Bos Mafia Playboy

Kotak Keramat



Kotak Keramat

0Begitu meninggalkan Davin Mahendra yang masih memilih berada di atap rumah sakit, Vincent berpikir jika duduk sendirian lebih nyaman. Ia pun memilih duduk di sebuah kedai kopi yang ada di rumah sakit. Duduk sendirian dengan secangkir kopi panas yang menemaninya sudah menjadi momen sempurna untuknya.     

Tak berapa lama, ponsel di dalam saku celananya berdering cukup keras. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menerima panggilan itu. Bahkan ia tak sedikit pun melihat seseorang yang mencoba untuk menghubunginya.     

Setelah beberapa dering, suara itu berhenti untuk sejenak. Ponselnya kembali berdering hingga terasa sangat menggangu telinganya. Lagi-lagi ia tak berniat untuk menerima panggilan dari ponselnya itu.     

Hingga di sering yang ketiga, Vincent mulai berpikir jika panggilan itu bisa saja sangat penting. Ia pun merogoh saku celananya lalu mengambil ponsel miliknya. Terlihat, seseorang yang sangat penting untuknya berusaha untuk menghubungi.     

"Ada apa, Imelda? Apa kamu sudah tak marah dengan kakakmu ini?" sapa Vincent begitu menerima panggilan telepon dari seorang wanita yang sangat disayanginya.     

"Sepertinya kamu sudah memaafkan aku. Di mana kamu sekarang?" Vincent menanyakan keberadaan Imelda. Ia terlihat cukup senang karena adiknya itu sudah memaafkan ucapannya yang sedikit berlebihan.     

"Untuk adik kesayanganku, apapun akan kulakukan," sahut Vincent sembari mendekatkan ponsel di dekat telinganya. Ia pun hanya senyum-senyum saat adik perempuannya sudah tak sabar untuk bertemu dengannya.     

Tak ingin membuat adiknya menunggu lama, Vincent mendatangi meja kasir untuk membayar pesanannya. Meskipun ia tak sempat menikmati kopi dan makanan yang sudah dipesannya, Vincent tentunya sangat senang saat Imelda sudah tak marah lagi padanya.     

Dengan wajah berbinar, ia berjalan menuju taman depan rumah sakit seperti yang sudah dikatakan oleh adiknya itu. Vincent sangat senang saat melihat adiknya berdiri tak jauh dari Brian untuk menunggunya.     

Namun, kebahagiaannya seolah menghilang seketika. Ia baru menyadari jika ada sosok Davin Mahendra yang berdiri di sebelah adiknya. Air mukanya berubah total, ia tak sanggup menyembunyikan perasaannya itu.     

Dalam wajah kesal dan juga sangat kecewa, Vincent menghampiri mereka semua. Melemparkan tatapan dingin yang begitu mengerikan di wajahnya.     

"Apa kamu bersekongkol dengan Papa, Imelda?" tuduh Vincent begitu saja karena sudah naik darah saat melihat ayahnya juga berada bersama Imelda. Ia menyangka jika adik kesayangannya sengaja menghubunginya atas perintah Davin Mahendra.     

"Apa maksudmu, Kak? Persengkongkolan apalagi? Aku sama sekali tak mengerti dengan ucapanmu," sanggah Imelda atas tuduhan yang telah dilemparkan oleh kakaknya sendiri.     

Vincent tersenyum sinis pada wanita yang berdiri cukup dekat dengan ayahnya itu. Ia masih saja tak bisa menerima ucapan Imelda yang seolah sedang berpura-pura kepada dirinya.     

"Jangan berpura-pura bodoh, Imelda. Aku tahu kamu sengaja menghubungi aku agar bertemu dengan Papa." Vincent kembali mencurigai adiknya sendiri, ia hanya menyakini semua yang sedang dilihatnya itu adalah kenyataan.     

"Lama-lama Kak Vincent benar-benar kehilangan akal sehat! Papa memang membujukku untuk menghubungimu agar aku segera berbaikan padamu, Kak. Namun yang kudapatkan sangat mengecewakan. Aku sangat menyesal telah menghubungimu!" Imelda sengaja memberikan penegasan pada setiap ucapannya. Ia tak terima harus mendapatkan tuduhan bodoh yang sangat memuakkan itu.     

Wanita itu melemparkan tatapan tajam pada Davin Mahendra. Ia mencoba untuk memahami ayahnya sendiri. Sayangnya, tak ada pembenaran apapun yang bisa memenangkan hatinya.     

"Apakah Papa sengaja memanfaatkan sekaligus menjebakku?" Sebuah pertanyaan meluncur begitu saja. Imelda tak sanggup untuk menahannya lebih lama lagi.     

"Jangan salah paham, Imelda!" Hanya ucapan itu yang terucap dari mulut Davin Mahendra. Tiba-tiba saja, pria itu seakan telah kehilangan kata-katanya. Ia tak mungkin mengingkari ucapannya. Walau bagaimanapun, ia sempat memiliki niat untuk membuat Vincent mendatanginya.     

Imelda tak ingin mengatakan apapun pada dua pria dari keluarga Mahendra itu. Ia memilih untuk meninggalkan mereka semua.     

"Ayo, Brian! Lebih baik kita tidak berurusan dengan dua pria yang sudah kehilangan akal sehatnya ini." Imelda menarik tangan suaminya dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Ia sudah tak tahan mendengar ataupun melihat kelakuan ayah dan juga kakaknya.     

Brian pun langsung pergi bersama istrinya. Ia tak berani bertanya atau mengatakan apapun pada istrinya. Dari wajahnya saja, ia sangat tahu jika wanita yang sudah duduk di sebelahnya itu berada di puncak kekesalannya.     

"Kita mau kemana, Brian?" Imelda menyadari jika mobil itu menuju ke jalan ke arah rumah kediaman Mahendra. "Mulai hari ini, aku tak ingin tinggal bersama papa dan juga Kak Vincent," tegas menantu keluarga Prayoga itu sangat menyakinkan.     

Jawaban dari Imelda cukup mengejutkan bagi Brian. Ia tak menyangka jika istrinya itu bisa sangat murka dengan dua pria yang menjadi keluarganya itu. Ia pun langsung melajukan mobilnya menuju sebuah villa yang selama ini ditinggali bersama sang istri.     

"Apa kamu yakin tak ingin tinggal di rumah papa, Sayang?" Brian mencoba untuk menyakinkan Imelda jika keputusannya itu tidak akan berubah. Pria itu tak masalah dengan tempat tinggal mereka berdua. Asal bersama Imelda, Brian Prayoga pasti menyetujui keputusan itu.     

Dalam beberapa menit, mobil itu masuk ke sebuah villa dengan penjagaan sangat ketat dengan beberapa orang yang bertumbuh tinggi besar berjaga di sana.     

"Selamat datang kembali, Nona Imelda," sapa salah seorang bodyguard yang bekerja untuk keluarga Prayoga.     

"Terima kasih. Saya akan langsung masuk saja." Sebuah senyuman hangat mengiringi kepergian Imelda memasuki ke dalam bangunan yang terlihat sangat nyaman itu.     

Seperti ucapannya tadi, Imelda memilih untuk langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka lemari pakaiannya untuk mencari pakaian yang akan dipakainya. Namun sudah mengacak-acak lemari, tak ada pakaian apapun yang menurutnya nyaman. Ia lupa jika seluruh pakaian yang sesuai dengan tubuhnya yang sekarang ada di kediaman Mahendra.     

"Brian! Aku pakai kemejaku saja ya ... aku melupakan jika pakaianku masih di rumah Papa. Yang tertinggal di sini sudah tak muat," teriak Imelda pada pria yang masih berbicara dengan beberapa orang bodyguard di depan kamarnya.     

"Iya, Sayang! Pakai saja apapun yang kamu suka," teriak Brian dari balik pintu kamar di mana Imelda berada.     

Merasa sudah mendapatkan persetujuan dari suaminya, Imelda langsung mengacak-acak isi lemari Brian untuk mencari pakaian yang bisa dipakainya. Setelah mencari-cari dan tak menemukan apapun, ia pun mengeluarkan seluruh isi lemari milik suaminya. Namun, ada sebuah benda yang begitu menarik baginya.     

"Bukankah ini kotak itu?" gumam Imelda sembari mengambil sebuah kotak mewah warna emas yang tersimpan di antara pakaian suaminya.     

Wanita itu masih sangat ingat, saat Brian begitu marah saat dulu ia menyentuh kotak keramat itu. Imelda semakin penasaran dengan isi kotak itu.     

"Aku ingin melihat sendiri, apa yang sebenarnya telah disembunyikan oleh Brian selama ini?" Imelda terlihat sangat bersemangat untuk membuat kotak keramat milik suaminya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.