Bos Mafia Playboy

Istrinya Pembunuh Berdarah Dingin



Istrinya Pembunuh Berdarah Dingin

0Brian hanya berdiri tanpa mengatakan apapun. Dia bisa merasakan kecemburuan Imelda akan seorang wanita yang baru saja mendatangi dirinya dan Martin. Ingin rasanya Brian bisa memberikan pembelaan pada istrinya itu.     
0

"Nona Imelda bisa masuk ke dalam, sebentar lagi sesi kedua akan dimulai." Brian sengaja memberikan isyarat pada istrinya agar tidak terprovokasi dengan kelakuan wanita itu.     

Imelda tersenyum sinis mendengar penuturan Brian kepadanya. "Berhati-hatilah pada wanita ini. Meskipun dia berseragam dokter, kelakuannya jauh berbeda," sahutnya dengan wajah jijik berada di dekat Rossa.     

"Sialan kamu, Imelda!" Rosa bermaksud untuk melakukan sebuah pukulan ke arah Imelda. Namun Brian sudah lebih dulu menghalangi wanita itu.     

"Sebaiknya Anda masuk saja, biar aku dan Martin yang berbicara dengan Dokter Rossa," ucap Brian pada wanita cantik yang berstatus sebagai istrinya itu.     

Dengan wajah gelisah dan sangat tidak senang, Imelda kembali masuk ke dalam ruangan yang tadi dipakai untuk seminar. Meskipun tidak rela, dia harus kembali masuk dan melanjutkan sesi acara dalam seminar itu.     

Begitu Imelda sudah kembali ke dalam, Brian langsung berjalan mendekati Martin yang sejak tadi hanya menjadi seorang pendengar saja. "Martin ... tolong jelaskan pada Dokter Rossa tentang kontrak kerja sama kita dengan Dokter Imelda," pinta Brian pada sosok pria yang berdiri dengan wajah dingin namun masih saja sangat tampan.     

Martin langsung memicingkan matanya sebentar lalu menghela nafas dengan wajah kesal. Dia pun melirik tajam sosok pria yang berdiri di sebelahnya saja. Martin berpikir jika Brian sengaja menjebak dirinya dengan seorang wanita yang berpakaian sexy dan terus menggoda mereka berdua.     

"Apakah Dokter Rossa begitu tertarik pada rekan saya ini?" tanya Martin dengan tatapan penuh arti.     

Wanita itu terlihat malu-malu, saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Martin kepadanya. Melemparkan senyuman seindah mungkin dengan lirikan menggoda yang cukup menarik. "Benar. Saya benar-benar menyukai pria di sebelah Anda itu," jawabnya dengan cukup ramah.     

"Sayangnya Anda sangat terlambat, Dokter Rossa. Pria ini sudah menikah, apakah Anda tidak tertarik dengan pria seperti saya?" Martin sengaja menggoda seorang dokter yang lebih terlihat seperti seorang wanita penggoda itu.     

Rossa justru tertawa kecil memperlihatkan wajah cantiknya. Melemparkan sebuah tatapan tajam yang penuh arti pada Brian. "Anda memang tidak kalah tampan dari rekan Anda ini. Sayangnya, hatiku sudah terjerat padanya," sahutnya dengan suara lembut yang mendayu penuh arti.     

"Aku rela hanya menjadi simpanan mu, Bodyguard tampan," lanjut Rossa sambil berjalan mendekati sosok pria yang terlalu menggoda baginya. Wanita itu berusaha untuk menyentuh tubuh Brian dengan wajah yang sudah bergairah.     

Brian merasa sangat risih dari dokter itu, dan memundurkan tubuhnya beberapa langkah. "Aku mau ke toilet dulu, Martin," pamit Brian lalu setengah berlari menjauhi wanita agresif yang seolah ingin menerkamnya itu.     

Rossa tersenyum licik melihat Brian sengaja menghindarinya. Dia pun menatap Martin yang masih berdiri di sana. "Siapakah nama temanmu itu? Bolehkah aku meminta nomornya?" tanya dokter wanita itu pada pria di dekatnya.     

"Maaf. Saya tak berani memberikan nomor ponselnya. Istri teman saya itu sangat kejam, aku takut jika istrinya mendatangiku lalu membunuhku," ungkap Martin sambil terkekeh di dalam hatinya.     

"Apakah ada wanita yang sekejam itu? Kalau pun ada, pasti wanita itu pembunuhan bayaran," sahut Rossa dengan tatapan yang sangat tidak percaya. Dia benar-benar tak yakin jika pria yang baru saja pergi itu sudah menikah.     

Sebuah senyuman kecut dilemparkan Martin pada wanita di depannya. Dia bisa wajah bingung dari dokter itu. "Aku tidak yakin ... sudah berapa nyawa yang sudah hilang di tangan istrinya itu," ujar Martin sambil menahan tawanya.     

Seketika itu juga, Rossa terlihat ketakutan. Dia merasa sangat ngeri membayangkan seorang wanita yang bisa menghilangkan nyawa. "Mungkinkah wanita itu adalah pembunuh berdarah dingin?" tanyanya dengan wajah yang memucat karena membayangkan betapa mengerikannya istri dari sang bodyguard.     

"Itu panggilan yang paling pas untuknya. Berhati-hatilah! Bisa saja istrinya itu mengirimkan seorang mata-mata untuk mengawasi suaminya sendiri." Martin sengaja berucap lirih, seolah benar-benar ada mata-mata di sekitar sana. Dia hanya berpikir agar wanita itu segera menjauh dari dirinya dan Brian.     

Wajah Rossa semakin memucat dengan tatapan mata yang ketakutan. "Kalau begitu aku permisi, daripada harus mati konyol karena mendekati bodyguard tadi." Dengan langkah cepat dan setengah berlari, wanita itu pergi dari hadapan Martin.     

Rasanya sangat lega dan lebih tenang setelah kepergian dokter wanita tadi. Martin langsung duduk di sebuah kursi yang berada tak jauh dari sana. Dia tetep harus memastikan keselamatan dari menantu keluarga Prayoga itu.     

Tak berapa lama, Brian pun datang dengan wajah senyum-senyum. Pria itu langsung menghampiri Martin yang duduk tak jauh darinya. "Ternyata kamu sangat hebat, Martin. Wanita model begitu saja bisa kamu usir," puji Brian sambil terkekeh meledek orang kepercayaan ayahnya itu.     

"Bukankah menaklukkan wanita adalah keahlianmu? Bagaimana kamu bisa ketakutan seperti itu?" sindir Martin pada sosok pria yang tiba-tiba kehilangan senyuman di wajahnya. Dia sengaja melemparkan ucapan itu pada suami dari adik sahabatnya.     

"Jangan mulai lagi, Martin! Sepertinya kamu begitu tidak suka padaku. Apakah kamu cemburu aku mendapatkan Imelda?" tanya Brian dengan wajah serius. Dia mencoba mencari tahu perasaan Martin terhadap istrinya. Brian pernah mendengar jika pria itu pernah jatuh cinta pada Imelda ketika masih SMA.     

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Martin lebih memilih untuk terdiam sejenak. Dia sangat tahu arah pembicaraan Brian kepadanya. Martin tak ingin terpancing dan akhirnya mengungkapkan segala perasaan dan juga rasa cintanya pada Imelda.     

"Kalau aku cemburu, kamu mau apa?" seru Martin dengan wajah kesal. "Apa kamu mau melepaskan Imelda untukku?" Sebuah pertanyaan yang membuat Brian langsung kehilangan kata-katanya. Martin langsung bangkit dari tempat duduknya dan menatap Brian sedikit kesal. "Aku mau ke toilet dulu," pamitnya lalu berjalan menjauhi tempat itu.     

Pertanyaan dari Martin tadi terus terngiang-ngiang di telinga Brian. Dia merasa jika pria itu benar-benar mencintai istrinya. Akhirnya Brian tahu, alasan Martin selalu menolak setiap wanita yang mendekatinya. Itu semua karena istrinya sendiri, Imelda Mahendra. Ada perasaan kasihan dan juga cemas pada pria yang menjadi orang kepercayaan keluarga Prayoga itu.     

Hingga cukup lama, Brian tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Dia tak sadar saat Imelda sudah berdiri di dekatnya. Wanita itu tak langsung menyapa suaminya. Imelda sengaja ingin menatap suaminya lebih lama.     

"Brian!" panggil Imelda pada suaminya. Sayangnya, Brian sama sekali tak mendengar suara istrinya. "Apa yang sedang kamu pikirkan hingga tak mendengar panggilanku?" tanyanya sambil menepuk pundak sang bos mafia.     

"Sayang!" Brian terlihat gelagapan karena sangat terkejut dengan tepukan sang istri.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.