Bos Mafia Playboy

Bukan Tahanan



Bukan Tahanan

0Imelda baru saja menyelesaikan sarapannya yang terlalu pagi. Dia pun bangkit dari tempat duduknya dan berdiri tak jauh dari wanita paruh baya yang menjadi kepala pelayan itu.     

"Bisakah Anda mengirimkan seorang pelayan untuk membersihkan kamarku?" Imelda sengaja memintanya secara khusus agar segera membereskan makanan yang tak dimakannya semalam.     

"Tentu saja, Nyonya. Saya akan mengirimkan seseorang ke kamar Anda. Silahkan menunggu di kamar sambil beristirahat," sahut kepala pelayan di rumah itu cukup menyakinkan.     

Imelda langsung masuk ke dalam kamar di mana Brian masih terlelap dalam buaian mimpi indahnya. Sebelum seorang pelayan datang ke kamarnya, ia terlebih dahulu menutupi tubuh Brian dengan selimut tebal yang sudah disiapkan oleh sang empunya rumah.     

Baru duduk beberapa saat saja, terdengar suara ketukan pintu. Imelda langsung membukakan pintu dan menyuruh pelayan itu untuk masuk ke dalam.     

"Apa kamu sendirian?" tanya Imelda pada pelayan itu.     

"Saya datang seorang diri, Nyonya," jawab pelayan itu sangat sopan.     

Imelda menyadari jika pelayan itu adalah orang yang sama. Seorang pelayan yang memberitahunya tentang kebenaran yang sudah sangat mengganggunya.     

"Bereskan semua makanan itu! Langsung buang ke tempat sampah, jangan sampai ada seorang pun yang melihat kamu membuang makanan dari kamarku." Ucapan Imelda itu terdengar seperti sebuah ancaman, bagi seorang pelayan yang pernah ditodongkan sebuah senjata di kepalanya.     

"Baiklah, Nyonya. Saya akan lakukan sesuai dengan perintah Anda," sahut pelayan itu dengan wajah yang sedikit ketakutan. Dia tak ingin kembali mendapatkan ancaman dari seorang wanita cantik yang sangat menakutkan baginya.     

Imelda langsung mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikan itu pada sang pelayan. Awalnya uang itu ditolaknya, setelah sedikit ancaman dan juga paksaan dari Imelda, ia pun mau menerima uang itu.     

"Itu bukan sogokan! Aku memberikan uang tip sebagai upahmu karena telah membantuku," tegas Imelda dalam aura dingin yang membuat bulu kuduk pelayan itu langsung berdiri.     

"Terima kasih, Nyonya. Anda sangat baik hati terhadap saya. Bolehkah saya meminta sebuah kantong plastik untuk menaruh semua makanan ini?" tanyanya antara ketakutan dan juga kegelisahan yang tak bisa ditutupinya.     

Tanpa melihat wajah pelayan itu, Imelda bisa mengetahui jika pelayan itu sedang ketakutan. Dari suaranya saja, sudah sangat jelas jika pelayan itu benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya. Rasa takut dan kegelisahan menyatu dalam suaranya yang bergetar dan sangat tidak stabil. Imelda bisa menebak jika detak jantung pelayan itu pasti dua kali lebih cepat dari biasanya.     

"Tak perlu ketakutan! Aku tak akan memakanmu apalagi menggigit." Imelda menyerahkan sebuah kantong plastik yang diminta oleh pelayan itu. Kalau dilihat-lihat, ia juga merasa kasihan pada wanita muda yang menjadi pelayan itu.     

"Maaf, Nyonya," sahutnya sembari memasukkan seluruh makanan itu ke dalam kantong plastik. Dia pun langsung pamit pergi begitu membereskan semuanya. Rasanya berada di dekat Imelda seperti berada antara hidup dan mati. Sebisa mungkin ia ingin segera menjauh dari sosok Imelda.     

Hanya senyuman kecut yang diperlihatkan Imelda saat melihat pelayan itu begitu terburu-buru. Dia pun memaklumi hal itu karena dirinya pernah menodongkan senjata di kepala pelayan itu.     

Tak ingin membuang waktu lagi, Imelda langsung membersihkan dirinya di kamar mandi. Dalam beberapa menit saja, ia kembali keluar dan langsung membangunkan suaminya.     

"Brian! Brian!" panggil Imelda dengan suara pelan sembari menyentuh wajah sang suami.     

Setelah beberapa kali memanggil nama Brian, pria itu barulah membuka matanya dalam wajah yang masih sangat mengantuk. Dia melihat jika istrinya sudah mandi dan terlihat sangat segar dan tentunya sangat cantik.     

"Ada apa, Sayang?" Brian berusaha untuk membuka matanya dengan sempurna. Dia tak mungkin tega mengabaikan istrinya sendiri.     

"Setelah kamu mandi, lebih baik kita langsung temui Martin. Dia sempat mengatakan kecurigaan terhadap Mama Natasya," jawab Imelda antara yakin dan tak yakin. Semua terlihat abu-abu baginya. Terlalu banyak puzzle yang belum ditemukannya. Imelda harus bersabar menyusun satu persatu setiap potongan yang baru saja ditemukan.     

"Apakah secepat ini kita akan meminta bantuan Martin, Sayang?" tanya Brian penuh keraguan. Dia tak yakin untuk membawa masalah itu pada orang kepercayaan dari ayahnya itu.     

Tentunya Imelda sangat mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh Brian. Namun itu semua hanya soal ego di dalam dirinya saja.     

"Jangan menganggap Martin sebagai orang kepercayaan Papa, anggap saja dia adalah sahabat dari Kak Vincent," terang Imelda bersamaan terbitnya sebuah senyuman hangat yang mampu menenangkan kegelisahan di dalam hati Brian. "Mandilah dulu! Haruskah aku yang memandikan kamu, Brian?" goda wanita hamil yang terlihat semakin cantik itu.     

Brian langsung mengerucutkan bibirnya, memandang gemas wanita di sampingnya. "Jangan menggodaku, Sayang. Jika kamu berhasil membangunkan yang di bawah sana, kamu harus bertanggung jawab sekarang juga." Sebuah ancaman dari Brian itu bukannya membuat Imelda ketakutan namun justru membuatnya semakin berani.     

Dengan sengaja, Imelda menyentuh sesuatu yang sudah mengeras di bawah perut Brian. Kemudian dia ia justru berlari menjauhinya setelah membelainya beberapa kali.     

"Kamu mulai nakal, Sayang," protes Brian dengan wajah frustrasi. Dia pun langsung masuk ke kamar mandi untuk mendinginkan dirinya sebelum ada yang meledak dari dalam tubuhnya. Walaupun Imelda hanya berniat untuk menggodanya saja, Brian cukup senang dengan sentuhan dari jemari lembut sang istri.     

Sembari menunggu suaminya yang sedang mandi, Imelda mempersiapkan dirinya untuk pergi keluar rumah. Dengan sedikit make up natural, wanita itu terlihat semakin cantik dan juga menarik setiap pasang mata yang melihat.     

"Apakah kamu sudah bersiap, Sayang?" tanya Brian begitu keluar dari kamar mandi. Dia langsung terkesima dengan penampilan istrinya pagi ini. Dengan berbekal handuk yang melilit di tubuhnya, Brian langsung menghadiahkan sebuah kecupan di bibir istrinya. "Kamu sangat cantik, Sayang," bisiknya di telinga Imelda.     

"Cepatlah pakai bajumu dan kita bisa langsung berangkat sekarang," sahut Imelda sambil mengalungkan tangannya di leher sang suami. Sebuah kecupan singkat diberikan Imelda kepada suaminya.     

Brian langsung bergegas memakai pakaiannya sebelum mood Imelda berubah drastis. Dia tak ingin merusak suasana hati istrinya yang cukup baik pagi itu.     

Akhirnya, mereka berdua sudah siap dan langsung keluar dari kamarnya. Brian menggenggam tangan istrinya lalu beranjak menuju ke garasi di mana mobilnya telah terparkir di sana.     

Baru juga berjalan menuju garasi, seorang pria tiba-tiba menghampirinya. "Maaf, Tuan. Anda tidak diijinkan untuk keluar dari rumah ini. Terlebih membawa mobil sendirian," ucap pria tinggi besar yang bekerja sebagai penjaga di rumah.     

"Apa-apaan ini! Kami bukan tahanan, terserah kami mau pergi ke mana!" Brian mulai murka karena seseorang menghentikan dirinya. Rasanya dia benar-benar tak memiliki kuasa apapun di rumah yang katanya milik ibunya sendiri.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.