Bos Mafia Playboy

Aku Bukan Pria Murahan!



Aku Bukan Pria Murahan!

0Vincent masih saja mencengkeram kerah baju Martin dalam sebuah tatapan yang memercikan amarah tak tertahan. Seolah sedang kehilangan akal sehatnya, ia telah melupakan jika sahabatnya itu berstatus sebagai pasien di rumah sakit itu. Kakak dari Imelda itu tak peduli lagi dengan apapun, ucapan yang dikatakan oleh Martin telah berhasil memprovokasi dirinya.     

Di saat kedua pria itu saling menatap tajam satu sama lain, tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka lebar. Terlihat Brian dan juga Imelda baru saja masuk ke dalam ruangan itu.     

"Apa-apaan kamu, Kak Vincent!" Imelda berteriak pada kakak laki-lakinya sembari melepaskan tangan Vincent dari kerah baju Martin.     

"Lepaskan aku, Imelda! Aku akan memberikan pelajaran pada pria menyebalkan ini." Vincent masih saja sangat kesal pada sahabatnya itu. Ingin rasanya ia memberikan sebuah pukulan keras pada Martin. Namun hati kecilnya menolak untuk melakukan itu.     

Dengan sekali gerakan, Vincent sengaja mengangkat tangannya. Seolah ia akan melayangkan tamparan ke wajah pria yang masih dalam tahap pemulihan itu.     

"Hentikan, Kak!" Imelda berteriak saat melihat kakak laki-lakinya akan melayangkan tamparan ke wajah Martin. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaannya. Kekasih dari salah satu dokter anestesi itu justru memeluk Martin dalam posisi yang terlihat aneh.     

"Maaf, Martin. Aku terlalu stress memikirkan Laura hingga gampang tersulut emosi," sesalnya masih dalam posisi memeluk sahabatnya itu. Vincent tak peduli jika pasangan suami istri itu justru menertawakan dirinya.     

Martin menahan senyuman dalam dirinya, ia tak mau memperlihatkan jika dirinya terlalu gampang tersentuh dengan sahabatnya itu. Pria itu justru berpura-pura kesal dan sangat marah pada kakak ipar dari Brian Prayoga itu.     

"Lepaskan, Vincent! Aku bukan pria murahan yang bisa kamu peluk sembarangan." Dengan sengaja, Martin mendorong seseorang yang masih saja memeluknya itu. Meskipun di dalam hati, ia merasa lega karena Vincent masih menganggapnya sebagai seorang sahabat.     

Brian dan Imelda saling memandang serta melemparkan senyuman. Mereka berdua merasa geli melihat dua pria yang saling memeluk. Seolah mereka adalah pasangan kekasih yang baru saja bertengkar lalu berbaikan kembali.     

"Jika Eliza melihat kelakuan kalian berdua, ia akan berpikir jika kalian adalah sepasang kekasih yang saling mencintai," ledek Brian yang masih berdiri di sebelah seorang wanita yang terus tersenyum melihat kekonyolan dua pria itu.     

"Belum lagi jika Dokter Laura juga datang ... kalian berdua bisa disuntik mati tanpa perasaan," tambah Imelda diikuti suara tawa yang lepas. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kedua wanita itu, jika mendapati pria yang dicintainya justru sedang berpelukan dengan sesama pria.     

Sontak saja, Vincent langsung mengerucutkan bibirnya. Melukiskan wajah tidak senang sekaligus kesal kepada adik perempuannya. Ia tak pernah menyangka jika Imelda bisa sangat menyebalkan mengatakan hal-hal yang sangat mengesalkan.     

"Sepertinya ... Laura dan Eliza bukan wanita yang kejam sepertimu. Mereka berdua adalah wanita yang lembut dan tak pernah memegang senjata sepertimu," balas Vincent telak. Sebuah jawaban yang tentunya membuat ekspresi Imelda langsung berubah drastis.     

"Bela saja mereka! Sepertinya Kak Vincent sudah tak menyayangi aku. Aku menjadi wanita kejam dan tak berperasaan juga karena kamu, Kak. Jika saja Kak Vincent tak meninggalkan aku pada hari itu, aku tidak akan menjadi seperti ini." Begitu mengatakan hal itu, Imelda memilih untuk langsung keluar dari ruangan itu. Ia sendiri juga tak menduga, jika ucapan Vincent cukup menusuk harinya.     

"Tunggu, Sayang!" Brian langsung mengejar istrinya yang berjalan cukup cepat meninggalkan ruangan itu. Sebagai seorang suami, ia harus bisa menenangkan hati Imelda dan menasehatinya.     

Di dalam ruang perawatan Martin, seorang pria terlihat sangat menyesali perkataannya kepada Imelda. Ia juga tak menyangka jika mulutnya bisa mengeluarkan sebuah perkataan yang terlalu berlebihan dan tentunya sangat menyakiti hatinya.     

"Apa yang harus kulakukan, Martin?" Dalam rasa bersalah sekaligus penyesalan di dalam hatinya, Vincent semakin frustrasi terhadap dirinya sendiri. Kehilangan Laura sudah membuatnya kalang kabut, sekarang ia harus berurusan dengan adik kesayangannya.     

"Kamu terlalu bodoh! Jika aku jadi Imelda, aku pasti sudah mengambil pisau itu lalu menusukkannya tepat di jantungmu. Biar saja aku kehilangan seorang saudara yang tidak tahu diri sepertimu, Vincent." Bukannya menghibur sahabatnya itu, Martin justru menambahkan perasaan bersalah padanya.     

"Apa kamu pernah membayangkan, bagaimana Imelda berjuang mati-matian untuk tetap hidup dan juga bertahan sendirian?" Martin pernah melihat Imelda begitu putus asa saat kehilangan ibunya. Ditambahkan lagi, saudara laki-laki yang dimilikinya justru pergi tanpa mengatakan apapun.     

Teringat cukup jelas saat wanita itu seolah telah kehilangan semua harapan di dalam hidupnya. Sebenarnya, Martin diam-diam mendatangi rumah keluarga Mahendra untuk mencari sahabatnya itu. Ia justru mendengar jika Vincent memilih untuk pergi dari rumah itu. Tak tanggung-tanggung, pria itu berada di daerah konflik di perbatasan.     

Imelda terus terpuruk sendirian, tak ada siapapun yang menemaninya. Davin Mahendra memilih untuk menyibukkan dirinya dalam banyak misi berbahaya hanya untuk melupakan istrinya. Alasan itulah yang membuat Imelda bertekad menjadi seorang dokter yang lebih hebat dari ibunya. Ia juga bertekad untuk bisa bertarung ataupun menembak lebih baik dari ayah dan juga kakaknya. Hal itu yang membuat Imelda terlihat dingin dan juga sedikit kejam terhadap orang lain.     

"Bagaimana aku harus menebus semua kesalahanku itu?"Mata Vincent mendadak berkaca-kaca saat mengatakan hal itu. Ia sadar jika dirinya bukan sosok kakak yang baik untuk Imelda. Itu adalah sebuah kesalahan fatal sepanjang kehidupannya.     

"Meskipun kamu mulai sangat mencinta Laura ... ingatlah, jika Imelda adalah seorang wanita yang seharusnya mendapatkan kasih sayangmu lebih dulu," ujar Martin dalam wajah yang tentunya sangat sedih dan juga tak tega melihat kesedihan Imelda. "Jika kamu tak bisa menyayanginya, ijinkan aku mengambil tempatmu untuk menyayangi Imelda sebagai adikku sendiri," pinta Martin dalam ucapan pelan yang cukup lirih namun terdengar sangat jelas.     

Vincent sama sekali tak bisa memahami ucapan sahabatnya itu. Ia mencoba memikirkan maksud dari perkataan Martin.     

"Apa maksudmu, Martin?" tanya Vincent sangat penasaran.     

"Bukankah sudah jelas! Aku akan menjadikan Imelda sebagai adikku sendiri. Setelah aku sadar jika tak mungkin bisa memilikinya, aku membuatkan hati untuk tetap menyayangi Imelda sebagai adikku sendiri." Martin mencoba menjelaskan sesuatu yang selama ini tertahan di dalam hatinya. Ia merasa jika sahabatnya itu hanyalah menyulitkan hubungan Imelda dan juga Brian.     

Tiba-tiba saja, dua pria itu terdiam dalam sebuah tatapan terpaku yang semakin menajam. Suasana di antara mereka menjadi sedikit menegangkan.     

"Sampai kapanpun, aku akan menyayangi Imelda seperti yang sudah kukatakan sebelumnya," tegas Martin cukup menyakinkan.     

Di luar ruangan, Eliza baru saja berada di depan pintu dan mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Martin.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.