Bos Mafia Playboy

Tak Sadar Sedang Berciuman



Tak Sadar Sedang Berciuman

0Adi Prayoga masih berbicara serius dengan orang kepercayaannya itu di ruang kerja. Kedua pria itu terlihat saling menatap dengan wajah tegang dan tanpa senyuman sedikitpun.     

"Apa rencanamu itu masih cukup efektif?" tanya Adi Prayoga dalam wajah yang seolah tak yakin dengan rencana pria di depannya.     

"Aku sendiri yang akan memastikan kebahagiaan Imelda dan juga Brian." Martin mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan. Dia yakin bisa melakukan apapun untuk membuat pasangan itu mendapatkan kebahagiaan di dalam hidupnya.     

Pria tua itu langsung melemparkan tatapan tajam padanya. Dia tak menyangka jika Martin bisa melakukan pengorbanan sebesar itu. "Dalam hal ini kebahagiaanmu yang harus dikorbankan. Apa kamu yakin akan melakukan hal itu?" tanya Adi Prayoga pada pria yang duduk di depannya.     

"Itu semua tidak seberapa, dibandingkan dengan semua yang sudah dilakukan Bos dan juga Brian lakukan kepadaku." Martin mencoba menjelaskan alasannya itu kepada Adi Prayoga. Meskipun ada sebuah alasan lain yang membuatnya rela melakukan itu untuk Bryan Prayoga dan juga istrinya.     

"Ada satu lagi perkataan Eliza Hartanto yang memaksaku untuk melakukan semuanya ini. Dia berkata jika akan melawan takdir untuk memisahkan Brian dan juga Imelda," ungkap Martin pada seorang pria yang sangat dihormatinya.     

Adi Prayoga pun cukup merasa tersentuh dengan rencana yang akan dilakukan Martin untuk anak dan menantu kesayangannya. "Walau bagaimanapun, kamu juga harus memikirkan kebahagiaanmu, Martin. Kamu harus memiliki seorang wanita yang benar-benar mencintaimu. Sebaiknya ... pikirkan lagi semuanya sebelum terlambat." Adi Prayoga sengaja memberikan saran yang terbaik untuk orang kepercayaannya itu. Dia juga ingin melihat Martin mendapatkan kebahagiaannya.     

"Jangan terlalu banyak berpikir, Bos. Aku akan menemui Brian sebentar." Martin langsung keluar dari ruangan itu menuju ke kamar anak dari bos-nya. Kebetulan sekali, dari kejauhan terlihat kamar Brian dan juga Imelda tidak tertutup.     

Begitu sampai di depan pintu kamar Brian yang masih terbuka, Martin disuguhi sebuah pemandangan yang cukup untuk meledakkan harinya. "Kalian benar-benar pasangan yang menggairahkan," sindirnya dalam emosi yang bercampur aduk.     

Brian langsung melepaskan ciumannya bersama Imelda. Terlihat sedikit keterkejutan di dalam wajahnya. Pria itu bangkit dan berjalan ke arah Martin yang masih berdiri di sana. "Ucapanmu terdengar seperti pujian sekaligus sindiran untuk kami berdua," sahut Brian diiringi senyuman penuh arti pada sosok pria yang melihat kemesraannya itu.     

"Ada apa kamu datang ke sini, Martin?" tanya Imelda dengan wajah malu-malu karena ketahuan bermesraan tanpa menutup pintu kamarnya. Dia pun ikut berdiri di samping Brian sembari memandang Martin yang memperlihatkan wajah dinginnya.     

"Bereskan pakaian kalian lalu temui aku di ruang tengah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan," ucap Martin pada pasangan yang masih terlihat mesum setelah berciuman dengan sangat menggairahkan. Selain itu, ia juga melihat beberapa kancing kemeja Imelda yang sudah terbuka. Memperlihatkan sedikit bagian tubuhnya yang berhasil membuat Martin langsung berdebar.     

Brian dan Imelda saling menatap satu sama lain. Dia tak mengerti dengan ucapan Martin kepadanya. "Bukankah kita masih berpakaian lengkap?" tanya Imelda dalam kebingungan yang nampak sangat jelas.     

"Sial! Pasti Martin telah melihat pemandangan indah ini," kesal Brian begitu menyadari dua kancing kemeja Imelda yang sudah terbuka. Secepat kilat, ia kembali merapikan kancing kemeja itu. "Rasanya aku tak rela Martin melihat semuanya," lanjutnya.     

"Kapan kamu membukanya, Brian?" Mendadak Imelda sangat kesal karena tak menyadari saat suaminya diam-diam telah melepaskan dua kancing kemeja yang melekat di tubuhnya.     

Brian juga ikut menyesali perbuatannya, ia pun merasa sangat bersalah pada istrinya. "Maaf, Sayang. Tanpa sadar aku sudah melepaskannya." Sebuah jawaban yang terdengar sangat bodoh bagi Imelda. Wanita itu langsung tersenyum sinis pada suaminya sendiri.     

"Jangan-jangan kamu juga tak sadar telah mencium istrimu sendiri," cibir Imelda lalu beranjak keluar dari kamar untuk menyusul Martin yang sudah menunggu kedatangan mereka berdua. Walaupun merasa sangat malu, Imelda tak mau ambil pusing. Toh ... semua sudah terjadi dan tak mungkin di perbaiki lagi.     

"Maaf sudah membuatmu menunggu, Martin," ucap Imelda pada pria yang sedang duduk santai di sebuah kursi besar dalam ruang tengah.     

Pria itu langsung melempar tatapan dari ujung kepala hingga kaki Imelda. Martin ingin memastikan jika wanita itu tak melewatkan apapun. "Apakah sudah selesai untuk ronde keduanya?" ledek Martin sembari tersenyum pada Imelda.     

"Sudahlah, Martin. Jangan mengungkitnya lagi. Anggap saja itu bonus bagimu," sahut Imelda dalam wajah yang sebenarnya sangat malu. Namun dia berusaha untuk bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka.     

"Andai saja kamu bisa memberikan bonus yang lebih dari itu," goda Martin pada wanita yang pernah diimpikannya untuk menjadi seorang istri.     

Tanpa mereka berdua sadari, Brian sudah berdiri tak jauh dari mereka. Dia telah mendengar semua yang sudah mereka bicarakan. Dalam kecemburuan yang tak bisa ditahannya lagi, ia pun langsung duduk di samping Imelda.     

"Tak ada bonus apapun untukmu, Martin," tegas Brian pada pria yang sudah merangkulkan tangannya pada Imelda dengan sangat posesif. Seolah dia tak rela jika istrinya itu hanya sekedar dilirik saja oleh pria lain.     

"Dasar pria posesif!" sindir Imelda pada pria yang merangkulkan tangannya di pundak.     

"Ini namanya cinta, Sayang. Posesif itu bukan cinta, Istriku." Brian sengaja membelai Imelda untuk memamerkan kemesraan pada Martin yang hanya bisa menggelengkan kepalanya karena sikap Brian yang kekanak-kanakan.     

Martin tersenyum kecut melihat kemesraan Brian yang sengaja dibuat-buat. Dia yakin jika pria itu sengaja ingin membuatnya menjadi cemburu. Martin hanya bisa menahan dirinya sembari menyaksikan drama yang sedang dilakoni oleh anak dari bosnya itu. Setelah beberapa saat, ia pun sudah tak sabar menunggu kegilaan Brian di hadapannya.     

"Hentikan tingkah konyolmu, Brian," protes Martin padanya. "Aku hanya ingin memberitahumu jika Eliza sempat melakukan percobaan bunuh diri. Untung saja aku datang tepat waktu," jelas Martin dalam wajah serius yang bercampur dengan perasaan cemas.     

"Apa! Lalu ... bagaimana keadaannya sekarang?" Brian terlihat mengkhawatirkan wanita yang sudah cukup lama mengejar cintanya. Walau bagaimanapun, dia pernah memiliki hubungan yang cukup baik dengan Eliza.     

Imelda langsung tersenyum aneh dengan kening yang sedikit mengerut. Dia melihat jika suaminya sangat mengkhawatirkan Eliza. "Kamu bisa menemuinya jika sangat mengkhawatirkan kekasihmu itu," cibir Imelda.     

"Bukan begitu, Sayang. Jangan salah paham lagi." Brian terlihat memelas dan juga sedikit memohon pada istrinya. "Jadi saat aku melihatmu di rumah sakit itu untuk menemui Eliza?" tanya Brian pada Martin.     

"Bukan karena itu. Sebaiknya kamu jauhi saja Eliza, biar aku yang mengurusnya," jawab Martin penuh kekhawatiran. "Aku tak ingin Imelda terluka karena kegilaan Eliza terhadapmu, Brian." Martin hanya mampu berucap di dalam hati. Dia tak ingin membuat Imelda menjadi cemas karena hal itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.