Bos Mafia Playboy

Menunggu Kehilangan Nyawanya?



Menunggu Kehilangan Nyawanya?

0Imelda dan juga Laura saling memandang satu sama lain. Mereka berdua sama-sama menaikkan kedua alis matanya. Sambil menahan senyuman di wajah mereka, kedua wanita itu melirik Vincent secara bersamaan. Akhirnya tawa mereka pecah juga, Imelda dan Laura sama-sama terkekeh geli melihat kekesalan seorang pria yang menyebut dirinya seorang supir.     

"Pindah saja ke depan, Dokter Laura. Sepertinya kakakku itu sudah tidak sabar untuk duduk di sampingmu," ledek Imelda pada seorang pria yang seolah telah kehilangan senyumannya.     

"Apakah kamu tak apa-apa duduk di belakang sendirian?" Laura sedikit ragu menanyakan hal itu pada teman seprofesinya yang sebentar lagi mungkin akan menjadi adik iparnya.     

Seolah telah lupa mengkhawatirkan suaminya, Imelda langsung tertawa lepas mendengar pertanyaan itu. Ia berpikir jika kekasih dari kakaknya itu terlalu menganggap remeh dirinya.     

"Awalnya aku malah ingin berangkat sendirian tadi, Dokter Laura," sahut Imelda sembari mendorong wanita yang duduk bersamanya itu untuk segera keluar dan pindah di samping kakaknya.     

Walupun sangat ragu, Laura pun duduk di sebelah Vincent. Ia tak ingin membuat kekasihnya marah ataupun kecewa akan sikapnya itu. Dengan sengaja, ia melirik pria yang mulai menyalakan mesin mobil dan siap berangkat menyusul Brian.     

"Dokter Imelda!" panggil Laura pada wanita yang duduk di kursi belakang. "Dokter Kevin berkata jika Brian memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu." Ucapan Laura itu tentunya membuat Imelda sangat panik.     

Imelda mulai mengkhawatirkan suaminya. Ia kembali gelisah dan tak bisa duduk tenang di kursi itu. "Apakah Dokter Kevin mengatakan hal lainnya tentang suamiku?" tanyanya dengan wajah yang tak karuan. Antara ketakutan dan juga kecemasan yang melebur menjadi satu.     

"Kevin hanya menitipkan beberapa obat ini padaku." Laura pun memberikan beberapa obat yang sengaja diberikan oleh Kevin untuk menantu dari keluarga Prayoga itu. Sejujurnya, ia juga ikut mengkhawatirkan keadaan Brian. Selama ini, Laura bekerja pada Kevin. Secara tak langsung, ia juga bekerja pada keluarga Prayoga. Tentunya ia cukup mengetahui siapa suami dari Imelda itu.     

Dalam tangan yang sedikit bergetar, Imelda menerima obat yang dititipkan Kevin pada Laura. Ia pun memperlihatkan beberapa obat-obatan di tangannya itu. Wanita itu merasa sangat bodoh karena tak mengetahui kondisi kesehatan suaminya. Bahkan ia sama sekali tak mengetahui jika Brian memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu.     

"Aku merasa menjadi seorang istri terbodoh di dunia ini. Bagaimana aku sama sekali tak mengetahui kondisi Brian? Rasanya sangat kecewa pada diriku sendiri," sesal Imelda dalam air mata yang tertahan. Ia merasa sangat berdosa hingga dadanya seolah sangat sesak, begitu menyakitkan untuknya.     

Diam-diam, Vincent memperhatikan wanita yang duduk di kursi belakang itu. Sekilas ia bisa melihat betapa hancurnya Imelda akan kondisi suaminya itu. Namun lama-kelamaan, ia bisa melihat dari kaca mobilnya saat Imelda sedang menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Vincent benar-benar tak tahan melihat pemandangan itu dan langsung menghentikan mobilnya saat itu juga.     

"Jika aku melihat air matamu masih menetes, jangan pikir aku mau mengantarmu sampai di hotel tempat Brian berada," ancam Vincent pada seorang wanita yang langsung menghapus air matanya sendiri dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja.     

"Bawa aku menemui Brian secepatnya, Kak. Kumohon!" Wanita itu benar-benar memohon dengan setulus hatinya pada Vincent. Bahkan Imelda mencoba untuk menahan dirinya agar sang kakak tak marah atas tangisannya.     

Vincent kembali melajukan mobilnya dalam kecepatan penuh. Meskipun mulutnya selalu berkata jika sama sekali tak peduli pada Brian, justru hatinya berkata lain. Ia sangat peduli pada keselamatan adik iparnya itu. Vincent sama sekali tak tahu, mengapa ia begitu peduli pada sosok pria yang sudah menjebak Imelda itu? Meskipun berpikir sangat keras, ia tak pernah menemukan jawabannya. Vincent berpikir jika itu hanya karena pengaruh kedekatannya di masa lalu.     

Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mobil itu memasuki sebuah hotel yang cukup berkelas di kota itu. Vincent menghentikan mobilnya tepat di depan lobby utama hotel itu. Mereka pun langsung turun dan menuju ke resepsionis.     

"Kamar atas nama Brian Prayoga di nomor berapa ya?" tanya Imelda pada seorang wanita yang bekerja di bagian resepsionis hotel.     

Wanita itu memandang Imelda dalam tatapan aneh. Ia merasa jika kehadiran dua wanita di hadapannya itu sedikit mencurigakan. Bahkan penampilan mereka terkesan biasa saja dan tentunya jauh dari kata 'wah' apalagi berkelas.     

"Mohon maaf. Kami tidak bisa memberikan informasi pribadi tamu kepada orang asing." Sebuah jawaban yang sebenarnya terdengar cukup sopan dan juga sangat ramah. Namun berhasil membuat darah Imelda langsung mendidih.     

"Apa Anda bilang? Orang asing?" sinis Imelda pada wanita cantik yang terlihat cukup menarik dan terkesan sedikit menggoda itu. "Saya ini Nyonya Brian Prayoga. Bagaimana Anda bisa melarang saya menemui suami saya sendiri? Mungkinkah Anda juga bekerjasama dengan orang-orang yang telah menjebak suami saya?" Imelda sengaja menaikan nada suaranya dengan beberapa penekanan pada setiap kalimat yang diucapkannya.     

Laura menarik Imelda sedikit menjauh dari meja resepsionis. Ia pun menanyakan sesuatu yang cukup penting yang seharusnya tak dilupakan oleh Imelda.     

"Apa kamu membawa surat nikah?" Laura setengah berbisik kepada adik dari kekasihnya yang sudah mulai terbakar amarah yang begitu membara.     

"Aku lupa tak membawanya, Dokter Laura. Tadi aku sangat terburu-buru untuk meninggalkan rumah," jawab Imelda dalam kekecewaan yang terlalu jelas.     

Tak ingin hanya berdiam saja, Laura mencoba untuk menjelaskan kondisinya pada resepsionis itu. Meskipun tak terlalu yakin, ia berharap jika dirinya bisa membuat wanita itu memberitahukan nomor kamar Brian.     

"Sepertinya Anda salah paham terhadap kami berdua." Laura sengaja memberikan jeda dalam ucapannya itu. Ia berharap agar wanita itu bisa berpikir dengan benar.     

"Wanita yang berdiri di sana adalah istri sah dari Brian Prayoga. Sedangkan saya adalah dokter pribadi dari keluarga Prayoga. Anda bisa mengkonfirmasi langsung pada Brian Prayoga," jelas Laura dengan cukup menyakinkan.     

Wanita di resepsionis itu terlihat bimbang, kemudian ia memutuskan untuk menghubungi kamar Brian Prayoga. Sayangnya, tak ada jawaban dari panggilan yang dilakukannya.     

"Sepertinya Pak Brian Prayoga sedang tidak berada di kamarnya. Sebaiknya Anda menunggu sampai beliau datang," balas wanita itu dengan sopan.     

"Menunggu Anda bilang? Menunggu apalagi? Menunggu sampai suamiku kehilangan nyawanya?" Imelda berteriak tak terkendali saat mendengar wanita itu meminta mereka untuk menunggu. Padahal kondisi Brian mungkin saja sudah tak bisa menunggu lagi. Rasanya ia telah kehilangan akal untuk membuat wanita itu mengatakan nomor kamar suaminya.     

Imelda meletakkan semua barang di tangannya lalu mendekati wanita yang menjadi panik karena teriakan Imelda terhadapnya.     

"Jika kalian tak memberitahukan nomor kamar suamiku, aku akan mendobrak semua pintu di hotel ini satu persatu," ancam Imelda dalam sebuah tatapan yang sangat mematikan.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.