Bos Mafia Playboy

Cinta Yang Gila



Cinta Yang Gila

0Martin merasa sangat terkejut saat Adi Prayoga akan menaikkan gajinya. Padahal apa yang telah diberikan oleh pria sudah melebihi apa yang seharusnya diterimanya. "Tidak, Bos. Semua lebih dari cukup. Anda tak perlu menaikan gaji saya," ucap Martin dengan wajah sungkan.     

"Aku hanya berniat menggoda Imelda saja," lanjut Martin sambil melirik wanita yang berdiri di sebelah anak dari bos-nya.     

"Anggap saja itu bonus!" tegas Adi Prayoga dengan wajah serius.     

Martin tak lagi berani menyanggah ucapan bos-nya itu, dia tak ingin membangkitkan amarah seorang Adi Prayoga. Sebisa mungkin Martin akan menerima apapun yang akan diberikan oleh sang bos mafia.     

Sejak tadi, Brian hanya bisa mendengarkan obrolan mereka saja. Dia tak ingin mengganggu pembicaraan antara bos dan anak buah itu. "Papa tidak berniat memberikan bonus juga padaku?" tanyanya penuh harap.     

Sontak saja, Imelda langsung menatap tajam suaminya. Dia tak menyangka jika Brian akan meminta bayaran pada ayahnya sendiri. "Apa kamu meminta bayaran pada ayahmu sendiri, Brian?" tanya Imelda tanpa mengalihkan pandangannya.     

"Bukan begitu, Sayang. Kalau Papa memberikan bonus pada Martin, seharusnya aku juga mendapatkannya. Selama ini aku juga sudah banyak membantu bisnis Papa," terang Brian pada wanita cantik di sebelahnya.     

Adi Prayoga langsung mengerutkan keningnya, menatap sinis pada anak semata wayangnya. "Dasar anak kurang ajar! Sama orang tua sendiri saja masih itung-itungan," kesalnya dengan nada suara yang sedikit meninggi. "Kamu pikir ... selama ini, siapa yang sudah menghabiskan semua uang Papa?" Adi Prayoga sengaja memberikan jeda dalam ucapannya.     

"Hanya kamu, Brian. Yang telah membuat papamu ini hampir bangkrut," tambah Adi Prayoga sambil memandang sosok pria di samping wanita cantik yang sangat disayanginya.     

Jelas saja, Brian merasa tidak terima dengan perkataan ayahnya. Dia pun menghampiri Adi Prayoga dengan tatapan kesal. "Kapan aku menghabiskan uang Papa itu?" tanyanya dengan bibir cemberut.     

"Martin! Jelaskan padanya anak bodoh itu, berapa tagihannya sekali mendatangi night club?" sahut Adi Prayoga dengan wajah dingin disertai senyum seringai pada anaknya sendiri.     

Saat itu juga, Martin seolah langsung gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia sangat tahu jika Brian tak pernah tahu, berapa banyak uang yang harus dibayarnya hanya untuk bersenang-senang dengan para wanita. Dia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan dari bos-nya. Namun perintah Adi Prayoga adalah harga mati baginya. "Bisa puluhan juta bahkan ratusan juta juga," jawabnya.     

Brian langsung syok dengan nominal yang baru saja disebutkan oleh Martin. Dia tak menyangka jika akan menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk bersenang-senang saja. "Bagaimana bisa sebanyak itu? Bukankah kami hanya meminum beberapa botol saja?" Pria itu masih saja menyanggah ucapan dari Martin.     

"Yang kalian minum memang tidak seberapa. Namun wanita-wanita yang menemanimu itu bertarif puluhan juta," ungkap Martin sambil melirik wanita di sebelah Brian. Dia khawatir jika Imelda akan sakit hati mendengar hal itu.     

"Kenapa kamu melirikku, Martin?" tanya Imelda dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. "Aku sudah melihat sendiri ... wanita-wanita yang sering bersama Brian di night club," tambahnya tanpa ekspresi apapun.     

Tanpa membuang waktu, Brian langsung menghampiri istrinya dan mencoba untuk merayu wanita cantik itu. "Ayolah, Sayang. Aku tak pernah melakukannya lagi setelah bersama denganmu. Semua itu hanyalah masa lalu saja," jelas Brian mengelus bahu istrinya dengan sangat lembut.     

"Aku belum mengatakan apapun padamu, Brian," sahut Imelda dengan tatapan dingin tanpa senyuman sedikit pun. Tak bisa dipungkiri, ia selalu merasakan sebuah perasaan aneh setiap kali membahas masa lalu Brian. Bukan tanpa alasan, Imelda pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri ... saat Brian sedang bercumbu dengan seorang wanita di night club. Tentu saja hal itu terjadi sebelum mereka berdua menjalin hubungan.     

Dengan rasa bersalah, Brian memberikan pelukan ringan pada istrinya. Dia merasa tak enak hati pada ibu dari anak di dalam kandungannya itu. "Tetap saja, Sayang. Kamu terlihat sangat cemburu dan mungkin saja sedang marah padaku," katanya sambil mendaratkan belaian di kepala Imelda.     

Martin pun merasa tak enak hati karena harus melihat pemandangan itu. Dengan sedikit ragu, ia melangkahkan kakinya menuju pintu untuk keluar. "Lebih baik aku pergi dari sini, saya permisi bos," pamitnya pada Adi Prayoga.     

Melihat kepergian orang kepercayaannya, Adi Prayoga pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya juga. "Sayang," panggilnya pada sang menantu. "Jika Brian melakukan apapun yang merugikan mu, segera hubungi Papa," ucapnya sebelum melangkahkan kaki menyusul Martin yang lebih dulu keluar.     

"Papa jangan khawatir, aku pasti baik-baik saja," sahut Imelda dengan suara lembut. Dia bisa merasakan kekhawatiran ayah mertuanya itu. Imelda sangat yakin jika Adi Prayoga sangat menyayangi dirinya melebihi kasih sayang seorang Davin Mahendra     

"Sayang! Apa kamu marah padaku?" tanya Brian sambil mengejar wanita yang sudah berjalan menuju kamarnya. Dia bisa melihat ekspresi wajah Imelda yang begitu kesal dan juga tak acuh padanya.     

Imelda sama sekali tak menghiraukan suaminya, ia memilih langsung masuk ke dalam kamar dan segera mengganti pakaiannya. Dia merasa gerah dan ingin mencari sebuah baju yang tipis dan nyaman untuk berada di rumah.     

"Sayang .... " Lagi-lagi Brian menghampiri istrinya dengan wajah memelas. Melihat Imelda yang setengah telanjang, ia langsung memeluk istrinya itu dari belakang. "Biarkan aku memelukmu sebentar, Sayang," ucapnya lirih tanpa melepaskan pelukannya.     

Awalnya Imelda tak mempermasalahkan pelukan Brian kepadanya. Namun lama-kelamaan, dia merasa sesak dan tak nyaman dalam posisi seperti itu. "Lepas, Brian! Aku merasa tak nyaman, terlalu sempit dan membuat nafas sesak," protesnya sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan sang suami.     

"Kamu tak ingin aku menyentuhmu, Sayang? Aku sudah berusaha menjelaskan semuanya, itu hanya potongan masa lalu," ujar Brian dengan wajah sedih. Dia berpikir jika Imelda tak ingin disentuh olehnya. Padahal dia tak mungkin bisa hidup tanpa istrinya itu.     

Rasanya ingin sekali Imelda menarik rambutnya sendiri. Dia tak mengerti dengan pola pikir suaminya. Sebagai seorang istri dan juga seorang wanita, Ia berpikir jika Brian semakin berlebihan. Terkadang kelakuannya terlihat tak masuk akal. "Aku semakin tidak mengerti kamu, Brian!" kesalnya sebelum keluar dari kamar lalu berjalan menuju ke halaman belakang.     

Imelda memiliki duduk tenang seorang diri daripada harus bertengkar dengan suaminya. Namun ketenangannya itu langsung menghilang saat Brian kembali mengganggunya. Pria itu datang dengan wajah panik dan juga sangat kesal.     

"Sayang! Ayo kita masuk saja," ajak Brian sambil berusaha menarik tangan istrinya.     

"Apa-apaan kamu, Brian! Aku ingin duduk tenang di sini," sahut Imelda sambil menghempaskan tangan Brian yang berusaha untuk menarik dirinya.     

Brian terlihat semakin kesal mendengar penolakan dari istrinya. "Apa kamu sengaja mempertontonkan tubuh sexy-mu pada seluruh pria di rumah ini?" Sebuah pertanyaan dari Brian membuat Imelda langsung kehabisan kesabarannya.     

"Dasar gila!" kesal Imelda sebelum meninggalkan pria itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.