Bos Mafia Playboy

Pengemis Cinta



Pengemis Cinta

0Sebuah pertanyaan dari Eliza cukup untuk membuat dunia seolah berhenti berputar untuk beberapa detik. Brian dan juga Johnny Hartanto cukup terkejut dengan serangan yang diberikan oleh wanita yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit itu.     

Yang lebih terkejut lagi ... Imelda yang juga sudah kembali dari toilet pun sudah mendengar suara Eliza yang terdengar cukup jelas.     

"Apakah suamiku sudah menjanjikan hal itu padamu?" Imelda yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, langsung melemparkan sebuah pertanyaan pada Eliza.     

"Sayang ... sejak kapan kamu di sana?" Brian langsung menghampiri istrinya dan merangkulkan tangan pada Imelda.     

Imelda memperlihatkan senyuman di wajahnya, tak ada kemarahan ataupun kekecewaan di dalam hatinya. Yang ada hanya rasa penasaran yang cukup mengusik ketenangan hatinya. "Aku baru saja sampai dan mendengar saat Eliza mengatakan jika kamu berjanji akan menikahinya. "Benarkah itu, Brian?" tanyanya.     

"Tentu saja. Brian sudah berjanji untuk menikahiku. Namun kehadiranmu menghancurkan segalanya," ketus Eliza pada wanita yang berdiri di sebelah pria yang sangat dicintainya. Dia langsung melemparkan kalimat itu tanpa berpikir sedikit pun.     

"Berhenti, Eliza! Kamu sudah keterlaluan," tegas Johnny Hartanto pada adiknya sendiri.     

"Tak masalah Pak Johnny Hartanto." Dengan sangat tenang dan juga sangat ramah, Imelda terpaksa harus terlibat di antara mereka. Dia tak ingin terbawa arus dalam suasana menegangkan itu.     

Sebelum semuanya bertambah runyam, Brian memutuskan untuk meluruskan semuanya. Terlihat sangat jelas jika Eliza berusaha untuk memprovokasi Imelda. "Jangan langsung percaya dengan ucapan Eliza, Sayang," pintanya penuh harap.     

"Dulu aku sempat berjanji untuk menikahi Eliza jika dia sampai mengandung anakku gara-gara obat perangsang itu. Aku memang berniat untuk bertanggung jawab padanya. Namun takdir berkata lain, Eliza tak pernah mengandung dari benihku," jelas Brian pada mereka semua. Tak ada yang ditutupinya atas kejadian itu. Dia juga tak pernah berniat untuk menghancurkan masa depan siapapun.     

Johnny Hartanto semakin kagum pada sosok pria yang selama ini sudah sangat dibencinya. Dia tak menyangka jika Brian Prayoga adalah pria yang cukup bertanggung jawab. Tidak melaporkan Eliza ke polisi saja sudah cukup baik baginya. "Maafkan aku, Brian. Aku sempat berpikir jika kamu adalah pria brengsek yang mempermainkan banyak wanita. Ternyata aku salah besar, ini hanyalah kesalahpahaman di antara kita berdua," sesalnya dalam rasa malu yang menyerangnya karena kegilaan Eliza kepada Brian.     

"Tak Masalah Pak Johnny Hartanto. Sepertinya lebih baik aku pergi dari sini agar Eliza bisa beristirahat," pamit Brian pada pria di dekatnya.     

"Tunggu, Brian! Kapan-kapan, bolehkah aku mengirimkan undangan makan malam untukmu dan juga Dokter Imelda Mahendra?" tanya kakak dari Eliza itu.     

Brian hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju atas permintaan itu. Dia pun berniat mengajak Imelda untuk segera pergi dari tempat itu.     

"Jangan pergi dulu, Brian!" Eliza kembali menghentikan langkah pria itu untuk keluar dari ruang perawatan. "Tidak bisakah kamu memberikan sedikit perasaan cintamu padaku? Kurasa satu persen saja sudah cukup bagiku." Seolah Eliza benar-benar sedang mengemis cinta pada suami dari Imelda Mahendra.     

Brian langsung berjalan ke arah Eliza dengan Imelda di dalam rangkulannya. "Maaf, Eliza. Cintaku seluruhnya sudah aku berikan kepada istriku, Imelda Mahendra. Hanya dia saja ... tak mungkin ada wanita lain lagi,"ungkap Brian dengan sangat menyakinkan. "Kami permisi." Pria itu pun mengajak istrinya untuk segera meninggalkan rumah sakit itu. Brian tak ingin Imelda mendengar ucapan Eliza yang semakin tak masuk akal.     

Begitu Brian dan Imelda meninggalkan tempat itu, Johnny Hartanto langsung mendekati adiknya. Melemparkan sebuah tatapan tajam yang penuh kekesalan. "Apakah kamu harus mengemis cinta seperti itu? Kamu benar-benar sangat memalukan, Eliza. Untung saja Brian ataupun Imelda tak menuntutmu atas segala kebodohan yang kamu ucapkan," kesalnya pada wanita yang menjadi adik perempuan baginya itu.     

"Jika Kakak ingin menceramahi aku, lebih baik Kakak pergi dari sini. Aku tak butuh nasehatmu ataupun ucapanmu untuk menghiburku," protes Eliza pada kakaknya sendiri. Dia merasa jika tak ada lagi yang bisa diharapkannya. Penolakan Brian kali ini, benar-benar telah menghancurkan hatinya. Eliza merasa telah kehilangan sesuatu yang membuatnya tetap bertahan.     

Selama ini, dia berusaha mati-matian mengejar karirnya hanya agar bisa membuat Brian kagum padanya. Tetapi apa yang di dapatkannya, sangat jauh dari kenyataan. Eliza benar tenggelam dalam tangisan dan juga air matanya. Rasanya sudah tak mungkin lagi untuk tetap bertahan, saat segala yang diharapkannya telah hilang.     

"Kak! Tinggalkan aku sendiri." Eliza sengaja mengusir Johnny Hartanto untuk keluar dari ruangan itu. Dia hanya ingin sendirian berada di kamar itu. Merenungi takdir yang seolah tak adil padanya.     

Meskipun cukup berat, Johnny Hartanto akhirnya memilih keluar dari ruangan itu. Dia sengaja memberikan waktu untuk Eliza introspeksi diri. Semua yang sudah terjadi tentu saja sangat berat untuk adiknya itu.     

Dalam kesendiriannya, Eliza meratapi dirinya sendiri. Tentang takdir cinta yang menyakitkan. Tentang sebuah perasaan yang tak terbalaskan. Langit seolah sudah runtuh baginya. Tak ada lagi sebuah tempat yang menjadi tujuannya.     

Wanita itu mencabut selang infus di tangannya. Melemparkan selimut yang tadinya menutupi kakinya. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, Eliza mencoba turun dengan memakai satu kakinya. Dia melawan rasa sakit yang dirasakannya, atau mungkin saja Eliza telah mati rasa atas rasa sakit yang dirasakannya.     

Saat mencoba untuk melangkah maju, tiba-tiba saja kakinya goyah dan dia pun langsung jatuh tersungkur di lantai. Lagi-lagi dia hanya meneteskan air matanya. Eliza merasa tak berdaya dalam keadaan yang terus menghimpitnya. "Aku tak ingin hidup lagi," gumamnya dalam air mata yang mengalir di wajahnya.     

Dengan segenap kekuatan di dalam dirinya, Eliza mencoba bangkit dan berdiri kembali. Namun dia justru terjatuh karena kakinya terpeleset di atas lantai. "Ahhhh .... Aku benci diriku sendiri," sesalnya dalam hati yang begitu hancur.     

Eliza berusaha untuk bergerak dengan langkah terseok-seok. Tak peduli dengan rasa sakitnya, ia melihat jendela kaca di hadapannya dengan tatapan sangat aneh. Wanita itu memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan rasa sakit yang menyerang dan menghancurkan hatinya.     

Andai dia bisa membuka jendela kaca di kamarnya, ingin rasanya Eliza melompat dari sana. Dia berpikir jika mati adalah pilihan terbaik di dalam hatinya. Tanpa harapan dan juga tujuan lagi, ia melihat sebuah pisau buah di atas meja. Dengan segenap kekuatan yang masih dimilikinya, Eliza berusaha bergerak ke meja itu dan meraih sebilah pisau yang tergeletak di sana.     

Tanpa berpikir panjang dan segenap keyakinan yang masih dimilikinya, Eliza memehang pisau itu dan berusaha untuk menggores pergelangan tangannya.     

"Hentikan, Eliza!" Seseorang datang dan langsung merebut pisau itu dari tangannya. Terjadilah aksi saling merebut yang justru melukai seseorang yang baru saja datang itu.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.