Bos Mafia Playboy

Sebuah Kompensasi



Sebuah Kompensasi

0Sekuat tenaga dan juga dengan segenap jiwanya, Brian berusaha untuk tetap tenang di hadapan ayahnya sendiri, Adi Prayoga. Meskipun pria itu sangat menyayangi anaknya, Brian yakin jika ayahnya itu tak segan-segan untuk menghukumnya jika dirasa telah bersalah.     

"Mohon ampuni Brian kali ini, Pa. Semua adalah sebuah kesalahan di masa lalu. Bisa juga disebut sebagai kenakalan remaja saja." Brian bermaksud menjelaskan tentang posisinya. Bukan menjadi semakin jelas, Brian justru menciptakan tanda tanya besar di antara ayah dan anak itu.     

"Apa kamu sedang bermain teka-teki dengan Papa?" kesal Adi Prayoga sambil memelototi wajah anaknya. Dia semakin tak mengerti arah pembicaraan Brian. Perkataannya terlalu berputar-putar dan sulit dimengerti. "Jika kamu tak mau mengatakannya, aku akan mencari tahu dengan caraku sendiri," tegasnya cukup menyakinkan.     

Pria itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang baca. Adi Prayoga terlalu muak melihat anak laki-lakinya yang tidak berpendirian. Melangkahkan kakinya beberapa baru sebentar, ia melihat Imelda yang sedang memeluk seorang pria yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Terlukis sangat jelas kasih sayang Vincent kepada adiknya. Setiap sorot mata pria itu menyiratkan kasih sayang tulus yang tak terbatas.     

"Beristirahatlah di kamar. Di sini terlalu dingin," ujar Adi Prayoga pada pasangan adik kakak itu.     

Sedikit terkejut mendengar suara sang tuan rumah, Vincent langsung menolehkan wajahnya ke arah suara. Dia melihat Adi Prayoga sedang memperhatikan mereka berdua. "Terima kasih, Om. Sudah mengijinkan aku menemani Imelda malam ini," balasnya dengan tulus.     

"Kalau kamu mau, kamu juga boleh tinggal di sini sampai kapanpun," tukas Adi Prayoga dengan wajah serius.     

Vincent justru tersenyum sinis pada mertua dari adiknya. Menurutnya, perkataan Adi Prayoga terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Dia berpikir, sebuah penawaran yang sangat menarik itu justru terlalu berbahaya baginya.     

"Sepertinya Om Adi terlalu berlebihan. Tak masalah jika Imelda tinggal di rumah ini, toh dia adalah menantu keluarga Prayoga. Sedangkan aku .... " Vincent sengaja menggantung perkataannya, ia yakin jika pria yang berdiri tak jauh darinya itu mengetahui ucapannya.     

Hanya sebuah senyuman hangat yang penuh arti yang bisa terukir di wajah Adi Prayoga. Sebaik apapun dia kepada Vincent, kakak dari Imelda itu tak akan mengerti dengan maksud kebaikannya. Dengan sengaja, Adi Prayoga berdiri sambil terus memandangi mereka berdua. Rasanya tak pernah bosan melihat anak-anak dari Irene Mahendra.     

"Sejujurnya ... aku sudah menganggap kamu seperti anakku sendiri, Vincent. Namun aku cukup yakin jika kamu tak mungkin menerima hal itu. Kamu pasti justru memikirkan yang tidak-tidak tentang diriku," ungkap sang bos mafia pada anak laki-laki dari seorang wanita yang dicintainya.     

"Mungkinkah itu hanya wujud sebuah kompensasi yang ingin Om berikan padaku?" Sebuah pertanyaan dari Vincent sekaligus menjadi btuduhan yang cukup menyakitkan bagi Adi Prayoga.     

Imelda yang masih tersadar, merasa risih mendengar perbincangan dua pria yang saling menyerang itu. Wanita itu menatap mereka satu persatu, ia melihat jika Adi Prayoga terlihat cukup tulus dan juga tidak main-main. "Hentikan, Kak!" sela Imelda.     

"Aku yakin jika Papa Adi sangat tulus melakukan semua ini. Kak Vincent tak perlu melemparkan tuduhan yang tidak masuk akan kepada Papa," protes Imelda pada pria yang sejak tadi memeluknya penuh kasih sayang.     

Vincent mencoba menekan kekesalan di dalam dirinya. Dia tak mungkin melupakan amarah itu kepada adiknya sendiri. "Jangan ikut campur, Imelda. Ini adalah urusan antara dua pria saja," tegasnya dengan suara lembut yang menenangkan, meskipun ada beberapa tekanan dalam setiap kata yang diucapkannya.     

"Bukan dua pria, melainkan tiga pria," sahut Brian yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari mereka.     

"Tidak ada hubungannya denganmu!" ketus Vincent pada adik iparnya yang baru saja keluar dari ruang baca.     

Dengan wajah kesal, Imelda bangkit dari sisi Vincent. Kemudian berjalan ke arah Adi Prayoga yang berdiri di dekat Brian. "Papa ... temani Imelda makan yuk. Biarkan mereka menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan," ajaknya sambil memegang lengan sang ayah mertua.     

Bagi Imelda, Adi Prayoga adalah sosok ayah yang sebenarnya. Dia merasa kasih sayang ayahnya sendiri tak sebesar yang diberikan ayah mertuanya. Imelda merasa beruntung bisa mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang dari pria yang sedang berjalan bersamanya ke meja makan.     

"Papa akan mengambilkan beberapa makanan untukmu," ucap Adi Prayoga saat mereka berdua sudah duduk di depan meja makan.     

"Seharusnya aku yang melakukannya untuk Papa." Imelda berusaha untuk menolak perhatian Adi Prayoga terhadapnya. Namun pria itu tetap saja memperlakukan menantunya dengan sangat istimewa.     

Tak memberikan respon apapun kepada Imelda, bukan berarti Adi Prayoga tak peduli dengan perkataannya. Dia hanya ingin wanita di sampingnya itu bisa duduk tenang menikmati makanannya. "Selamat makan, Sayang." Sebuah perkataan sederhana yang mampu membuat Imelda tersenyum bahagia.     

"Terima kasih, Papa," balas Imelda diiringi senyuman cerah yang mampu menghapus kesedihannya.     

Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Imelda sedikit kecewa dengan Adi Prayoga. Terlepas skandal hubungan terlarang itu benar atau tidak, sebenarnya ia tak terlalu peduli dengan hal itu. Toh ... ibunya juga sudah tiada. Imelda hanya kecewa karena Adi Prayoga tak jujur kepadanya. Namun segala kebaikan dan juga kasih sayang sang bos mafia, mampu menutupi kekecewaan di dalam hatinya. Imelda tak mau semakin terperosok ke dalam masa lalu yang kelam. Dia hanya ingin hidup tenang dengan lebih baik.     

"Sayang ... apakah kamu tak tahu jika aku juga sangat lapar?" Brian tiba-tiba datang merengek sembari duduk di sebelahnya istrinya.     

"Kamu pikir, Imelda pelayanmu!" kesal Vincent. "Bukankah tangan dan kakimu masih komplit?" cibirnya dengan sebuah lirikan tajam yang mampu menembus dadanya.     

Dengan malas, Brian pun mengambil makanannya sendiri lalu kembali duduk di samping Imelda. Beberapa kali, ia memandang wajah cantik sang istri. Rasanya begitu berdosa telah menyakiti wanita yang dicintainya itu.     

"Sayang .... Maafkan, aku." Brian mendekatkan wajahnya di telinga Imelda, setengah berbisik berucap kepadanya. "Hanya kamu yang aku cintai, Sayang," lirihnya.     

"Bisakah kamu membiarkan aku makan dengan tenang, Brian?" keluh Imelda karena merasa tak nyaman dengan tingkah suaminya sendiri. Bukan karena Imelda membencinya, ia hanya terlalu lapar dan tak ingin membuang waktunya.     

Adi Prayoga hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kebodohan Brian yang tak ada habisnya. Mendadak sakit kepala setiap kali harus memikirkan kegilaan anaknya yang tak pernah berhenti. "Cepatlah panggil Kevin untuk makan malam. Sepertinya dia belum makan malam," perintahnya pada anak semata wayang.     

"Bukankah ada pelayan? Mengapa harus aku?" protes Brian pada ayahnya.     

Tak ingin menjadi panjang, Imelda bangkit dari tempat duduknya. Dia bermaksud untuk memanggil sahabat dari suaminya itu. "Biar aku yang membangunkan Dokter Kevin," cetusnya sangat menyakinkan.     

"Berhenti!" Brian langsung berteriak untuk menghentikan istrinya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.