Mahakarya Sang Pemenang

Italia Juga Akan Melakukan Hal yang Sama



Italia Juga Akan Melakukan Hal yang Sama

0Lippi, manajer tim nasional Italia, memberikan wawancara televisi sebelum memimpin timnya ke Kejuaraan Eropa UEFA. Di dalam wawancara itu, "rubah perak" yang elegan, dengan cerutu dari 'surga' Tuscany terjepit di bibirnya, berbicara terus terang dan penuh keyakinan saat dia mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh penonton televisi di seluruh Italia:     

"Ini adalah kali terakhirku memimpin tim nasional. Setelah Kejuaraan Eropa ini berakhir, aku akan mengundurkan diri tak peduli apapun yang terjadi. Tentu saja, aku ingin memenangkan kejuaraan. Italia adalah tim dengan kemampuan untuk menang. Aku tidak bisa bicara banyak sebelum kejuaraan dimulai..."     

Sebenarnya, orang-orang di Italia tidak terlalu banyak berharap dengan tim ini. Mereka yakin bahwa tim tuan rumah Spanyol dan tim Perancis, yang tak terkalahkan di babak kualifikasi, lebih besar kemungkinannya untuk menjadi juara dibandingkan dengan Italia. Kalau Italia bertemu dengan tim-tim itu sebelum babak final, sulit untuk mengatakan bagaimana hasil akhirnya nanti.      

Pesimisme Italia ini berasal dari Piala Dunia Brasil dua tahun yang lalu. Dulu, Italia, yang dianggap favorit untuk memenangkan juara sebelum turnamen dimulai, justru tersingkir selama babak penyisihan grup dan harus pulang lebih awal. Tim Italia tidak termasuk ke dalam 'grup maut'. Itu adalah hal yang paling tak terduga saat itu.      

Kekalahan di Piala Dunia kala itu membuat banyak orang meninggalkan tim nasional, termasuk Pirlo yang berusia 35 tahun, Cassano yang berusia 32 tahun, Dossena yang berusia 32 tahun, dan Buffon yang berusia 36 tahun. Tim nasional kali ini adalah tim yang baru dikembangkan dan emreka tidak ada hubungannya dengan tim Italia yang memenangkan Piala Dunia di Jerman satu dekade yang lalu.      

Tapi, sepakbola Italia memang sangat aneh sehingga setiap kali seluruh dunia meremehkan mereka, mereka justru selalu mencapai hasil yang mengesankan. Contohnya, mereka menjadi juara di Piala Dunia tahun 1982 dan 2006.      

Sekarang, mereka juga berhasil lolos sampai ke final, berharap bisa memenangkan Kejuaraan Eropa. Sebagai tim juara Piala Dunia empat kali, mereka hanya pernah menang satu kali di kompetisi Eropa tertinggi, yang tidak sejalan dengan status mereka sebagai salah satu tim kuat di dunia. Orang-orang Italia ingin mengukirkan nama mereka di Kejuaraan Eropa UEFA untuk yang kedua kalinya. Meski orang-orang tidak terlalu optimis tentang mereka sebelum kompetisi ini dimulai, mereka justru berhasil melaju sampai ke final. Maka, kali ini, suara-suara di Italia secara alami sepakat untuk percaya bahwa para prajurit biru yang dipimpin Lippi akan bisa mengalahkan Inggris dan kembali bangkit ke puncak Eropa.      

Untuk menyemangati tim dan diri mereka sendiri, media Italia menggunakan pertandingan yang terjadi enam tahun lalu sebagai contoh. Dalam Piala Dunia Afrika Selatan enam tahun lalu, tim Inggris, dipimpin Capello, tampil dengan baik dan berhasil mencapai semifinal untuk melawan tim Italia milik Lippi. Lippi berhasil menang dalam pertarungan antara dua manajer Italia itu. Media Italia membicarakan kembali pertandingan itu lalu mengatakan, "Lihat, kami punya keunggulan psikologis atas Inggris."     

Pernyataan semacam ini memang terlalu berlebihan, tapi orang-orang Italia masa kini suka mendengarnya.      

※※※     

Sebuah suasana optimis sengaja diciptakan di Italia. Tapi, Lippi merasa tidak ada banyak alasan untuk tetap optimis tentang pertandingan. Sebagai manajer yang berpengalaman di banyak pertandingan, dia telah menghadapi banyak lawan dan memimpin timnya untuk bermain di banyak pertandingan. Dia memiliki pengalaman dan dia tahu bahwa tim Inggris kali ini sangatlah sulit untuk dihadapi.      

Di awal Kejuaraan Eropa UEFA, tim Twain memberikan kesan buruk kepada banyak orang dan di satu titik bahkan nyaris tidak bisa lolos dari penyisihan grup. Tapi, sejak pertandingan melawan Jerman itu, penampilan mereka semakin membaik. Mereka mengalahkan Jerman dengan skor 2:1, mengakhiri rekor tak pernah menang selama 48 tahun atas Swedia dengan skor 2:0, menghancurkan favorit juara, tim Perancis, dengan skor 4:0 dan menyingkirkan tim tuan rumah Spanyol dengan skor 3:1. Hasil semacam ini sangatlah mengesankan. Seseorang harus tahu bahwa mereka pada dasarnya sudah menyingkirkan tim-tim terbaik Eropa dalam perjalanan mereka menuju final. Italia, disisi lain, memiliki jalan yang lebih mudah.      

Kabar baiknya sekarang adalah Inggris telah bertarung habis-habisan melawan semua tim kuat itu dan karenanya mereka pasti mengeluarkan lebih banyak tenaga fisik dibandingkan tim Italia. Selain itu, para pemain Inggris pasti juga lelah mental. Meski Italia memiliki waktu istirahat yang lebih singkat, mereka bermain lebih mudah di semifinal sehingga lolosnya mereka ke babak final bisa dideskripsikan sebagai sebuah "kemenangan tanpa usaha".      

Taktik Lippi cukup sederhana dan tidak sulit ditebak. Dia akan menekankan pada pertahanan sebelum dia menekankan serangan. Tak peduli apa yang terjadi, pertahanan adalah yang terpenting. Tim Inggris menunjukkan kemahiran serang mereka di Kejuaraan Eropa UEFA. Satu-satunya pengecualian adalah mereka tidak berhasil mencetak gol dalam pertandingan melawan Wales. Pertandingan itulah yang perlu menjadi fokus pengamatan Lippi. Pertandingan dimana tim Inggris berhasil mengalahkan lawannya tidaklah banyak berguna untuknya. Hanya kemenangan Wales atas Inggris yang layak untuk dipelajari. Dari sana dia bisa menemukan cara untuk mengalahkan Inggris.      

Lippi sudah mempelajari pertandingan itu secara menyeluruh. Wales berpegang teguh pada pertahanan dan serangan balik. Mereka sengaja menggunakan pendekatan yang lemah dan kemudian menunggu Inggris bersikap sombong dan meremehkan lawan mereka. Setelah itu, mereka menggunakan kemampuan mereka dengan taktik bola mati untuk mendapatkan kemenangan dengan satu gol. Taktik itu sederhana, tapi bekerja dengan sangat efektif. Manajer Wales, Toshack, menggunakan kenyataan bahwa tim Inggris sedang bersemangat tinggi dan sombong usai kemenangan mereka atas Portugal untuk menggunakan set taktik ini, yang akhirnya berbuah manis. Satu-satunya kemenangan mereka di Kejuaraan Eropa UEFA ini membuat mereka lolos ke babak 16 besar.      

Wales tidak menggunakan taktik pertahanan semacam ini dalam pertandingan mereka melawan Italia. Mungkin karena mereka sudah mencapai target pra-pertandingan mereka, mereka lengah dalam pertandingan itu. Mungkin Toshack ingin menunjukkan sisi lain tim, jadi mereka menyerang dengan agresif setelah pertandingan dimulai dan berusaha menjebol gawang Italia. Sayangnya, mereka bertemu dengan lawan yang tidak memberikan peluang bagi mereka – bahkan saat menghadapi tim lemah seperti Wales, Lippi bersikeras memainkan serangan balik defensif. Pertahanan Italia yang tak tertembus membuat Wales harus pulang dengan ekor terselip diantara kaki belakangnya setelah menunjukkan celah di lini pertahanan mereka, yang kemudian dimanfaatkan Italia untuk melakukan serangan balik dan mengalahkan Wales dengan mudah.      

Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, Lippi mungkin ingin Wales menggunakan taktik yang sama seperti yang mereka gunakan saat melawan Inggris jadi dia akan punya peluang untuk menguji seberapa besar pencapaian timnya saat berhadapan dengan taktik pertahanan mereka yang pantang menyerah itu.      

Saat ini dia tidak yakin dengan taktik apa yang akan digunakan Twain untuk melawan Italia.      

※※※     

"Lippi pasti akan menggunakan taktik serangan balik defensif," kata Twain dalam pertemuannya dengan staf pelatih. "Dia telah memimpin timnya untuk bermain dalam banyak pertandingan. Kapanpun dia ingin menggunakan gaya ofensif yang gencar, itu selalu berakhir buruk. Secara pribadi, kurasa ada satu pertandingan yang bisa menjadi rujukan bagus bagi kita. Aku tidak tahu apakah banyak orang masih mengingatnya – itu adalah pertandingan babak penyisihan Piala Konfederasi FIFA 2009 dimana Brasil menghancurkan Italia dengan skor 3:0."     

Setelah dia mengatakan itu, beberapa pelatih yang berpengetahuan luas langsung menunjukkan ekspresi paham. Semua orang masih mengingat pertandingan itu.      

"Lippi menurunkan lineup terkuat yang bisa digunakannya untuk pertandingan itu. Dia ingin menyerang Brasil karena dia perlu mencetak gol dan mendapatkan kemenangan yang kuat agar bisa lolos dari babak penyisihan grup. Formasi 4-3-3 adalah formasi Italia saat itu, dimana Pirlo dan Montolivo berfungsi sebagai inti ganda. Ada pula De Rossi. Tapi, penampilan lineup ini sangatlah tragis. Pirlo sudah tua dan Montolivo kurang memiliki kecepatan dan tidak bagus dalam bertahan. Sementara itu, hanya De Rossi yang diletakkan di lini tengah untuk berhadapan dengan Kaka, Robinho, Maicon, Melo dan lainnya dari Brasil. Italia tidak hanya kalah telak dalam hal skor, tapi mereka juga tidak bisa mendominasi jalannya pertandingan. Pertandingan itu memberikan kejutan besar bagi Lippi dan membuatnya kecewa. Sejak saat itu dia kembali ke taktik lama serangan balik defensif..." kata Twain dengan penuh percaya diri, seolah pertandingan itu tidak terjadi tujuh tahun yang lalu melainkan baru kemarin.      

"Dalam pertandingan final ini, kita tidak bisa berharap Lippi membuat kesalahan yang sama seperti yang dilakukannya saat itu. Kurasa Lippi akan terus menggunakan taktik serangan balik defensif. Mereka punya pemain di lini depan yang bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Selama mereka bisa bermain imbang, kemungkinan besar mereka akan menang. Kita punya dua opsi: pertama, berusaha mencetak gol seawal mungkin lalu memaksa Italia untuk keluar dari benteng mereka dan bertarung melawan kita, jadi kita punya lebih banyak peluang," dia mengangkat dua jari lalu melanjutkan, "Kedua, kita bisa mundur untuk bertahan dan menghindari kebobolan gol. Lalu kita mengulur pertandingan sampai adu penalti dan bertaruh pada keberuntungan kita."     

"Mana yang akan kalian pilih?" tanyanya.      

Semua pelatih berpikir keras.      

Jujur saja, final di turnamen internasional biasanya berjalan membosankan, karena sebagian besar orang memilih untuk bermain konservatif dan memastikan kubu mereka tidak kebobolan sebelum mereka bisa mencetak gol. Kalau kedua manajer tim sama-sama berpikir seperti ini, pertandingan final akan berjalan sangat membosankan tanpa terkecuali.      

Pelatih tertua, Tony Carr yang berusia 66 tahun, menjadi orang pertama yang menyuarakan pendapatnya. Dia berkata, "Kurasa akan lebih baik untuk bersikap hati-hati, Tony. Pertahanan harus diutamakan, dan kita harus memastikan bukan kita yang kebobolan lebih dulu sebelum kita bisa berpikir untuk mengalahkan Italia. Dalam pertandingan final seperti ini, kubu yang kebobolan gol lebih dulu akan menjadi reaktif, khususnya ketika kita berhadapan dengan tim yang dikenal luas dengan pertahanannya yang solid..."     

Twain tidak merespon. Dia tidak mengangguk setuju ataupun menggelengkan kepala untuk menolak sudut pandang itu. Dia hanya memandang para pelatih yang lain, berharap bisa mendengar pendapat mereka.      

"Aku tidak setuju denganmu, Carr tua," kata Steve Wigley. "Kurasa kita harus lebih aktif. Lippi jelas takkan menduga kita akan mengambil inisiatif untuk menjadi agresif di final. Dia akan berpikir seperti yang kauduga, dan kurasa itulah yang bisa kita manfaatkan. Ambil inisiatif untuk menyerang dan berusaha mencetak gol lebih dulu. Kita punya kekuatan untuk melakukan itu," dia mengepalkan tangannya.      

Ketika dia mendengar seseorang menolak sarannya, Carr tidak langsung membalasnya. Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.      

"Kurasa akan lebih baik untuk bersikap konservatif. Ini adalah babak final. Kita tidak boleh membuat kesalahan, setidaknya kita tidak boleh membuat kesalahan lebih dulu," pelatih lain, Steve Gatting, angkat bicara. "Pertandingan final bukan tentang tim mana yang lebih baik, melainkan tim mana yang membuat sedikit kesalahan. Meski kita akan mengulurnya sampai adu penalti, kita masih punya kesempatan untuk menang. Kita hanya perlu memperkuat latihan tendangan penalti belakangan ini."     

Pendapat para pelatih kini dua banding satu, dimana pelatih konservatif saat ini mendominasi.      

Twain mengalihkan pandangannya pada Des Walker. Sebagai seorang asisten manajer, dia juga harus memberikan kontribusi.      

"Aku mendukung saran Wigley," pendapat Walker sederhana.      

Sekarang semua orang kembali memandang Twain. Pendapat yang ada terbagi menjadi dua banding dua untuk pelatih konservatif dan ofensif. Hasilnya imbang.      

Twain tidak segera memberikan jawaban. Kelihatannya, dia masih mempertimbangkannya. Para pelatih konservatif memiliki alasan mereka sendiri dan mereka memang persuasif. Pertandingan final semacam ini dimenangkan oleh tim yang hanya membuat sedikit kesalahan atau bahkan yang tidak membuat kesalahan. Pertahanan konservatif adalah cara yang bisa diambil kalau mereka tidak ingin mengambil resiko.      

Sebenarnya, Twain adalah jenis orang yang akan melakukan segala cara untuk menang dan tidak takut mengorbankan permainan. Dia juga tidak takut dituduh memainkan gaya sepakbola pasif. Selama dia bisa mengangkat piala kejuaraan, dia akan menginjak-injak semua orang yang pernah mencemoohnya.      

Meski demikian, hari ini, Twain tidak ingin melakukan itu. Atau lebih tepatnya lagi, dia tidak berniat untuk melakukan itu.      

"Kalian semua memberikan pendapat yang logis, yang membuatnya sangat sulit bagiku..." Dia sengaja menunjukkan kalau dia benar-benar bimbang.      

※※※      

George Wood, yang baru saja mandi, menerima panggilan telepon dari Gareth Bale.      

"Tebak dimana aku sekarang! George!" Segera setelah dia mengangkat teleponnya, dia mendengar suara Bale yang penuh semangat.      

"Di rumah." Wood tidak mau repot-repot memainkan permainan kekanakan dengan Bale, jadi dia hanya asal sebut nama sebuah tempat.      

"Tsk, kau sangat membosankan! Aku berada di Maladewa! Pohon palem dan pantai berpasir putih, sepuluh juta kali lebih baik daripada cuaca di Inggris! Aku suka sekali disini! Bagus juga tersingkir lebih awal..." kata Bale melebih-lebihkan.      

Mitchell membuka pintu lalu melangkah masuk ke dalam kamar dan melihat Wood sedang menelepon, jadi dia bertanya dengan santai, "Apa itu ibumu?"     

Wood menggelengkan kepalanya dan berkata, "Hanya monyet kecil yang berisik,"     

Mitchell tertawa. Dia tahu siapa yang menelepon.      

"Hey, George!" Bale mendengar kata-kata George dan merasa tidak senang. Dia berkata, "Aku sudah berbaik hati menghubungimu. Bagaimana mungkin kau memperlakukanku seperti ini?"     

"Ada apa?" Wood mengabaikan kejenakaannya dan langsung bertanya.      

"Selamat sudah berhasil mencapai final," kata Bale kecut. Meski tadi dia bilang bahwa tersingkir lebih awal itu menyenangkan, sebenarnya, dia lebih suka tinggal di Spanyol kali ini.      

"Terima kasih."     

"Kudengar lawan kalian adalah Italia, dan ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu. Mungkin ini akan bisa membantumu."     

Wood mengangkat alisnya sebagai jawaban, "Oh?"     

"Apa maksudmu dengan 'oh?'" Bale tahu Wood tertarik. Akhirnya dia mendapatkan perhatiannya.      

"Baiklah, terima kasih. Tolong beritahu aku."     

Bale berdehem dan benar-benar menikmati semua perhatian yang diberikan Wood padanya sebelum kemudian melanjutkan. "Kalau kau bisa bertemu boss, katakan padanya bahwa langkah terbaik adalah menggunakan taktik serangan balik defensif yang konservatif saat melawan Italia..."     

"Italia juga akan melakukan hal yang sama,"     

"Aku tahu! Tapi, ini babak final, bukan pertandingan di penyisihan grup. Tidak ada yang namanya hasil imbang. Meski semua orang bertahan, hasilnya pasti akan ditentukan! Sebuah adu penalti! Kurasa itulah cara terbaik untuk mendapatkan piala kejuaraan. Saat kami bermain melawan Italia, berada di babak 16 besar sedikit membuat kami besar kepala. Semua orang mulai dari para pelatih sampai kami, para pemain, mengira kami bisa menantang Italia. Oleh karena itu, kami berusaha mengambil inisiatif untuk menyerang. Dan hasilnya? Kami kalah telak. Lippi memang licik. Dia menunggu orang lain menyerangnya, lalu dia menunggu kesempatan untuk menyerang balik. Dia benar-benar mirip dengan boss untuk hal ini. Jadi kusarankan agar boss melakukan hal yang sama. Tak jadi masalah kalau pertandingannya tampak buruk untuk ditonton dan juga membosankan. Kau tidak bermain untuk para penonton televisi. Metode ini memberimu peluang yang lebih besar untuk memenangkan gelar juara. Aku yakin pertahanan Inggris takkan ada masalah dengan adanya kau disana. Jujur saja, kalau kami menggunakan taktik yang kami gunakan melawan kalian di pertandingan itu, mungkin kami bisa mengulur pertandingan hingga babak tambahan atau bahkan adu penalti. Sayang sekali..."     

Bale terdiam sejenak. Sudah jelas, dia masih merajuk karena tereliminasi dan tersingkir dari kompetisi.      

"Kalau kami berhasil mengalahkan Italia, mungkin kalian akan bertemu dengan kami di final! Saat itu, kami akan punya keunggulan psikologis sebelum melawan kalian! Haha!" Selama sesaat, suaranya kembali penuh semangat.      

Tidak lama setelahnya, Bale memberitahu Wood tentang para pemain di tim Italia yang harus diperhatikan dan mengingatkan Wood untuk sangat hati-hati terhadap para pemain itu di pertandingan nanti. Semua ini adalah informasi tangan pertama yang diperoleh Bale setelah bertanding melawan Italia. Dia jelas tahu bahwa boss sudah terbiasa mempelajari tim lawan dengan seksama, tapi informasi yang diperoleh dari sudut pandang pemain adalah sesuatu yang baru. Meski hanya sedikit, dia ingin membantu boss.      

Akhirnya, dia baru akan menutup teleponnya setelah selesai membesar-besarkan tentang pemandangan dan cuaca di Maladewa.      

"George," tiba-tiba dia berteriak memanggilnya lagi.      

"Ya?" Wood, yang baru akan mematikan ponselnya, berhenti bergerak.      

"Kau harus menang! Pastikan kau memenangkan gelar juara!"     

"Tentu saja. Kami tidak disini untuk bersaing mendapatkan tempat kedua."     

"Ha, itu bagus, itu bagus..." Bale mencibir dan menambahkan, "Jadi aku bisa berkata –'Lihat, kamilah satu-satunya tim yang tidak berhasil dikalahkan oleh juara Kejuaraan Eropa itu!'"     

※※※     

Hujan turun deras diluar jendela dan angin bertiup kencang di laut. Ombak besar bergulung dan menghantam bendungan buatan di tepi pantai. Pohon palem yang malang membungkuk rendah di hadapan cuaca buruk ini, seolah-olah bisa patah kapan saja. Pantai dipenuhi kabut putih dari percikan air, dan tidak ada yang bisa dilihat di kejauhan.      

Suara deru yang keras tidak bisa diblokir meski jendelanya sudah tertutup rapat. Suara itu menembus ruangan kamar yang diterangi cahaya redup.     

Kepulauan Maladewa jarang mengalami cuaca seperti ini, tapi kadang-kadang ini memang terjadi. Bulan Mei sampai November adalah musim penghujan di Maladewa. Curah hujan yang tinggi ini diakibatkan karena angin monsoon barat daya bertemu dengan cuaca kering yang dibawa angin monsoon timur laut. Cuacanya jadi berangin disertai ombak tinggi dan badai yang kuat. Pada saat ini, turis-turis hanya bisa bersembunyi di kamar hotel mereka dan mendesah putus asa.      

Gareth Bale yang malang menjatuhkan ponselnya dan meregangkan tubuhnya di atas ranjang, bosan setengah mati, memandang ke langit-langit. Dia punya waktu untuk menghubungi Wood karena pacarnya sedang mandi.      

"Sialan! Setelah susah payah datang ke Maladewa, kami justru menghadapi cuaca buruk seperti ini... Ah, pasti akan lebih baik kalau berada di Spanyol..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.