Bos Mafia Playboy

Sebuah Kebencian Yang Tak Terhapuskan



Sebuah Kebencian Yang Tak Terhapuskan

0Vincent tak pernah membayangkan jika hubungan dua keluarga itu sangat rumit. Meskipun ia masih belum seratus persen percaya pada adik iparnya, Vincent berpikir jika tak ada alasan bagi Brian untuk mengatakan kebohongan apapun. Toh ... dia sendiri juga ikut dirugikan dengan skandal hubungan terlarang Adi Prayoga dan juga ibunya, Irene Mahendra.     

"Dari mana kamu mendapatkan informasi tentang hal itu, Brian?" Terlukis rasa penasaran yang begitu jelas di wajah Vincent. Dia juga sangat ingin mengetahui penyebab hancurnya hubungan keluarga Prayoga dan juga Mahendra.     

"Papa Davin yang mengatakannya padaku dan juga Imelda," jawab Brian tanpa mengalihkan pandangannya dari pria yang begitu terkejut mendengar rahasia yang selama ini tersimpan rapat.     

Pria itu langsung terdiam tanpa menanggapi perkataan Brian. Ia masih belum percaya jika ayahnya itu mau mengatakan kebenaran di masa lalunya. Padahal selama ini, Vincent selalu berusaha untuk menanyakan hal itu. Tak sedikit pun Davin Mahendra berkeinginan untuk memberitahu kebenaran itu.     

"Mengapa Papa bisa langsung memberitahukan hal itu padamu? Selama ini aku selalu berusaha untuk menanyakan hal itu padanya, tak sedikit pun ia memberitahukan tentang hal itu." Ada perasaan kecewa di dalam wajah Vincent, ia merasa seolah Davin Mahendra memperlakukannya dengan berbeda.     

"Aku yang memohon pada Papa Davin. Bahkan aku dan Imelda sampai berlutut di hadapannya." Brian lalu terdiam dalam suasana hatinya yang tidak terlalu baik. Ia masih sangat penasaran pada potongan cerita yang masih saja belum diungkapkan oleh Davin Mahendra karena sebuah panggilan dari markas.     

Vincent benar-benar tak bisa mengerti adik iparnya itu. Dia tak menyangka jika Brian dan juga Imelda mau melakukan hal itu untuk mengetahui rahasia di balik masa lalu keluarganya.     

"Kamu benar-benar gila, Brian! Bagaimana kamu bisa memikirkan cara itu? Pantas saja Papa memilih untuk mengatakan hal itu pada kalian. Dia pasti tak tega melihat adikku yang hamil itu berlutut di hadapannya," sahut Vincent dengan wajah yang lebih bersemangat dari sebelumnya.     

"Secara spontan aku melakukan hal itu, kemudian Imelda juga langsung ikut berlutut," jelas Brian pada kakak iparnya.     

Setelah mendengarkan itu semua, Vincent mulai memikirkan hubungan antara Adi Prayoga dan juga Irene Mahendra. Ia mencoba untuk memahami hubungan di antara pasangan kekasih itu. Dengan tatapan yang penuh arti, Vincent memandang Brian. Memperlihatkan sorot mata yang begitu penasaran pada sebuah kisah yang baru setengah saja didengarnya.     

"Jika Adi Prayoga dan juga mamaku adalah sepasang kekasih, mengapa justru Papa yang menikahi Mama?" Vincent akhirnya melontarkan sebuah pertanyaan yang sejak tadi sudah ditahannya. Dia tak menemukan secuil pun kebaikan dalam sosok Adi Prayoga. Dalam benaknya, sosok bos mafia itu adalah seseorang yang telah menghancurkan keluarganya. Terlebih bayangan kebersamaan dan juga kemesraan Adi Prayoga kepada ibunya masih terlukis sangat jelas.     

Brian bisa melihat dengan matanya, jika Vincent sama sekali tak melihat kebaikan dari Adi Prayoga. Hanya kesalahan dan juga pengkhianatan yang dilukiskan pria itu setiap kali menyebutkan nama Adi Prayoga. Namun Brian sama sekali tak marah ataupun kecewa kepada Vincent, ia sangat mengerti dan juga memahami perasaan dari kakak iparnya itu.     

"Papa Davin berkata jika semua berawal dari kesalahannya. Sayangnya, beliau tak sempat mengungkapkan hal itu. Ada telepon penting untuk segera mendatangi markas," jelas Brian dalam wajah yang masih saja penasaran dengan kisah cinta di antara dua keluarga itu.     

Vincent justru memperlihatkan senyuman kecut yang melukiskan kekecewaan di dasar hatinya. Ia tak mungkin bisa menghilangkan kebencian pada sosok pria yang bersama ibunya di hotel berbintang sebelum Irene tewas dalam insiden itu.     

"Tak perlu menceritakan yang bagus-bagus soal papamu ... kebencian di dalam hatiku pada sosok Adi Prayoga tak bisa terhapus begitu saja. Setiap kali aku memandang papamu, aku selalu terbayang saat Om Adi membelai Mama dengan sangat mesra. Hal itu benar-benar membuat aku sangat muak," tegas Vincent pada adik iparnya yang seolah sedang membujuknya agar tak lagi membenci Adi Prayoga.     

Jantung Brian seakan baru saja berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ia tak menyangka jika Vincent telah melihat sendiri kemesraan pasangan selingkuh itu. Hatinya seolah ikut teriris membayangkan betapa terlukanya sang kakak ipar saat itu. Entah mengapa, Brian ingin sekali menangis melihat kepedihan di hati Vincent. Namun ia berusaha untuk menahan dirinya, Brian tak ingin kakak iparnya itu justru berpikir yang tidak-tidak.     

"Aku tak pernah bermaksud untuk membujuk Kakak agar tak membenci Papa. Hanya saja, aku berpikir jika Kakak berhak mengetahui kebenaran itu. Tak bisa dipungkiri, Kak Vincent adalah bagian dari keluarga kita." Brian mengatakan hal itu dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin membuat Vincent justru semakin kesal karena ucapannya.     

"Sudahlah, Brian. Walau bagaimanapun, papamu tetap saja bersalah karena telah berselingkuh dengan mamaku, Irene." Vincent langsung bangkit dari tempat duduknya dan berpikir untuk masuk ke dalam kamarnya. Namun ia terlihat ragu, saat tak sengaja memandang Brian yang terdiam dalam wajah penuh kesedihan. Dia pun kembali duduk dan menemani adik iparnya itu.     

Brian memandang pria yang kembali duduk tak jauh darinya. Sebuah tatapan yang terlalu sulit untuk diartikan. Dengan tak bersemangat, ia menatap Vincent yang juga sedang menatapnya dingin.     

"Kenapa Kak Vincent kembali duduk? " tanyanya dalam wajah yang menunjukkan sebuah kesedihan.     

"Terserah aku mau duduk atau berdiri ... ini adalah rumahku sendiri," sindir Vincent pada adik iparnya yang mulai merasa tak enak hati atas jawabannya. Padahal ia sama sekali tak mengatakan hal itu dengan serius, Vincent sengaja ingin menggoda Brian saja.     

Merasa tahu diri, Brian bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri tak jauh dari pria di sampingnya itu. Melemparkan sebuah senyuman hangat yang penuh arti kepada Vincent.     

"Maaf jika aku sudah menyinggungmu, Kak. Aku sama sekali tak bermaksud apa-apa," sesal Brian dalam wajah yang menunjukkan rasa bersalah dan juga penuh penyesalan. "Aku hanya berpikir jika tadinya Kak Vincent mau pergi ... tiba-tiba kembali duduk bersamaku," ungkap Brian dalam keraguan yang terlalu jelas dan tak bisa ditutupinya.     

"Cihhh dasar! Begitu aja sudah kehilangan nyali!" ledek Vincent pada sosok pria yang sudah menjadi adik iparnya itu. "Awalnya aku mau istirahat di kamar, melihatmu seperti anak ayam kehilangan induknya ... membuatku tak tega meninggalkan kamu sendiri di sini," lanjutnya dalam ekspresi yang tidak terlalu ketara.     

Entah Vincent marah atau kecewa, Brian sama sekali tak bisa membaca air muka kakak iparnya. Dia takut jika Vincent justru akan kesal dan juga semakin membenci dirinya. "Aku benar-benar minta maaf padamu, Kak," ucap Brian tulus pada Vincent.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.