Bos Mafia Playboy

Hanya Aku Yang Pantas Menerima Hukuman



Hanya Aku Yang Pantas Menerima Hukuman

0Adi Prayoga langsung menajamkan matanya mendengar sebuah pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Brian. Sungguh di luar dugaannya, ia tak menyangka jika anak yang selama ini dibesarkannya akan menanyakan hal itu secara terang-terangan.     

"Apakah Natasya yang mengatakan hal itu padamu?" Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Adi Prayoga justru melemparkan sebuah pertanyaan balasan pada Brian.     

"Mama memang tidak secara terang-terangan mengatakan hal itu. Dia berkata jika Papa menjalin hubungan dengan sahabat dekatnya. Padahal Papa telah berjanji untuk tidak berhubungan dengan wanita manapun." Sepertinya Brian benar-benar tak menyadari hal penting yang sudah dikatakan oleh ibunya.     

Pria itu seperti baru saja tertusuk sebuah belati yang sangat tajam. Seolah hingga menembus ke jantungnya. Adi Prayoga tak mungkin bisa menutupi kebenaran itu lagi. Apalagi, Natasya sudah mulai menunjukan dirinya dan juga menyingkap rahasia besar yang sudah cukup lama disimpannya.     

"Apalagi yang mamamu katakan, Brian?" tanya Adi Prayoga pada anaknya.     

"Apalagi yang Papa harapkan? Mama sudah sangat terluka pada kebohongan dan juga pengkhianatan yang telah Papa lakukan." Brian mulai tersulut dengan ucapannya sendiri. Dia benar-benar tak ingin berharap semua itu benar-benar terjadi.     

Ada sedikit kelegaan di hati Adi Prayoga. Setidaknya, Natasya tak mengatakan lebih banyak lagi tentang hubungannya dan juga Irene Mahendra. Bukan karena malu atau apapun, Adi Prayoga hanya tak ingin menghancurkan hatinya.     

"Kamu mungkin tak akan mengerti dengan semua yang telah terjadi di masa lalu, Brian." Adi Prayoga mencoba untuk membela dirinya agar Brian tak terlalu marah     

"Apa yang tak aku mengerti, Pa?" seru Brian pada pria tua yang terlihat cemas memikirkan masa lalunya. "Bahkan aku menjadi sangat mengerti alasan Papa Davin Mahendra begitu membenci Papa. Ternyata .. Papa telah berselingkuh dengan istrinya," tuduh Brian pada ayahnya sendiri.     

"Cukup, Brian! Kamu sama sekali tak mengerti dengan hubungan kami berdua," tegas Adi Prayoga dalam wajah yang sudah sangat cemas mendengar berbagai tuduhan dari Brian. Dia pun tak mampu menjelaskan apapun anak semata wayangnya itu.     

Mendengar suara bentakan dari ayahnya, Brian langsung tersenyum kecut dalam perasaan kecewa di dalam hatinya. Rasanya dunia seolah telah hancur di depan matanya. Dia tak mampu membayangkan bagaimana harus bersikap di hadapan istrinya.     

"Coba Papa pikir, bagaimana aku harus menunjukkan diriku di depan Imelda? Bagaimana aku harus mengatakan jika mamanya telah berselingkuh dengan Papa? Pikirkan! Bagaimana perasaan Imelda jika mendengar semua ini?" teriak Brian dalam wajah sangat frustrasi seolah setengah dari harapannya telah menghilang.     

Seketika itu juga, Adi Prayoga seolah baru saja ditimpa sebuah beton terberat yang begitu menyesakkan dadanya. Dia tak mampu membayangkan perasaan Imelda saat mendengar kebenaran itu. Tanpa sadar, ia pun menarik rambutnya sendiri dalam pandangan mata yang mulai berkaca-kaca.     

"Papa tak mungkin bisa menghadapi Imelda dan Vincent. Irene sudah menitipkan mereka dalam pengawasanku. Aku tak mungkin bisa mengingkari janjiku pada Irene," ungkap Adi Prayoga dalam suasana hati yang sangat hancur.     

"Tapi mengapa Papa bisa mengingkari janji dari Mama Natasya?" Brian semakin tak mengerti dengan perkataan ayahnya sendiri yang semakin lama semakin sulit untuk dimengerti. "Pantas saja! Papa terlihat sangat perhatian dan juga sangat mesra saat kita sering melakukan makan siang bersama Mama Natasya dan juga Mama Irene. Bahkan dulu aku sudah berpikir yang tidak-tidak tentang hubungan kalian." Brian akhirnya mengatakan beberapa hal yang selama ini hanya di tahannya di dalam hati.     

"Sudah cukup, Brian!" Adi Prayoga bermaksud menghentikan ucapan Brian yang justru merembet kemana-mana. Ia tak ingin semuanya lebih besar dan sulit dikendalikannya.     

Brian Prayoga berjalan pelan mendekati tumpukan senjata yang diperjualbelikan oleh anak buah ayahnya. Dia sengaja mengambil satu dan menyerahkannya pada Adi Prayoga.     

"Lebih baik ... Papa habisi saja nyawaku. Aku tak yakin bisa menghadapi Imelda lagi. Kumohon .... " Brian benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Tanpa keraguan sedikit pun, ia berlutut di hadapan ayahnya sendiri. Pria itu benar-benar tak mampu lagi menahan air matanya. Dia tak peduli jika dirinya terlihat lemah di hadapan Adi Prayoga dan juga Martin.     

Ucapan Brian itu benar-benar telah merobek hati Adi Prayoga. Tak pernah terbayangkan jika seorang pria playboy seperti Brian bisa menjadi sangat lemah di hadapan seorang wanita.     

"Hentikan, Brian! Semua adalah kesalahan Papa, tidak ada hubungannya dengan kamu dan Imelda. Jika harus ada yang mati ... itu adalah aku." Adi Prayoga seolah baru saja kehilangan harapan di dalam hidupnya. Seorang anak semata wayangnya, memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tak bisa menghadapi wanita yang dicintainya.     

"Jika Papa tak ingin membunuhku, aku akan menghilang dari kehidupan Papa. Aku juga akan membawa Imelda untuk pergi bersamaku. Mengingat sebuah kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Papa, rasanya aku sudah tak tahan lagi. Jadi lebih baik aku pergi sejauh mungkin." Sebuah keputusan yang sangat sulit dari Brian. Namun ia juga tak mampu lagi memandang Adi Prayoga. Hanya kebencian dan juga perasaan kecewa yang terselip di dasar hatinya.     

Martin yang mendengar percakapan anak dan ayah itu langsung menghampiri mereka berdua. Dia berdiri di antara kedua pria yang terlihat sama-sama hancur.     

"Tunggu, Brian! Jangan mengambil keputusan yang gegabah. Sangat berbahaya jika kalian berada di luar sana." Martin mencoba untuk membujuk anak dari Adi Prayoga yang sudah seperti saudara untuknya. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan keadaan Imelda jika tanpa pengawasan sedikit pun.     

"Benar apa yang dikatakan oleh Martin. Jika kamu tak ingin bertemu denganku, Papa tak akan menemui kalian berdua," bujuk Adi Prayoga pada pria yang terlihat sangat hancur dengan kebenaran yang harus diterimanya.     

Brian tetap saja bersikukuh untuk meninggalkan sebuah rumah yang selama ini menjadi lokasi paling aman dari serangan apapun. Dia bahkan telah melupakan jika berada di luar rumah itu bagaikan berada di medan pertempuran. Serangan apapun bisa terjadi dengan tiba-tiba.     

"Aku dan Imelda akan meninggalkan rumah itu secepatnya. Sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa tinggal bersama Mama," balas Brian dengan keraguan yang terlukis di wajahnya.     

Adi Prayoga menunjukkan wajah tak rela dan juga penuh penyesalan di dalam hidupnya. Tak bisa dipungkiri, jika semua yang terjadi atas kebodohannya sendiri.     

"Kumohon, Brian. Hanya Papa yang pantas mendapatkan hukuman ini. Jangan sampai kamu justru menyeret Imelda di dalam situasi yang sangat berbahaya." Sebagai wujud kasih sayang Adi Prayoga kepada anak dan juga menantunya, ia sampai memohon hal itu kepada Brian.     

"Berjanjilah jika kamu kesulitan di luar sana, kamu akan langsung kembali ke rumah itu," ungkap sang bos mafia pada anak semata wayangnya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.