Bos Mafia Playboy

Pria Playboy Itu Suamiku



Pria Playboy Itu Suamiku

0Sebuah pukulan langsung dilemparkan Imelda pada kakak laki-lakinya. Tentunya, ia tak terima saat Vincent meledek suaminya dalam nada sinis. Seburuk apapun Brian baginya, ia tetap saja seorang pria yang sangat dicintainya.     

"Pria playboy yang baru saja Kak Vincent sebutkan itu adalah suamiku!" tegas Imelda pada sosok pria yang berdiri tepat di sebelah Laura.     

Rasa cintanya pada Brian telah membuat Imelda sedikit posesif terhadap suaminya itu. Dia tak rela jika ada yang sengaja menjelekkan Brian di hadapannya. Seburuk-buruknya pria itu, tak ada yang boleh menilai keburukan suaminya.     

"Ohhh ... aku lupa jika adik kesayanganku ini sudah tergila-gila pada pria playboy seperti Brian Prayoga," sindir Vincent lagi pada wanita yang sudah memicingkan matanya dan siap untuk menerkam dirinya.     

"Dasar menyebalkan!" teriak Imelda dengan wajah geram dan langsung menghujani Vincent dengan beberapa pukulan di tubuhnya. "Kak Vincent terlalu menyebalkan!" Tanpa henti ia terus memukul kakaknya sampai Brian menghentikan kemarahan istrinya itu terhadap sang kakak ipar.     

Brian menarik Imelda agar menjauhi kakaknya itu. Tiba-tiba saja, ia merasa kasihan pada Vincent. Ada perasaan aneh yang muncul di dalam hatinya. Dia juga melihat jika posisi Laura juga serba salah. Walau bagaimanapun, Imelda juga memiliki hal atas Vincent.     

"Sudah, Sayang. Jangan sampai Kak Vincent kembali terluka karena kemarahanmu," bujuk Brian dalam suara yang lembut dan juga langsung berhasil menghentikan Imelda dari amarahnya.     

Dengan berat hati, wanita itu akhirnya melepaskan Vincent. Ia baru sadar jika kakaknya itu mungkin saja terluka karena ulahnya. "Apa kamu baik-baik saja, Kak?" Tiba-tiba saja Imelda panik melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh kakaknya itu.     

Vincent terlihat menahan rasa sakit di dalam dirinya. Merintih pelan tanpa memandang Imelda yang mulai panik melihat keadaan kakaknya. Sekuat tenaga pria itu mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Vincent tak ingin membuat Imelda menjadi cemas.     

"Apa Kak Vincent baik-baik saja?" tanya Imelda dalam kepanikan dan juga rasa bersalah yang singgah di dadanya.     

Vincent lalu tersenyum hangat pada adik kesayangannya. Ia pun mencubit wanita itu penuh kasih sayang. Merasakan betapa cemasnya Imelda akan dirinya. Namun ia mencoba untuk tetap menahan rasa sakit di dalam dirinya.     

"Aku sedang berpura-pura merasa kesakitan. Apa kamu tertipu?" sahut Vincent sembari tersenyum memandang adiknya.     

"Syukurlah jika Kak Vincent baik-baik saja. Aku sangat khawatir saat melihatmu kesakitan." Imelda terlihat lega saat mendengar Vincent baik-baik saja. Dia sempat berpikir jika pria itu benar-benar kesakitan.     

Vincent beranjak ke ranjang dan mendudukkan dirinya di sana. Rasanya dia tak sanggup untuk berdiri terlalu lama. Untuk menghindari kecurigaan Imelda, duduk adalah cara terbaik untuk menutupi rasa sakit di dalam dirinya.     

"Lebih baik kalian segera pulang. Biarkan aku dan Laura menikmati kebersamaan kami." Vincent sengaja mengusir adiknya itu, agar dia bisa lebih tenang tanpa rasa khawatir apapun pada adiknya.     

"Kalau begitu aku dan Brian pulang, nikmati kebersamaan kalian," pamit Imelda sebelum beranjak keluar dari ruangan itu bersama suaminya. Pasangan itu lalu pergi meninggalkan Vincent dan juga Laura berduaan di ruang perawatan itu.     

Begitu Brian dan istrinya pergi, Vincent langsung menatap Laura penuh arti. "Laura. Tolong panggilkan Dokter Kevin agar segera ke sini," pinta seorang pria yang mulai berbaring di atas ranjang perawatan itu.     

Seolah langsung mengerti, Laura langsung berlari menuju ruangan Kevin. Sampai di sana, dokter itu sama sekali tak terlihat di ruangannya. Wanita itu pun langsung menghampiri beberapa perawat yang berada di sana.     

"Suster! Di mana Dokter Kevin sekarang?" tanya Laura pada beberapa perawat yang berjaga di depan.     

"Dokter Kevin sedang melakukan visit ke kamar pasien," jawab perawat itu cukup ramah.     

Tanpa menunggu lagi, Laura langsung berlari ke kamar pasien yang berada tak jauh dari sana. Wanita itu melihat Kevin sedang memeriksa seorang pasien yang masih rawat inap di klinik itu.     

"Dokter Kevin!" teriak Laura pada teman dekatnya itu. "Ada pasien darurat, Anda harus segera memeriksanya," lanjutnya dengan wajah panik. Wanita itu pun sedikit memaksa Kevin untuk mengikutinya ke sebuah kamar di mana Vincent berada.     

"Apa-apaan kamu, Laura! Apa yang terjadi dengan Vincent?" Kevin juga ikut panik saat melihat pria itu sudah berbaring dengan wajah yang sangat pucat.     

Kevin menghampiri Vincent dan langsung melakukan pemeriksaan pada pria itu. Saat memeriksa lukanya, tak ada infeksi atau pendarahan di sekitar lukanya. "Apa yang kamu rasakan, Vincent?" tanyanya dalam wajah sangat cemas.     

"Rasanya ... dadaku menjadi sangat sesak dan terasa nyeri setelah .... " Vincent tak melanjutkan ucapannya, ia tak ingin menyalahkan adik kesayangannya itu.     

Laura sangat yakin jika Vincent tak mungkin menyalahkan adiknya itu. Dia lebih memilih diam daripada harus mengkambinghitamkan adiknya sendiri.     

"Vincent merasa kesakitan setelah Dokter Imelda mengamuk padanya," terang Laura sedikit ragu karena takut kekasihnya itu akan marah karena telah mengatakan hal itu.     

"Apa! Dulu Brian, sekarang Vincent. Sepertinya Dokter Imelda benar-benar ingin menghabisi kalian berdua," cibir Kevin sambil terus memeriksa tubuh Vincent yang merasakan nyeri yang sangat menyakitkan baginya.     

"Aku akan memberikan obat penghilang nyeri terlebih dahulu. Setelah itu kamu harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui lebih dalam. Aku juga akan menyuntikkan obat tidur agar kamu beristirahat." Tanpa emosi sedikit pun, Kevin dengan santainya mengatakan hal itu pada Vincent.     

Sedangkan wanita yang berstatus sebagai kekasih Vincent itu justru tak bisa langsung menerima ucapan dari teman dekatnya itu. Seolah sebagai dokter, Kevin tidak memperlakukan Vincent dengan serius. Hal itu membuat Laura sedikit kesal pada seorang dokter yang berstatus sebagai pemilik klinik itu.     

"Kevin! Apakah kamu benar-benar tak peduli pada Vincent? Bagaimana kamu hanya bisa memberikan anti nyeri sedangkan dia sangat kesakitan seperti itu?" Laura terlihat tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Sepertinya seluruh keahlian medisnya menghilang saat menghadapi seorang pria yang dicintainya terbaring tak berdaya.     

Kevin memandang Laura dalam tatapan aneh. Dia sama sekali tak mengerti dengan pola pikir wanita itu. Padahal Laura juga seorang dokter, seharusnya ia sedikit banyak tetap mengetahui keadaan mereka berdua.     

"Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu? Bagaimana kamu bersikap seperti itu? Kamu ini juga dokter, setidaknya kamu juga tahu prosedur yang harus dijalani oleh Vincent. Bukan malah menambahkan sesuatu yang tidak berguna sama sekali," tegas Kevin pada seorang dokter anestesi yang juga seorang teman dekatnya selama kuliah.     

"Sepertinya kamu terlalu takut pada Dokter Imelda," sindir wanita itu dalam senyuman sinis yang justru memprovokasi seorang dokter yang selama ini bekerja untuk keluarga Prayoga.     

Sontak saja Kevin cukup geram terhadap perkataan dari teman dekatnya itu. "Jaga ucapanmu, Laura. Jika Vincent mendengarkan ucapanmu, ia tak mungkin bisa memaafkannya," tegasnya dengan wajah sangat serius.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.