Bos Mafia Playboy

Informasi Rahasia



Informasi Rahasia

0Imelda tak ingin Brian larut dalam kesedihan yang sudah bercampur dengan kebencian yang begitu dalam. Wanita itu berinisiatif untuk menyusul seorang pria yang sudah beberapa waktu lalu menjadi suaminya.     

Dari kejauhan, Imelda melihat suaminya duduk sendirian di halaman belakang rumah itu. Dengan berjalan pelan, ia mendekati ayah dari calon anaknya. Menyentuh pundaknya lalu ikut duduk bersamanya.     

"Haruskah kamu merasakan kebencian sebesar itu, Brian?" Sebuah pertanyaan dilontarkan Imelda kepada suaminya. Bukan untuk menghakiminya, melainkan menyadarkan Brian jika kebencian yang berlebihan bukan hal yang baik.     

Imelda menatap kedua bola mata Brian yang sudah berkaca-kaca. Pria itu tak mampu lagi menutupi betapa kecewanya ia akan wanita yang sudah melahirkannya itu. "Brian ... lihatlah aku! Bukankah kehadiran anak kita seharusnya sudah mampu melebur segala kebencian di dalam hatimu?" Imelda mencoba membujuk suaminya. Entah itu berhasil atau malah sebaliknya.     

"Apa itu ada hubungannya, Sayang?" sahut Brian dalam usaha kerasnya untuk menahan air mata agar tak terjatuh di depan istrinya.     

"Tentu saja, Brian. Kehadiran seorang anak itu akan membawa kedamaian dalam sebuah keluarga." Imelda tak yakin apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Dia hanya ingin berusaha membujuk suaminya itu agar menghapus kebencian di dalam hatinya.     

Brian memandang wajah Imelda yang terlihat terlalu mencemaskan keadaannya. Dia menjadi tak tega dengan wanita yang sedang duduk bersamanya itu. "Maaf, Sayang. Tak seharusnya aku membuatmu merasa khawatir. Aku akan mencoba untuk tak memperdalam kebencian di dalam hatiku," balas Brian pada istrinya.     

"Apa kamu tak ingin membelai anakmu ini." Imelda sengaja bermanja-manja agar Brian melupakan kesedihan di dalam hatinya. Dia pun menyentuh tangan Brian lalu menempelkannya di atas perutnya yang mulai membesar.     

"Anakmu ini juga butuh belaian dari papanya. Jangan mengabaikan anak kita karena kekecewaan di dalam hatimu. Dia juga membutuhkan kasih sayangmu," lanjut Imelda sembari mengembangkan senyuman tulus di wajahnya. Dia pun menyentuh wajah Brian lalu mendekatkan bibirnya di pipi. Sebuah kecupan singkat diberikan Imelda pada pria yang sangat dicintainya.     

Mendengar kalimat panjang lebar dari istrinya, Brian pun menjadi lebih tenang. Seolah ... Imelda adalah sumber kedamaian di dalam hidupnya. Pria itu merasa sangat beruntung memiliki Imelda di dalam hidupnya. Meskipun perjalanan kisah cinta mereka penuh liku, Brian tetap bersyukur dengan semua itu.     

"Lebih baik kita masuk, Sayang." Brian mengulurkan tangannya lalu menggenggam jemari lembut sang istri. Dia pun mengajak Imelda untuk kembali masuk ke dalam.     

Baru juga memasuki ruang tengah, Martin dan juga Adi Prayoga langsung menyambut dirinya dalam sebuah tatapan penuh arti. Seolah Brian baru saja melewati sesuatu yang sangat berat dan juga membuatnya sangat menderita.     

"Kenapa Papa dan Martin menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan wajahku?" lontar Brian pada dua pria yang masih duduk di ruang tengah.     

"Papa sangat senang dan juga lega bisa melihatmu lebih tenang," jawab Adi Prayoga lalu bangkit dari tempat duduknya. Dia pun berniat untuk kembali ke dalam ruang kerjanya. Baru beberapa langkah saja, Adi Prayoga menghentikan langkahnya dan langsung membalikkan badan.     

"Besok pagi, pergilah bersama Martin ke Diamond Hotel. Kalian berdua akan melakukan negosiasi dengan seorang pemasok," perintah Adi Prayoga pada anak dan juga tangan kanannya.     

Brian tak langsung memberikan jawabannya, terlebih dulu menatap Imelda dalam kegelisahan yang tak bisa dijelaskannya. Dia tak ingin melakukan bisnis ilegal itu. Apalagi ... Sebentar lagi dia akan memiliki anak seorang anak.     

Seolah mengetahui kegelisahan yang dirasakan oleh suaminya, Imelda langsung melemparkan tatapan penuh kehangatan pada Brian. Kemudian sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu. "Tak masalah, Brian. Aku sudah tahu semuanya. Semua bisnis yang dijalankan oleh keluarga Prayoga, aku sudah mengetahuinya selama ini," sahut Imelda tanpa emosi apapun.     

"Tapi ... Sayang. Bukankah semua ini bertentangan dengan nilai-nilai di keluargamu." Brian mencoba untuk memperjelas semuanya pada wanita hamil yang berstatus sebagai istrinya itu.     

"Nilai apa yang kamu maksudkan, Brian?" Imelda terlihat sangat tidak senang dengan kalimat yang baru saja dikatakan oleh Brian.     

Wanita itu berjalan pelan menghampiri ayah mertuanya. Menatap Adi Prayoga dengan sebuah perasaan yang terlalu sulit untuk diartikan. "Kamu pikir, Apa yang dilakukan Papa Davin jauh lebih baik dari Papa Adi Prayoga?" cetus Imelda dalam suara pelan namun terdengar cukup tegas.     

"Kamu salah, Brian. Menjadi agen intelijen tak lebih baik dari seorang mafia. Coba saja tanyakan hal ini pada Papa Davin .... Sudah berapa nyawa yang sudah melayang di tangannya? Bahkan nyawa orang tak bersalah juga ikut mati di tangan mereka." Imelda menumpahkan segala hal yang selama ini tersimpan di dalam hatinya. Rasanya ia sudah tidak tahan lagi untuk menahan semuanya itu.     

Adi Prayoga seolah telah kehilangan kata-katanya. Dia sangat tahu pekerjaan yang masih dijalani oleh Davin Mahendra itu. Di balik posisinya yang terlihat cukup terhormat, mereka telah menghabiskan banyak nyawa orang-orang tak bersalah. Belum lagi, persaingan kotor di dalam organisasi membuat mereka tega menghancurkan kawannya sendiri. Mereka bisa melakukan cara apapun untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.     

"Darimana kamu mengetahui kebusukan mereka semua, Sayang?" tanya Adi Prayoga pada menantu kesayangannya.     

"Bukankah itu sudah menjadi rahasia umum, Papa. Tapi entahlah ... aku melupakan dari siapa aku bisa mendapatkan informasi itu." Imelda langsung terdiam dan juga terlihat sedang memikirkan sesuatu.     

"Alasan itu juga yang membuat aku selalu menolak tawaran Om Jeffrey," lanjutnya lagi.     

Seketika itu juga, Adi Prayoga langsung panik. Dia sangat tahu siapa itu Jeffrey. Dalam kekhawatiran yang tiba-tiba telah menyerangnya, pria itu memandang Imelda dengan penuh tanya tanya besar. "Apa yang ditawarkan Jeffrey padamu, Sayang," tanyanya.     

"Om Jeffrey memintaku untuk bergabung dalam tim intelijen. Selama ini aku selalu menolaknya. Entah bagaimana dia bisa membujuk Kak Vincent hingga mau bergabung dengan mereka." Imelda terlihat sangat tidak senang dengan keputusan Vincent untuk mengikuti jejak ayahnya. Sejujurnya ... ia tak pernah rela jika kakak laki-laki satu-satunya, terjebak dalam dunia seperti yang sedang dijalankan oleh Davin Mahendra.     

Sejak tadi, Martin dan Brian mendengarkan pembicaraan itu secara serius. Mereka berdua terlalu penasaran dengan persaingan kotor di organisasi yang menaungi Vincent dan juga Davin Mahendra.     

"Apa kalian berdua sangat terkejut mendengar perbincangan ini? Bukankah kamu juga mengetahui kebusukan para elit dalam organisasi seperti itu, Martin?" Tanpa diduga, Imelda langsung melemparkan pertanyaan pada seorang pria yang pernah menjadi anggota tim pasukan khusus itu.     

Martin menunjukkan keterkejutan yang tak mungkin bisa ditutupinya. Memandang Imelda secara lebih dalam lagi. "Aku hanya penasaran, siapa seseorang yang sudah membocorkan rahasia organisasi kepadamu, Imelda?" sahut Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.