Bos Mafia Playboy

Seolah Telah Kehilangan Harapan



Seolah Telah Kehilangan Harapan

0Waktu bergulir semakin cepat. Tak ada tanda-tanda Eliza berada di rumah sakit itu. Kegelisahan Brian dan Imelda semakin memuncak, terlebih rapat darurat itu sudah dimulai beberapa menit yang lalu.     

"Sial! Eliza benar mempermainkan kita," keluh Brian dalam rona amarah yang melukis wajahnya. Dia sudah tak memiliki keyakinan apapun pada kekasih Martin itu.     

"Diamlah, Brian! Jangan memperkeruh suasana, sebaiknya kita tunggu sebentar lagi." Imelda mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya bergemuruh hebat dan seolah akan meledak.     

Adi Prayoga hanya bisa menyaksikan ketegangan di antara anak dan menantunya. Ia merasa tak berdaya karena tak mampu melakukan apapun untuk menghentikan Natasya. Pria itu sama sekali tak bisa duduk ataupun berdiri dengan tenang. Berulang kali ia mencoba untuk menghubungi Davin Mahendra, namu tetap saja tidak ada jawaban.     

"Davin Mahendra juga tak menjawab panggilanku." Tersirat aura kekecewaan yang sangat dalam, Adi Prayoga tak menyangka jika sahabatnya itu tak mau mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik keluarganya.     

"Kita tunggu sebentar lagi, Pa." Imelda berusaha untuk menenangkan ayah mertuanya juga. Ia yakin jika membujuk ayahnya sendiri terlalu sulit untuknya.     

Hingga tak berapa lama, seorang anggota direksi keluar dari ruangan itu. Ia terlihat cukup terkejut saat mendapati Imelda dan juga Adi Prayoga berada di sana.     

"Mengapa tidak ikut masuk? Bukankah kalian seharusnya juga berada di dalam sana?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari ruang meeting itu.     

"Bagaimana kami bisa berada di dalam sana, untuk masuk saja kami tak bisa. Natasya seolah sengaja ingin menghalangi kehadiran kami semua," celetuk Adi Prayoga dalam kekesalan yang tak mungkin bisa ditutupinya. Ia tak peduli jika semua orang akan menyadari kehancuran rumah tangganya.     

Seorang anggota direksi itu merasa aneh saat Natasya dengan sengaja tak mengijinkan mereka untuk masuk. Ia yakin jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh wanita itu.     

"Apakah ada yang tidak beres dengan Natasya?" tanya anggota direksi itu sangat penasaran.     

Imelda mendekati seorang pria yang merupakan anggota dewan direksi rumah sakit itu. Tentunya pria itu juga sangat mengenal sosok Imelda.     

"Surat kuasa yang dibawa oleh Mama Natasya adalah palsu. Seharusnya pengalihan saham ini tak bisa dilakukan," terang Imelda tanpa menjelaskan dengan detail.     

"Apa! Jadi Natasya berusaha untuk membodohi kita? Bukankah itu melanggar hukum? Kenapa kalian hanya berdiri di sini tanpa melakukan apapun? Sebentar lagi rapat ini akan segera ditutup, lakukan sesuatu untuk menghentikan Natasya." Pria itu ikut panik mendengar kejahatan yang telah dilakukan oleh Natasya. Ia tak menyangka jika wanita bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.     

Imelda langsung terdiam tanpa menanggapi ucapan panjang lebar dari anggota dewan direksi rumah sakit. Ia tak berdaya dan tak tahu harus melakukan apapun. Segala bukti sudah tak berada di tangannya lagi. Hanya kata pasrah yang bisa dilakukannya saat itu.     

"Kami semua tak memegang bukti-buktinya. Tak ada apapun lagi yang bisa kami gunakan untuk melawan Natasya," sahut Adi Prayoga begitu menyadari Imelda telah kehilangan kata-katanya. Ia tak menduga jika segala menjadi di luar kendali. Tak ada apapun yang bisa membantu mereka.     

"Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Sebentar lagi, rapat akan segera ditutup. Begitu semua selesai, kalian tak akan bisa merubah apapun. Apalagi jika semua orang di dalam sana telah mempercayai tipu daya Natasya." Segalanya menjadi lebih sulit dan tak mungkin bisa tertolong lagi.     

Mendengar hal itu, Brian langsung panik dan langsung menghubungi Martin. Sayangnya, pria itu sama sekali tak menjawab panggilan teleponnya.     

"Sial! Martin juga tak menjawab panggilanku," gerutu Brian sembari menarik kasar rambutnya sendiri. Ia benar-benar sangat frustrasi akan keadaan yang sama sekali tak bisa dikendalikannya.     

"Jangan mengganggu Martin. Dia sedang menjalani terapi untuk pemulihan kakinya," seru Imelda begitu mendengar kekesalan suaminya yang semakin tak terkendali.     

Begitu anggota dewan direksi itu kembali masuk, mereka semua seolah telah kehilangan harapannya. Tak ada apapun yang mampu menolong mereka.     

Imelda terlihat pasrah akan keadaan itu, ia tak mampu lagi memikirkan solusi terbaik dalam menghadapi ibu mertuanya. Tanpa sadar, ia terduduk dalam dinginnya lantai rumah sakit. Ia menyesal tak bisa mempertahankan satu-satunya aset peninggalan ibunya.     

"Sayang! Apa yang kamu lakukan? Berdirilah, Sayang. Kamu bisa sakit." Brian mencoba untuk membantu istrinya bangkit dari duduknya. Ia tak tega melihat Imelda duduk diam di lantai tanpa alas apapun.     

Tiba-tiba saja Imelda langsung memeluk suaminya. Ia sudah tak bisa lagi berpura-pura tenang seolah dirinya baik-baik saja. Wanita itu bahkan tak mampu lagi membendung air matanya.     

"Brian .... Sepertinya aku benar-benar akan kehilangan segalanya. Rumah sakit ini satu-satunya peninggalan Mama. Dan aku ... tak bisa mempertahankannya sama sekali," ucap Imelda dalam suaranya yang bergetar dengan suara iringan isak tangis yang tak mungkin bisa ditutupinya.     

Brian yang tadinya begitu kesal dan juga terbakar dalam amarah, mencoba untuk menahan dirinya dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Ia tak mungkin menambahkan beban pikiran pada istrinya.     

"Tenanglah, Sayang. Kita akan memikirkan sebuah cara untuk mengambil kembali semuanya. Aku berjanji akan membuat apa yang seharusnya menjadi milikmu tetap menjadi kepunyaanmu, Sayang." Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan oleh Brian untuk menenangkan hati Imelda. Padahal ia sendiri tak yakin dengan apa yang akan dilakukannya untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik istrinya.     

Segalanya terasa sangat sulit untuk diterima. Lagi-lagi kejahatan selalu saja menang dan menghancurkan segala kebenaran yang ada. Begitu berat bagi Imelda untuk menerima semuanya. Terlebih, sikap Davin Mahendra yang seolah tak peduli akan semuanya itu. Seolah ia sengaja membiarkan Natasya menguasai semuanya. Hal itu menambahkan luka di dalam hati Imelda.     

"Andai Papa mau turun tangan menyelesaikan semuanya .... Segalanya pasti tak akan seburuk ini." Terlukis kekesalan dan kekecewaan yang begitu besar di dalam setiap kata yang terucap dari mulut Imelda. Ia masih saja belum bisa menerima keputusan Davin Mahendra yang tak melakukan apapun untuk menghentikan Natasya.     

"Haruskah Papa menyeret Davin Mahendra kesini sekarang juga?" Adi Prayoga pun menjadi ikut geram dengan keputusan tak masuk akal dari sahabatnya.     

Imelda tersenyum tipis di antara kekecewaan dan juga ketidakberdayaan yang dirasakannya. Ia masih saja mencoba untuk bertahan dari semuanya.     

"Jika Papa Davin berada di sini ... semua juga pasti akan percuma. Tak ada yang bisa dilakukannya, terlebih sebentar lagi semuanya akan selesai. Apa yang masih bisa kita lakukan?" Imelda merasa tak yakin dengan hal itu. Ia merasa telah kehilangan segala harapan yang mampu menyelamatkan dirinya.     

"Apa yang percuma?" Tiba-tiba saja sebuah suara yang cukup familiar terdengar di telinga mereka.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.