Bos Mafia Playboy

Mati Sebelum Gaji Dipotong



Mati Sebelum Gaji Dipotong

0Imelda langsung melemparkan senyuman kecut kepada suaminya. Pria itu dengan sengaja ingin menutupi penguntit itu dari dirinya. Imelda sangat membenci jika Brian sampai membohongi istrinya sendiri. Ia berpikir seorang pasangan harus bisa berbagi apapun, termasuk perasaan cemas yang sedang dirasakan oleh suaminya itu.     

"Jangan pikir aku bodoh, Brian! Aku menyadari kamu berubah gelisah saat di dalam mobil tadi. Lagipula ... kamu juga sangat jarang mau masuk ke dalam toko sekecil ini," tegas Imelda dalam kekesalan di dalam dirinya. Wanita itu tak suka jika Brian menyembunyikan apapun darinya.     

Pria itu langsung menatap Imelda dengan perasaan bersalah, ia tak menyangka jika apa yang dipikirnya baik justru terlihat sebaliknya di mata istrinya.     

"Maafkan aku, Sayang. Aku tak berniat untuk membohongimu, hanya saja ... aku tak ingin membuatmu cemas," jelas Brian dalam wajah yang penuh kasih sayang yang begitu besar untuk istrinya.     

"Sudahlah ... hubungi saja Martin. Suruh dia menunggu di private room di restoran biasanya," sahut Imelda masih dengan ekspresi kesal karena sikap suaminya.     

Sebelum membayar ke kasir, Brian terlebih dulu menghubungi Martin dan memintanya datang ke sebuah restoran yang dimaksudkan oleh Imelda. Untung saja, pria itu sedang berada di sekitar restoran di mana mereka akan bertemu.     

Pasangan itu berjalan keluar dari mini market dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Imelda dan Brian berpura-pura tak menyadari keberadaan para penguntit itu. Tiba-tiba saja ....     

"Apa kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Brian pada istrinya. Dia melihat saat Imelda sengaja menjatuhkan barang belanjaan di depan sebuah mobil yang sejak tadi terus mengikutinya.     

"Aku tidak berhati-hati memegangnya hingga terlepas dari genggamanku," kilah Imelda dengan suara nyaring agar terdengar oleh pria-pria yang berada di sekitar mobil itu.     

Brian langsung memunguti belanjaannya tadi yang sudah berceceran di jalanan. Sedangkan Imelda pura-pura membantu Brian sembari memperhatikan orang-orang di dalam mobil itu.     

Imelda tersenyum sinis melirik orang-orang di dalam mobil. Sepertinya ia bisa menduga-duga, sosok yang sudah mengirimkan mereka semua. Dia pun langsung masuk ke dalam mobil bersaamaan dengan Brian yang sudah membereskan barang-barangnya.     

"Aku tahu kamu sengaja melakukannya, Sayang," ledek Brian sembari menyalakan mesin mobilnya. Ia pun melajukan mobil ke arah jalanan menuju ke lokasi restoran itu.     

"Maaf, Brian. Sepertinya mereka adalah orang-orang suruhan Mama Natasya," sahut Imelda cukup menyakinkan. Dia bisa mengenali salah seorang dari mereka adalah seorang pria yang pernah mendatangi pasangan itu untuk memberitahukan perihal makan malam.     

"Apa kamu yakin, Sayang?" Brian ingin memastikan jika dugaannya memang benar.     

Imelda langsung tersenyum lembut kepada suaminya, seolah ia sengaja melakukan hal itu untuk menggoda seorang pria yang terlihat sangat serius dalam mengemudi. "Aku sangat yakin, Brian. Seyakin perasaanku padamu." Lagi-lagi wanita itu sengaja menggoda suaminya.     

Mendadak Brian sangat kesal dengan posisinya sendiri. Dia merasa sangat tak diuntungkan berada di kursi kemudi. Padahal jika posisinya terbalik, ada banyak hal yang bisa dilakukannya dengan Imelda.     

"Bagaimana kalau kita tukar posisi, Sayang?" bujuk Brian penuh harap.     

"Tukar apa maksudmu, Brian? Apa kamu mau bertukar posisi untuk mengandung anakmu sendiri," ledek Imelda dengan wajah yang senyum-senyum melihat ekspresi Brian yang langsung berubah masam mendengar ucapannya.     

Brian langsung mengurungkan niatnya untuk meminta pindah posisi. Sebenarnya ia hanya ingin menggoda istrinya selama Imelda berada di kursi kemudi. Brian jadi bebas menyentuh dan juga meraba-raba tubuh yang selalu membuatnya terus bergairah.     

Tak berapa lama, mereka sudah berada di depan restoran berbintang itu. Orang-orang itu pun masih saja mengikuti Brian dan juga Imelda. Seolah tanpa lelah, saat pasangan itu masuk ke dalam restoran ... mereka juga ikut turun dan juga masuk ke dalam restoran itu.     

"Selamat datang, Tuan. Apa Anda sudah melakukan reservasi?" tanya seorang wanita dengan berpakaian rapi yang menyambut kedatangan pria-pria penguntit itu.     

"Kami belum memesan apapun," jawab seorang dari mereka. Sedangkan yang lain sedang mengamati keadaan sekitar restoran itu.     

Wanita itu melemparkan senyuman ramah pada para pria di depannya. Ia pun membantu mereka untuk memesan sebuah tempat. "Saya akan membantu Anda untuk melakukan reservasi. Mau yang casual dining atau mau pakai private room?" tawar seorang wanita yang sejak tadi menyambut kedatangan para tamu.     

"Kalau yang berada di atas .... ?" Salah seorang bertanya tentang ruangan yang juga dipakai oleh Brian dan juga Imelda.     

"Yang di lantai atas, khusus private room. Jika Anda berkenan saya akan membantu Anda melakukan reservasi ruangannya. Kebetulan masih ada satu ruangan kosong di lantai atas," jelas wanita itu dengan sangat sopan dan tentunya sangat ramah.     

Mereka akhirnya memilih untuk memesan private room sama seperti yang Brian dan Imelda pesan. Padahal mereka tak memiliki gambaran tentang keadaan ruangan di private room restoran itu.     

Setelah melakukan reservasi dan lain-lainnya, para pria itu naik ke lantai atas dengan diantar seorang pelayan yang akan membantunya dalam pemesanan makanan. Mereka semua langsung membelalakkan matanya, saat melihat ruangan di lantai dua tertutup rapat semua.     

"Bagaimana kita bisa mengetahui yang dilakukan oleh mereka semua?" tanya salah seorang dari mereka.     

"Sepertinya kita akan terjebak di sini untuk beberapa saat. Lebih baik nikmati saja makanannya," sahut seorang yang lainnya.     

Keempat pria itu mau tak mau harus menikmati suasana baru yang begitu asing bagi mereka. Tak pernah terbayangkan oleh mereka jika ada restoran dengan model seperti itu. Tak berapa lama, terdengar suara dering ponsel milik seorang pria yang duduk bersama rekannya itu. Pemilik ponsel langsung menerima panggilan itu tanpa membuang waktu.     

"Iya, Bos," sahutnya sambil memegang ponsel di dekat telinga. "Kami justru terjebak di sebuah private room restoran. Padahal niat kami mengikuti mereka berdua dan ingin melihat siapa yang sedang mereka temui. Namun menjadi sia-sia, Bos," jelasnya pada seseorang yang lebih berkuasa dari mereka.     

"Terima kasih, Bos." Perkataan itu yang terakhir diucapkannya sebelum mengakhiri panggilan telepon dari seseorang yang membayarnya.     

"Apa yang dikatakan oleh Bos?" tanya salah satu rekannya.     

Pria itu meletakkan ponsel dia tas meja lalu meminum segelas minuman yang baru saja dipesannya. "Bos menyuruh kita untuk menikmati makanannya," jawab pria yang terlihat duduk nyaman di sana.     

"Semoga tidak dipotong gaji. Sepertinya restoran itu sangat mahal. Apa kalian pernah membayangkan jika seorang Adi Prayoga mendengar seseorang sedang mengintai anak dan menantunya?" Tiba-tiba salah satu dari mereka menanyakan hal itu.     

"Pasti kamu sudah mati sebelum gajimu itu dipotong. Aku sangat mengenal orang-orang yang bekerja dengan Adi Prayoga," sahut seseorang yang duduk santai sembari menatap layar ponsel di depannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.