Bos Mafia Playboy

Melenyapkan Penerus Mahendra Dan Prayoga



Melenyapkan Penerus Mahendra Dan Prayoga

0"Jangan meledekku, Martin! Aku hanya merasa bersalah, kamu terluka karena menyelamatkanku dan juga Imelda," sahut Brian dalam wajah sedih. Ia sudah tak sanggup lagi menutupi perasaannya itu.     

Martin tersenyum tipis sembari menahan rasa sakit di dalam dirinya. Meskipun seluruh tubuhnya serasa remuk redam, ia tak ingin memperlihatkan rasa sakitnya pada mereka semua. Terlebih kepada Adi Prayoga, ia ingin selalu terlihat kuat di depan seorang pria yang sangat dihormatinya itu.     

"Sebenarnya ... aku sedang menyelamatkan penerus dari keluarga Prayoga dan juga Mahendra." Tiba-tiba saja Martin langsung terdiam setelah mengatakan hal itu. Ada kecemasan yang mendalam tersirat dari sorotan wajahnya. "Tujuan mereka sebenarnya adalah melenyapkan bayi di dalam kandunganmu. Aku mendengar sangat jelas saat Natasya mengatakan hal itu pada Jeffrey," lanjutnya.     

"Apa!" Seketika itu juga wajah Imelda berubah pucat. Ia tak pernah menyangka jika ibu mertuanya ingin menghabisi cucunya sendiri. Rasanya seperti jutaan ton beton baru saja menghimpit dadanya, terasa sangat menyakitkan untuk Imelda.     

Brian yang sejak tadi berdiri tak jauh dari Martin, langsung menghampiri pria yang mengetahui rencana jahat yang dilakukan oleh Natasya. Dia masih belum mempercayai ucapan Martin kepada mereka semua. Dalam ekspresi wajah yang penuh kekecewaan, Brian memandang orang kepercayaan ayahnya itu dengan sangat menyedihkan.     

"Apa kamu mendengar pembicaraan mereka sejak keluar dari restoran, Martin?" tanya Brian pada pria itu. Ia sangat ingat dengan jelas, saat Martin juga ikut pergi begitu Natasya dan juga Jeffrey meninggalkan restoran itu.     

"Sejak menyadari kehadiran mereka di restoran, aku sudah memiliki firasat buruk pada pasangan itu. Makanya saat mereka pergi, diam-diam aku mengintai pembicaraan mereka," jelas Martin dengan menahan rasa sakit yang harus ditahannya.     

Sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka semua, akhirnya Adi Prayoga berjalan ke arah Martin berada. Ia menatap orang kepercayaannya itu penuh arti. Adi Prayoga sangat bangga dengan pria yang sudah cukup lama mengabdikan hidupnya pada keluarga Prayoga.     

"Kita bisa membahas hal ini setelah Martin mendapatkan perawatannya. Lebih baik kita bersiap untuk kepindahan Martin ke rumah sakit yang lebih besar. Papa akan menemui dokter dulu." Adi Prayoga langsung meninggalkan ruangan itu untuk menemui dokter yang menangani Martin. Ia ingin proses kepindahan itu dilakukan secepat mungkin.     

Dalam wajah sedih dengan perasaan yang tak karuan, Imelda mencoba memandang pria yang duduk dalam kondisi yang masih lemah. Ia bisa membayangkan rasa sakit yang dialami oleh Martin. Rasa bersalah semakin menghantui wanita yang sedang mengandung itu. Ingin sekali ia menjerit karena ketidakberdayaannya saat melihat kondisi Martin.     

"Apa kamu tahu jika kamu tidak bisa berjalan saat ini, Martin?" tanya Imelda dalam suara bergetar karena menahan rasa bersalah pada dirinya. Ia tak menyangka jika akan melibatkan Martin sebanyak itu.     

"Tentu saja aku tahu, Imelda. Aku bisa merasakan jika kakiku tak bisa bergerak sedikit pun," jawab Martin dengan senyuman hangat yang terlihat di wajahnya. "Apakah kamu merasa bersalah?" Martin melemparkan pertanyaan balasan pada wanita yang begitu sedih mengetahui kondisi dirinya.     

Bukannya langsung memberikan jawaban atas pertanyaan Martin, wanita itu semakin mendekati pria yang baru saja mendapatkan beberapa jahitan di perut bagian kanannya.     

"Apa yang bisa kulakukan untuk berterima kasih padamu, Martin?" Imelda terlihat sangat bersungguh-sungguh menanyakan hal itu pada sahabat dari kakaknya itu.     

Pria itu mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dari Imelda. Ada sebuah kebahagiaan kecil di dasar hatinya, ketika mendengar dan juga melihat sendiri jika wanita yang disukainya selama beberapa tahun itu begitu peduli terhadap dirinya.     

"Jadilah istriku!" Sebuah jawaban yang membuat wajah Imelda dan juga Brian menegang seketika itu juga. Ditambah lagi, Martin mengatakan hal itu dalam wajah serius seolah bukan candaan atau main-main semata.     

Brian yang mendengarkan jawaban itu langsung terbakar kecemburuan yang dahsyat. Tanpa berpikir lagi, ia menarik kerah baju berlogo rumah sakit yang dipakai oleh Martin. Sepertinya, ia telah melupakan jika status pria yang membuatnya murka itu adalah seorang pasien.     

"Apa maksudmu, Martin? Apa kamu sengaja memakai kesempatan dalam kesempitan?" teriak Brian dalam suara yang cukup nyaring terdengar memenuhi ruangan itu. Ia tak peduli jika dirinya sedang berada di rumah sakit.     

"Hentikan, Brian! Kita sedang berada di rumah sakit. Kondisi Martin juga baru saja sadar setelah operasi. Jangan sampai kamu menambahkan cidera yang baru," bujuk Imelda sambil menarik Brian yang seolah sedang menantang seorang pria yang terduduk di ranjang rumah sakit.     

Seketika itu juga, Martin terkekeh geli melihat kemarahan Brian terhadap dirinya. Ia masih tak percaya jika anak dari bos-nya itu bisa sangat murka. Tanpa henti, Martin tertawa lepas hingga rasanya jahitan di perutnya seolah telah kembali terbuka. Meskipun ia merasakan kesakitan yang luar biasa, ia masih saja ingin menertawai Brian Prayoga. Seorang pria yang sudah menjadi suami sah dari seorang wanita yang dicintainya.     

"Apa kamu kehilangan akal sehatmu, Brian? Jika aku benar-benar ingin merebut Imelda, aku tak mungkin menyelamatkanmu hingga beberapa kali. Bukankah lebih mudah bagiku untuk memiliki Imelda, jika kamu sudah mati?" Sebuah pertanyaan dari Martin seolah langsung membuka mata dan juga hati Brian seketika itu juga.     

Brian menjadi sangat malu akan dirinya sendiri. Ia baru sadar jika Martin sudah banyak berkorban untuknya. Kecemburuan di dalam dirinya terasa seperti sebuah kebodohan yang sangat memalukan.     

"Maaf, Martin. Aku terlalu cemburu hingga membuatku kehilangan akal sehat. Seharusnya aku berterima kasih padamu, bukannya malah menarik kerah bajumu dan menantang seorang pria yang baru saja menyelamatkan nyawa kami," sesal Brian dalam wajah yang tentunya sangat malu. Ia telah kehilangan muka di depan sosok pria yang sudah cukup lama bekerja untuk keluarganya itu.     

"Sudahlah! Aku sudah terbiasa menghadapi kemarahanmu yang terkadang berlebihan dan tidak masuk akal itu. Walau bagaimanapun, kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Bahkan kepedulianku terhadapmu melebihi yang sudah kuberikan pada Marco." Martin terlihat sangat tulus mengatakan hal itu pada suami dari Imelda itu. Semua yang dikatakannya itu adalah kenyataan. Tak pernah sekalipun ia memperhatikan Marco seperti ia memperhatikan keselamatan Brian.     

Mendengar perkataan Martin yang begitu tulus, hati Brian dan Imelda bergetar hebat. Ia tak menyangka jika sosok pria di hadapan mereka itu begitu peduli dan juga rela mempertaruhkan nyawa untuk mereka. Rasanya benar-benar sangat luar biasa dan juga terharu. Mereka bangga bisa memiliki Martin di sisinya.     

Dalam suasana haru yang tercipta di antara mereka, tiba-tiba saja Adi Prayoga masuk dengan sebuah kursi roda yang sedang didorongnya. Pria itu terlihat panik masuk ke dalam ruang perawatan Martin.     

"Cepatlah bawa Martin keluar dari pintu belakang rumah sakit! Beberapa orang polisi datang dan ingin memeriksa korban kecelakaan beruntun itu," perintah Adi Prayoga dengan wajah panik.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.