Bos Mafia Playboy

Permintaan Tak Masuk Akal



Permintaan Tak Masuk Akal

0Laura hanya terkekeh mendengar ledekan dari kekasihnya. Dahulu ... ia pernah benar-benar cemburu pada Imelda. Seakan hatinya serasa hampir meledak menyaksikan kepedulian Vincent pada adik perempuannya.     

Namun seiring berjalannya waktu, ia akhirnya mengerti akan sebuah alasan yang membuat kekasihnya itu begitu menyayangi adik perempuan kesayangannya. Laura merasa malu pada dirinya sendiri atas kecemburuan yang tak beralasan.     

"Kudengar perkataanmu seperti sebuah ledekan yang menohok untukku, Vincent," celetuk Laura dalam wajahnya yang terlihat masam. Namun ia tak mungkin marah ataupun kesal pada calon suaminya itu.     

"Hanya gurauan saja, Calon istriku." Vincent melepaskan adik perempuannya lalu beralih pada kekasihnya. Rasanya tak tega melihat Laura tampak kesal karena sebuah ledekan yang tak berarti.     

Imelda berangsur mendekati suaminya yang masih berdiri sembari tersenyum kecil mendengar perdebatan di antara pasangan itu. Sepertinya tak baik jika dirinya ikut terlibat dalam rumitnya hubungan antara dua kekasih itu.     

"Sebaiknya kita tunggu mereka sebentar .... Jika tak kunjung kembali, lebih baik kita pulang. Laura juga masih harus banyak beristirahat," ujar Vincent pada pasangan suami istri yang tak lain adalah adiknya sendiri.     

"Kak Vincent bisa pulang lebih dulu. Aku takut kondisi Laura menurun karena terlalu kelelahan." Imelda begitu mencemaskan kakak iparnya. Setelah wanita itu tertembak, setidaknya Laura harus lebih banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya.     

Sebuah perhatian yang terasa begitu istimewa berhasil menyentuh hati Laura. Wanita itu tersenyum penuh arti memandang calon adik iparnya yang sedang hamil. Rasanya sangat membahagiakan bisa menjadi bagian dari keluarga mereka.     

"Kamu terlalu perhatian padaku, Imelda. Jangan lupakan jika kamu tengah mengandung penerus Mahendra dan Prayoga," peringat Laura pada calon adik iparnya.     

Imelda tersenyum mendengar hal itu. Sebenarnya ia sendiri juga sadar jika kesibukannya sedikit berlebihan belakangan ini. Namun wanita itu juga tak mungkin menghindar, banyak hal penting yang harus segera diselesaikan untuk secepatnya.     

"Kakak ipar tak perlu khawatir, kondisiku sangat baik. Tentunya ... aku sangat mengerti kondisiku dan bayiku," terang Imelda pada sosok wanita yang masih berdiri tepat di sebelah Vincent.     

Menunggu beberapa saat, Martin dan Eliza tak kunjung datang, mereka berniat untuk meninggalkan ruangan itu dan kembali ke rumahnya. Namun belum juga keluar dari ruangan itu. Tampak dari kejauhan, pasangan kekasih yang terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya.     

Mereka akhirnya menangguhkan niatnya untuk pergi, menantikan Martin dan Eliza untuk kembali ke ruangan itu.     

"Apa kalian akan pergi?" tanya Martin saat melihat mereka semua sudah berdiri di dekat pintu.     

Ada penyesalan di setiap sorot mata Laura, wanita itu menyesal telah membuat mereka semua tak nyaman berada di sana.     

"Maaf .... Aku telah menyulut kesalahpahaman di antara kita. Tak seharusnya aku kesal dan pergi begitu saja," sesak Eliza pada mereka semua. Wanita itu hanya bisa menundukkan kepala tanpa berani menatap mereka satu persatu. Baginya terlalu bodoh telah melakukan hal itu pada mereka.     

"Aku yang bersalah padamu, Eliza. Tak seharusnya aku mengatakan hal itu padamu," sahut Imelda karena merasa telah menyebabkan sedikit kekacauan di antara mereka.     

Kedua wanita itu akhirnya saling menyesali perbuatannya dan berakhir saling memeluk satu sama lain. Hanya sebuah kata maaf mampu meleburkan segala ego dan juga amarah yang kian berkobar di dalam hati.     

Merasa segala urusan telah selesai, mereka semua akhirnya pamit untuk pergi. Namun sebelumnya, Eliza sudah terlebih dulu bangkit dan menghentikan mereka.     

"Tunggu aku sebentar! Tidak bolehkah aku ikut pulang bersama kalian. Rasanya sudah tak betah tinggal di rumah sakit." Eliza mengajukan sebuah permohonan khusus untuk mereka. Dia berharap bisa segera keluar dari sana.     

"Tapi, Eliza ... kondisimu masih belum benar-benar stabil. Akan lebih baik jika kami tetap tinggal di sini," bujuk Imelda karena tak menginginkan sesuatu yang lebih buruk pada kekasih Martin.     

Imelda hanya bisa berusaha untuk membujuk Eliza. Sedangkan segala keputusan tetap berada di tangan pasien. Sebenarnya bisa saja dia membuat Eliza keluar dari rumah sakit saat itu juga. Hanya saja .... Imelda terlalu mengkhawatirkan kondisi jaksa muda itu.     

"Bukankah kalian berdua adalah dokter terhebat? Seharusnya tak masalah jika aku tinggal bersama kalian berdua," cetus Eliza sangat menyakinkan. Dia merasa lebih yakin untuk hidup bersama mereka daripada memilih untuk tinggal di rumah sakit.     

Mereka semua saling memandang satu sama lain. Mencoba untuk mengartikan perkataan Eliza yang baru saja terucap. Rasanya terlalu sulit untuk mengerti wanita itu. Bagaimana bisa mereka harus tinggal bersama tanpa pernikahan? Hanya pertanyaan itu yang terlintas di kepala mereka.     

Sebelum menanggapi ucapan Eliza, terlebih dahulu Brian memandang istrinya. Melemparkan sebuah isyarat pada Imelda. Begitu istrinya mengangguk kepalanya, memberikan sebuah ijin untuk menanggapi perkataan kekasih Martin, Brian baru angkat bicara.     

"Apakah kamu berpikir agar kita semua bisa tinggal bersama? Jelas-jelas itu tak mungkin, Eliza," sanggah Brian karena merasa permintaan itu sangat tak masuk akal baginya.     

"Sebenarnya ... yang aku inginkan begitu." Eliza senyum-senyum sendiri dengan salah tingkah. Dia merasa sedikit malu mengungkapkan keinginannya. "Tapi bukan untuk tinggal di kamar yang sama, Brian! Setidaknya tinggal dalam satu atap yang sama jauh lebih baik daripada di sini," jelas Eliza pada mereka semua.     

Sebisa mungkin, Eliza menjelaskan hal itu agar tak ada kesalahpahaman di antara mereka. Dia tak keberatan untuk tinggal di kamar berbeda dari kekasihnya. Asal dirinya bisa berdekatan dengan mereka semua.     

"Apakah kalian menyetujui permintaanku? Aku yakin jika di rumahmu itu pasti terdapat banyak kamar kosong." Perkataan Eliza itu sama sekali tak salah. Bahkan jika mereka semua menginap di kamar terpisah sekalipun, masih ada aja kamar kosong lainnya.     

Martin tak habis pikir dengan permintaan konyol dari kekasihnya. Dia sama sekali tak mengerti, apa sebenarnya tujuan dari Eliza melakukan hal itu. Rasanya pria itu sama sekali tak bisa mengerti pemikiran seorang wanita dewasa yang siap untuk dinikahinya.     

"Jika keluargamu menyetujui hal itu ... sepertinya tak masalah jika kamu tinggal bersama kami. Atau kamu ingin tinggal di klinik Dokter Kevin saja, Eliza?" tawar Imelda pada sosok wanita yang menginginkan tinggi di kediaman Prayoga.     

Alasan Eliza sebenarnya sangat simpel, dia tak ingin berjauhan dengan kekasihnya. Rasanya sangat tersiksa saat tak bisa bersama dengan Martin.     

"Jangan khawatir, Imelda. Papa pasti akan menyetujuinya. Apalagi jika aku mengatakan akan menikah dengan Martin." Eliza sangat yakin jika ayahnya akan menyetujui segala usulannya.     

Mereka semua sama-sama memikirkan hal itu hingga tiba-tiba saja, pintu kamar itu kembali terbuka. Terlihat Rizal Hartanto dan juga Johnny Hartanto sudah berdiri dan memandang ke arah mereka.     

"Bagaimana kamu seyakin itu, Eliza?" celetuk Rizal Hartanto dalam tatapan dingin ke arah anak perempuannya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.