Kasih Sayang Yang Berlebihan

0Seketika itu juga Vincent merasakan sakit kepala yang luar biasa. Rumitnya kehidupan yang harus dijalani oleh adik semata wayangnya, seolah menjadi untuk dirinya sendiri. Betapa kerasnya ia berusaha untuk menjaga dan memastikan kebahagiaan Imelda seolah percuma dan justru sia-sia. Padahal tak pernah kurang, apa yang dilakukannya untuk adiknya itu.     
0

"Lalu ... apa yang tadi dikatakan oleh Om Adi padamu?" tanya Vincent dalam kegalauan dan juga keresahan yang semakin menguasai hati dan juga kepalanya.     

"Bos memintaku untuk menyelesaikan kekacauan itu. Untung saja, aku kenal kakak laki-laki Eliza. Itu sangat membantuku untuk mendapatkan informasi tentang hubungan mereka." Martin mencoba menceritakan semua yang sudah diketahuinya.     

Dengan langkah perlahan, Vincent berhasil duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kakinya seolah menjadi tanpa daya, terasa sulit untuk berdiri. "Di mana kamu mengenalnya?" Sebuah rasa penasaran memaksa Vincent untuk menanyakan hal itu pada sahabatnya. Pikirannya mendadak kosong, tak berarah dan juga tak bertuan.     

"Johnny Hartanto adalah senior kita di pasukan khusus. Sayangnya, kamu tak sempat bertatap muka dengannya. Dia mengundurkan diri sebelum kamu bergabung dengan pasukan khusus," jelas Martin sambil mengingat kejadian beberapa tahun silam. Masih jelas di benaknya saat seniornya itu memutuskan untuk mundur tim satuan pasukan khusus. Keputusannya itu sangat mendadak dan tanpa persiapan apapun. "Sekarang dia membuka sebuah firma hukum yang cukup ternama di ibukota," lanjutnya lagi.     

Vincent merasa ada yang tidak biasa dari kisah itu. Mencoba memahami setiap cerita yang diungkapkan oleh Vincent terhadapnya. Namun tetap saja, ia tak pernah berhasil mengerti hal itu.     

"Bukankah itu sedikit aneh? Seorang mantan pasukan khusus menjadi seorang pengacara," gumam Vincent pelan namun terdengar oleh pria di depannya.     

"Bukankah kamu juga tahu, Johnny Hartanto adalah anak dari Rizal Hartanto ... seorang hakim senior yang cukup terkenal," jelas Martin sambil menatap Vincent yang menunjukkan wajah terkejut.     

Vincent semakin terlihat frustrasi, ia tak menyangka jika semuanya terasa semakin memburuk. "Hancur sudah hidup Brian. Mempermainkan seorang jaksa, anak dari seorang hakim yang terkenal. Sedangkan kakaknya seorang pengacara ternama ... " Terdengar suara dengusan yang begitu jelas dari Vincent. Seolah pria itu sudah kehilangan harapannya.     

"Kamu seperti seorang pria yang kehilangan harapan saja," cibir Martin pada sahabatnya. Baru pertama kalinya ia melihat Vincent seolah akan kehilangan semua harapan di dalam hidupnya. Hal itu membuatnya ikut prihatin.     

Tiba-tiba saja, Vincent menatap wajah Martin sangat dalam. "Kamu tahu sendiri ... kebahagiaan di dalam hidupku hanya satu. Jika kebahagiaan hancur ... aku pun juga ikut hancur bersamanya," sahut Vincent tanpa semangat sedikit pun.     

"Bukankah kasih sayangmu terhadap Imelda itu terlalu berlebihan? Kamu juga harus mengejar kebahagiaanmu sendiri," tukas Martin dengan beberapa penekanan pada kata yang diucapkannya.     

"Gila kamu, Martin!" balas Vincent. "Coba berkaca, untuk apa kamu selalu menolak wanita-wanita itu? Apakah kamu sudah menjadi penyuka sesama jenis?" sindirnya telak.     

Pria itu menghela nafasnya cukup dalam lalu duduk di samping Vincent. Tanpa langsung bicara, Martin membiarkan keheningan tercipta di antara mereka berdua. Dia merasa nasib Vincent dan dirinya tak jauh berbeda. "Dulu ... aku berharap bisa menjadi adik iparmu. Namun takdir sangat terlambat mempertemukan kembali aku dan juga Imelda. Seandainya kamu tak pergi saat itu ... mungkin saja aku sudah menikahi adikmu itu." Terdengar nada penyesalan di dalam setiap kata yang diucapkan Martin kepada sahabat dekatnya itu.     

"Kamu menyalahkan aku? Lalu ... siapa yang bisa ku salahkan?" Vincent pun juga tak kalah menderita selama hidupnya. Sejak kepergian Irene Mahendra, kebahagiaan seolah telah menghilang. Rasa penyesalan yang mendalam telah membuatnya tenggelam dalam rasa bersalah kepada Imelda.     

Terlukis sebuah pemandangan yang cukup memilukan. Dua orang pria yang menjalin hubungan persahabatan, memiliki takdir yang hampir sama. Mereka berdua terikat dengan satu wanita ... dia adalah Imelda Mahendra. Seorang wanita yang menjadi menantu dari keluarga Adi Prayoga.     

"Apa yang bisa kamu lakukan untuk menyelamatkan Imelda kali ini?" tanya Martin pada sosok pria yang sedang duduk di sebelahnya.     

"Hanya menjauhkan wanita itu yang bisa membuat Imelda tetap aman. Haruskah aku mengorbankan diriku saat ini?" Sebuah pertanyaan yang menyiratkan sebuah kepasrahan dan hilangnya harapan atas dirinya. Vincent pun tak tahu lagi harus melakukan apalagi untuk menyelamatkan hubungan Imelda dan Brian. Karena lawannya kali ini cukup tangguh dan ia tak yakin untuk bisa menjangkaunya. "Sepertinya hanya dirimu yang bisa melakukannya, Martin," lirihnya sambil menatap langit biru di atasnya.     

Martin tiba-tiba saja terkekeh geli mendengar ucapan sahabatnya itu. "Kamu ingin menjadikan aku tumbal?" protesnya pada Vincent.     

"Bagaimana jika Eliza tiba-tiba datang kesini?" Vincent menjadi parno dan juga berlebihan memikirkan yang tidak-tidak.     

"Tidak ada seorang pun yang bisa menemukan tempat ini selain kita," tegas Martin sangat menyakinkan. "Kalau pun ada yang melihat tempat ini, tak mudah bagi mereka untuk melewati pengamanan ketat di tempat ini," lanjutnya lagi sambil memandang pria di sebelahnya.     

Vincent langsung memperlihatkan senyuman sinis di wajahnya. Dia terlalu meremehkan ucapan Martin tentang tempat itu. "Nyatanya aku begitu mudahnya menemukan dan juga masuk ke lokasi ini, tanpa kesulitan sedikit pun," remeh sosok pria yang menjadi kakak ipar bagi Brian itu.     

Dengan cepat, Martin mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan beberapa gambar wajah yang sangat dikenalinya. "Lihat dan perhatikan dengan baik, hanya orang-orang ini yang diijinkan masuk ke rumah ini. Yang lain akan dianggap sebagai penyusup ataupun mata-mata. Sebuah bodyguard, penjaga dan juga anak buah Adi Prayoga memiliki gambar wajah ini. Bahkan seluruh pelayan juga memilikinya," jelasnya dengan panjang lebar.     

Vincent akhirnya mengerti alasan dirinya begitu mudah melewati penjagaan ketat di gerbang tinggi yang dijaga sangat ketat itu. Dia tak menyangka bisa mendapatkan penghargaan untuk bisa keluar masuk dengan bebas. Tanpa sadar, ia pun senyum-senyum sendiri. Memikirkan betapa baiknya Adi Prayoga terhadap dirinya. Namun hal itu tak mungkin bisa menghapuskan sebuah kenangan pahit tentang ibunya dan juga Adi Prayoga.     

"Aku masih belum bisa melupakan hari di mana aku melihat Mama dan Adi Prayoga keluar dari sebuah hotel. Hal itu membuatku tak bisa menghapuskan kebencianku pada keluarga Prayoga," cerita Vincent pada pria yang sejak tadi hanya terdiam sembari mendengarkan semua cerita pilu di dalam hidupnya.     

Martin seolah langsung kehilangan kata-katanya. Dia tak tahu, bagaimana harus menghibur sahabatnya itu? Martin mencoba menjadi pendengar yang baik tanpa mengalihkan pandangan dari Vincent. "Seharusnya kamu juga membenciku seperti kamu membenci seorang Adi Prayoga," sahutnya.     

"Apa maksudmu, Martin?" Vincent sama sekali tak mengerti dengan ucapan pria di sampingnya itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.