Mahakarya Sang Pemenang

Dua Tang En Bagian 1



Dua Tang En Bagian 1

0Saat Tang En terbangun, dengan kaget, pada tanggal 1 Januari 2003, ia terduduk di ranjang asrama universitasnya, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Kepalanya berdenyut sakit sekali, dan seluruh tubuhnya seolah lemas kehabisan energi. Setelah membuka mata, dia sama sekali tak bisa mengingat mimpinya. Bahkan Tang En sendiri merasa aneh karena dia terbangun kaget dari tidur siangnya. Saat akhirnya dia pulih dari keterkejutannya, dia duduk di tempat tidurnya dan berusaha keras mengingat mimpinya tapi tetap tak bisa mengingatnya.     

Mengambil arlojinya dari samping tempat tidur, Tang En menemukan bahwa saat itu sudah pukul 15:30. Asrama saat itu benar-benar kosong, dan teman sekamarnya sedang keluar semua. Ini tak ada artinya bagi seseorang sepertinya, yang hanya memiliki sedikit teman dan tidak punya pacar. Selain tidur dan membaca buku, dia tidak bisa melakukan banyak hal. Jadi, setelah memijat pelipisnya sebentar, yang masih terasa sakit menusuk, dia kembali merebahkan kepala ke atas bantalnya.     

Setelah itu, Tang En menemukan bahwa tubuhnya seolah sedang mengalami semacam perubahan yang tak diketahui. Misalnya saja, dia yang selalu mendapat nilai bahasa Inggris sedang-sedang saja, mendapati dirinya bisa sepenuhnya memahami film berbahasa Inggris. Dia juga tiba-tiba saja menjadi lebih akrab dengan hal-hal yang berkaitan dengan Inggris.     

Hal ini bertahan selama sekitar setengah tahun.     

Setengah tahun kemudian, setelah dia lulus dari sebuah universitas di Cina Utara dan pergi ke kota Chengdu untuk mencari pekerjaan, dia sekali lagi terbangun dengan kaget dari mimpinya di suatu malam. Di tengah ruangan yang gelap gulita, dia akhirnya bisa mengingat apa yang terjadi di dalam mimpi itu.     

Di dalam mimpi itu, ada seorang pria dan wanita. Dia tidak tahu nama-nama mereka, tapi dia tahu kalau mereka adalah orang tuanya. Mereka sering bertengkar; ibunya memandang rendah ayahnya karena tak mampu menghidupi keluarga meskipun dia adalah laki-laki. Ayahnya, yang kehilangan pekerjaannya, berada di bawah banyak tekanan. Berhadapan dengan kemunduran yang tak terhitung banyaknya, dia hanya bisa menenggelamkan kesedihannya dengan alkohol. Saat dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, tak diragukan lagi dia akan berhadapan dengan sarkasme istrinya. Tak bisa menang dalam adu argumen melawan istrinya, pria itu hanya bisa menggunakan tinjunya, yang selalu dibanggakannya.     

Itu adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sangat umum terjadi. Mimpinya dipenuhi teriakan wanita itu, seruan marah pria itu, dan suara benda-benda yang hancur. Tang En merasa sangat gelisah; memiliki keluarga seperti itu, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dan tidak ada yang mengatakan padanya apa yang harus dia lakukan. Kedua orang dewasa itu, yang sedang bertengkar dengan sengit, sama sekali tak peduli dengan perasaan anak mereka yang masih berusia enam tahun.     

Bahkan meski dia mengatakan sesuatu, apa gunanya?     

"Bu, aku lapar. Jam berapa kita makan?'     

"Pergi dan cari makananmu sendiri, kalau rumah ini masih punya makanan."     

"Ayah, aku ..."     

"Pergi sana! Jangan ganggu aku!"     

Jadi dia menutup mulutnya, dan benar-benar menutupnya dengan erat.     

Semua yang terjadi di dalam mimpi itu sangat nyata, termasuk perasaan kesepian yang melandanya. Dia tidak tahu di mana dia berada di dalam mimpi itu, tapi dia bisa tahu kalau itu adalah tempat yang sama sekali berbeda dari Cina. Tempat itu tidak familiar, tapi juga sedikit familiar. Dan dia memiliki nama yang tidak sesuai dengan nama-nama tradisional orang Cina: Tony Twain.     

Dia tidak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba menjadi orang Cina... Sebelum ini, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang negara itu. Setelah mencari tahu situasinya, dia menjalani hidupnya dengan panik selama beberapa waktu; jelasnya, Tony Twain yang asli kurang mampu beradaptasi jika dibandingkan dengan Tony Twain palsu.     

Bukan berarti Twain tak punya pikiran untuk memulai kembali di Inggris. Tapi masalahnya adalah pekerjaannya saat itu masih sangat tidak stabil. Bisa dikatakan kalau dia sama sekali tidak punya uang, dan dia masih harus bergantung pada kedua orang tuanya, yang tinggal di desa, untuk membantunya secara finansial. Bagaimana mungkin dia bisa membeli tiket pesawat terbang? Apa yang bisa digunakannya untuk membayar biaya perjalanannya?     

Saat Tang En secara misterius bertransmigrasi ke Inggris dan mencemaskan kelangsungan hidupnya sendiri, hal yang sama juga terjadi pada Tony Twain, yang telah secara misterius bertransmigrasi ke Cina. Dia adalah orang yang pendiam, tapi dia tidak bodoh. Dia bisa menilai situasinya dengan tenang. Sebagai akibatnya, pikiran untuk kembali ke Inggris harus dikesampingkannya dulu dan lebih berusaha memenuhi kebutuhan mendesak dalam menemukan pekerjaan yang stabil agar bisa menghidupi dirinya sendiri. Selama Tahun Baru Cina, dia pulang ke rumah orang tuanya di Cina. Dia benar-benar diselimuti suasana Tahun Baru Cina, dengan seluruh keluarga duduk bersama sambil merayakan festival dengan gembira.     

Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari masa lalunya. Sepanjang yang bisa diingatnya, satu-satunya hal yang memenuhi telinganya adalah suara pertengkaran orang tuanya, serta bunyi benda yang dihancurkan. Saat ia berusia sepuluh tahun, keluarga yang terpecah itu akhirnya tak lagi bisa bertahan. Ibunya, yang masih cukup cantik, pergi bersama seorang pria kaya, sementara ayahnya, yang tak bisa menemukan pekerjaan, hanya bisa melakukan beberapa pekerjaan serabutan. Ayahnya terus menenggelamkan diri dalam kebiasaan minumnya, dan akan melampiaskan kekesalannya pada Twain setiap kali dia mabuk. Setelah Twain berusia delapan belas tahun, dia keluar dari rumah yang dingin itu.     

Saat Twain kembali ke rumah untuk Tahun Baru Cina dan dengan santai mengatakan kalau tempat tidurnya agak dingin di malam hari, ia melihat selimut listrik di tempat tidurnya pada keesokan harinya. Untuk seseorang seperti Twain, yang datang dari latar belakang keluarga tanpa cinta kasih, tak ada yang bisa memahami bagaimana perasaannya saat itu.     

Setelah Tahun Baru itu, Tony Twain sepenuhnya melepaskan ide untuk kembali ke Inggris. Setelah belajar selama satu tahun, ia sudah terbiasa dengan cara hidup di Cina. Meskipun dia masih belum terlalu terbiasa, tapi hal itu tak menimbulkan banyak masalah baginya. Dia merasa bahwa semua yang terjadi pasti sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan-lah yang memberinya keluarga yang tidak kaya, tapi sangat hangat.     

Dia merasa sangat puas, dan merasa baik-baik saja usai bertukar tubuh untuk mendapatkan apa yang sekarang dimilikinya. Tak jadi masalah baginya walau jiwanya saat ini memasuki tubuh seorang asing; dia merasa semuanya akan baik-baik saja selama dia bisa beradaptasi secara psikologis. Apalagi proses adaptasi itu sebenarnya sangat mudah. Tapi menemukan sebuah tempat yang bisa disebut rumah ... itu tidak mudah.     

Dia telah memutuskan untuk bekerja keras dan menghasilkan banyak uang; uang yang begitu banyak hingga orangtuanya, yang bukan orang tua kandungnya tapi yang memperlakukannya jauh lebih baik daripada orang tua kandungnya, bisa pensiun dan tinggal di rumah tanpa mengkhawatirkan tentang pengeluaran mereka.     

Itulah rencana Tony Twain yang asli saat ini.     

Pada bulan Mei 2004, rencana itu sedang dalam proses untuk diwujudkan selangkah demi selangkah, sebelum kemudian Twain bertemu dengan dirinya sendiri di luar Southwest Book City di Chunxi Road.     

Sore itu, Twain baru saja menghabiskan seharian berbelanja di toko buku, dan sedang berdiri menunggu untuk menyeberang jalan dan kemudian naik bus. Sambil menunggu, Twain sedang memeluk beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah Cina saat dia melihat ada orang asing di seberang jalan. Pada awalnya, hal itu tidak terlalu mengganggunya; bukan hal yang aneh melihat ada orang asing di jalan-jalan kota Chengdu. Tapi, dia segera menyadari kalau orang asing itu menatapnya dengan tajam, jadi Twain memutuskan untuk melihat wajah orang itu dengan lebih seksama. Setelah itu, dia mengira kalau dia tidak sedang berdiri di tepi jalan yang ramai, melainkan sedang memandang ke dalam cermin.     

Di dalam cermin itu dia melihat dirinya sendiri setelah satu-setengah-tahun yang lalu. Wajah itu, wajah yang telah dilihatnya di cermin selama tiga puluh empat tahun, kini terlihat di jalanan kota Chengdu dan menatapnya dengan intens.     

Melihat ekspresi orang itu, Twain tiba-tiba saja mendapatkan kesimpulan bahwa jiwa yang saat ini berada di dalam tubuh aslinya, sebenarnya adalah pemilik asli dari tubuh yang kini dimasukinya. Tak ada alasan, tak ada bukti ilmiah, tak ada analisis rasional untuk mendukung dugaannya itu. Tapi dia hanya merasakan familiaritas yang berasal dari lubuk hatinya; semacam resonansi.     

Ketika dia masih berdiri di sana dengan linglung, Tony Twain di seberang jalan berjalan menghampirinya. Di sampingnya, terdapat seorang wanita ... Yah, kalau dilihat dari wajahnya yang masih nampak muda dan belum dewasa, mungkin "gadis" adalah kata yang lebih akurat untuknya.     

Pria itu berjalan dan berhenti di hadapannya, sebelum kemudian bertanya dengan sedikit aksen Nottingham Village, "Tuan, boleh saya bertanya apa Anda tahu arah ke Xinhua Gardens? Kami ingin pergi ke sana ..."     

Xinhua Gardens? Bukankah itu nama tempat dimana aku tinggal? Kenapa dia menanyakan itu? Jangan-jangan dia mengisyaratkan sesuatu?     

※※※     

Tang En merasa kalau dia harus sedikit lebih proaktif saat ini. Kalau mereka tetap membeku di tempat mereka, maka Shania akan segera menyadari kalau ada sesuatu yang salah. Intuisi seorang anak tidak boleh diremehkan. Identitas aslinya dan latar belakangnya adalah rahasia mutlak yang harus dijaga. Itu adalah sesuatu yang tak bisa disinggungnya bahkan di hadapan orang-orang terdekatnya, dan Tang En tak berniat memberitahu Shania.     

Jadi dia menyeberang jalan dan menghampiri orang itu, sebelum berpura-pura menjadi turis yang menanyakan arah seolah dia tersesat. Tang En juga dengan mudah menyebutkan nama tempat yang seharusnya dikenal oleh orang itu. Setelah mengajukan pertanyaan, Tang En menatap pria itu, berniat untuk menemukan jejak informasi yang berguna melalui perubahan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.     

Shania merasa hal ini agak aneh, karena tak ada tempat seperti "Xinhua Gardens" di dalam rencana perjalanan yang telah mereka persiapkan sebelum ini.     

Kalau Tang En yang ini masih dirinya sendiri, maka ia seharusnya merespon pertanyaan itu dengan cara seolah-olah pejalan kaki lain sedang bertanya arah padanya. Dia akan memberitahu Tang En bagaimana caranya dia bisa tiba disana, sebelum kemudian mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan mereka. Dia tidak akan bersikap dingin dan berkata dia tidak tahu meski sebenarnya dia tahu, dan dia juga tidak akan bersikap sangat baik dan menunjukkan mereka jalannya kalau mereka tidak memahami arah yang ditunjukkan olehnya.     

Tapi, tampak sangat jelas bahwa Tang En yang ada dihadapannya ini terlihat bingung setelah mendengarnya menanyakan arah. Apa sesuatu yang sederhana seperti dimintai petunjuk arah akan membuat seseorang menunjukkan ekspresi bingung seperti itu?     

Oleh karena itu, Tang En bisa mengkonfirmasi kecurigaannya bahwa orang di depannya ini jelas bukan dirinya di masa lalu. Sebaliknya, dia adalah orang Inggris yang tidak beruntung itu, Tony Twain.     

"Tuan?" tanya Tang En lagi, menyadarkan Twain dari kebingungannya.     

"Umm, Uh ... Xinhua Gardens itu ada, ada di dekat tempat tinggalku..." Terbata-bata, Tony Twain yang asli menjawab dalam bahasa Inggris. Sudah cukup lama sejak dia bercakap-cakap menggunakan bahasa itu.     

Mendengarnya menjawab seperti itu, Tang En tersenyum. "Itu bagus sekali. Apa Anda akan kembali sekarang? Kita bisa pergi ke sana bersama-sama." Setelah itu, Tang En tidak menunggu jawabannya. Dia hanya mengulurkan tangannya dan mencoba menghentikan sebuah taksi.     

Setelah memahami niat Tang En, Twain yang lain juga tahu apa yang harus dilakukan. Dia berkata dalam bahasa Inggris, "Anda mungkin takkan bisa mendapatkan taksi di sini bahkan meski Anda menunggu selama setengah jam." sambil menunjuk ke depan, dia melanjutkan, "Kita harus berjalan sedikit ke arah sini."     

Di jalan yang sedikit lebih jauh dari tempat mereka semula, mereka bertiga berhasil mendapatkan taksi dengan mudah. Mungkin itu karena si pengemudi melihat ada orang asing di pinggir jalan, dan para pengemudi umumnya menganggap bahwa mendapatkan uang dari orang asing itu lebih mudah.     

Setelah mereka memasuki taksi, Tang En sengaja meminta nama pria itu. Seperti yang diharapkan, jawabannya adalah "Tang En." Tang En yang ini adalah orang yang tidak banyak bicara, dan cocok dengan kepribadian Tony Twain yang asli. Pada saat itu, semua keraguan Tang En telah terjawab.     

Melihat versi dirinya yang duduk dengan tenang di kursi depan, Tang En tiba-tiba berpikir: Walker sudah secara resmi meninggalkan tim, dan dia tidak memiliki asisten manajer yang cakap dengan pemahaman yang cukup tentang Nottingham Forest, dan yang bisa berhubungan baik dengannya. Seorang asisten manajer yang cakap jauh lebih sulit ditemukan daripada manajer yang cakap ...     

Tapi bukankah ada seorang kandidat yang sempurna di depannya saat ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.