Mahakarya Sang Pemenang

Sedikit Kesepian



Sedikit Kesepian

0Twain tersadar dari lamunannya dan sadar bahwa Shania masih belum turun dari atas. Merasa sedikit aneh, dia melangkah ke atas, dan keduanya bertabrakan di tangga.      

"Ah! Paman Tony..." Shania dikejutkan oleh Twain, yang tiba-tiba saja muncul.      

Twain menatapnya. Kelihatannya dia pergi untuk mengganti pakaiannya.      

"Apa kau mau keluar?" tanyanya.      

Shania mengangguk, lalu dia menarik lengan Twain. "Aku ingin pergi belanja denganmu. Tidak baik selalu tinggal di rumah saja."     

Twain merasa ini saran yang bagus. Akan sayang sekali kalau dia terus mengurung diri di rumah dan tidak memanfaatkan hari libur yang dimilikinya.      

Kalau keduanya akan pergi keluar, mereka perlu sedikit "berdandan" untuk menyembunyikan identitas mereka. Ini sebenarnya dilakukan hanya untuk menutupi identitas Shania. Kalau Twain pergi berbelanja sendirian, dia tidak perlu menyembunyikan identitasnya. Meski dia dikenali di jalanan, itu sama sekali tidak akan jadi masalah. Paling-paling, dia hanya harus mengobrol sebentar, menandatangani foto atau sesuatu semacam itu.      

Seorang manajer juga manusia. Tak peduli betapa terkenalnya seorang manajer, dia memiliki kehidupannya sendiri. Kalau paparazzi ingin mengendus-endus, mengikutinya dan mengambil foto dari hal-hal biasa seperti berbelanja untuk dipublikasikan di surat kabar, bukankah para pembaca akan menyobeknya?     

Oleh karena itu, tidak ada banyak gosip tentang manajer di beragam media Inggris karena manajer biasanya merupakan pria tua yang sudah berkeluarga dan hidup mereka biasa-biasa saja. Reporter dari The Sun boleh saja terus berjongkok dan tetap mengawasi rumah besar beberapa pemain terkenal, membongkar tempat sampah mereka untuk menemukan kaset seks, tapi paparazzi tak akan mengendap-endap di rumah seorang manajer tertentu.      

Shania berbeda dengannya. Saat ini, dia adalah supermodel terpanas di dunia, setiap langkah yang dilakukannya akan sangat menarik bagi semua media hiburan itu. Yang terpenting, kalau media mendengar kabar bahwa Shania, yang biasanya bebas skandal, sedang bergandengan tangan dan berbelanja dengan seorang pria tua, dan pria itu bukan ayah maupun kakeknya, siapa yang tahu rumor seperti apa yang akan beredar?     

Dari sudut pandang itulah, mereka perlu menyamarkan identitas mereka. Meskipun mereka tidak berada di London dan Manchester, dimana paparazzi berkeliaran dengan bebas di jalan-jalan.      

Shania memakai kacamata hitam berbingkai besar yang menutupi hampir separuh wajahnya dan sebuah topi dengan hiasan yang rumit. Dengan begitu, kecuali seseorang menatapnya dengan seksama, mereka takkan bisa mengenalinya. Twain berpakaian lebih kasual. Dia hanya mengenakan kacamata hitam. Keduanya keluar dari pintu dengan saling bergandengan tangan.      

Saat menunggu mobil Landy tiba di depan pintu, Twain melirik Shania, yang memegang tangannya sambil berdiri disampingnya. Dia memikirkan tentang penampilan mereka berdua saat ini. Kalau orang luar melihat mereka, apa yang akan mereka pikirkan?     

Mereka adalah ayah dan anak, bukan? Cocok sekali!     

Meski dia baru berusia tiga puluh delapan tahun, masuk akal kalau orang lain salah mengenalinya sebagai ayah Shania jika dilihat dari penampilannya. Wajah Kaukasia memang terlihat lebih tua.      

Twain tidak ingin terlihat tua di mata orang lain, tapi saat ini dia benar-benar ingin agar orang-orang memandang hubungan mereka seperti itu. Itu lebih baik daripada dilihat sebagai seorang sugar daddy, yang membelikan hadiah-hadiah mewah untuk gadis-gadis muda lalu membujuk mereka ke tempat tidur, bukan?     

Landy datang dengan cepat dan berhenti di depan rumah Twain. Dia melambai ke arah keduanya dari dalam mobil dan tertawa. "Ayah dan anak yang kelihatan rukun sekali!"     

Twain tersenyum lega. Landy tidak mengatakan kalau dia adalah sugar daddy, tapi reaksi Shania setelah itu membuatnya sakit kepala.      

Dengan gembira, Shania berkata, "Ya, ya! Kalau begitu hari ini aku akan memanggilmu Ayah, Paman Tony! Tadinya aku cemas tentang bagaimana aku harus memanggilmu saat kita berada diluar. Sekarang masalahnya terselesaikan! Terima kasih, Landy!"     

Sudut bibir Twain ditarik ke atas dan dia terlihat malu. Dia tidak tahu harus tertawa atau menangis.      

Shania membuka pintu mobil dan menunjuk ke dalam. "Ayo masuk ke mobil, Ayah!"     

Twain menatap tajam ke arahnya dan memasuki mobil tanpa daya. Shania mengikutinya. Setelah dia menutup pintu, dia bertanya, "Kemana kita pergi, Ayah?"     

Si pengemudi, Landy, melihat ekspresi canggung Twain melalui cermin tengah dan tertawa senang.      

"Shania... kita masih belum di tempat umum..." Twain terbatuk.      

"Ini pemanasan! Aku khawatir tidak bisa menjalani peran ini dengan baik dan membongkar kedok kita!" katanya.      

Mata Twain melotot dan dia mengangkat tangan kanannya. "Kalau kau nakal lagi, Ayah akan memukulmu!"     

"Wow. Ayah galak sekali!" Shania berteriak berlebih-lebihan. Dia menunjuk ke arah Twain dan tersenyum puas. "Ayah, aku mau baju baru! Ayah, aku mau mainan baru! Ayah, aku mau uang saku! Boleh kan, Yah... Ayah!" Dia memegang tangan Twain dan bertingkah seperti anak manja.      

Landy tertawa sampai terbungkuk-bungkuk di kursi pengemudi dan hampir tidak bisa duduk tegak.      

Twain khawatir kalau dia akan marah pada Shania, jadi dia berkata dengan kasar pada Landy, "Ayo kita pergi, Landy! Kemudikan setirnya dengan stabil!"     

Shania berhasil menjalankan taktiknya dan bersandar dengan puas ke bahu Twain.      

Landy melirik ke cermin tengah. Tak peduli bagaimana dia melihat mereka, mereka terlihat seperti ayah dan anak... Tapi sayang sekali mereka hanya terlihat sebagai ayah dan anak...      

※※※     

Twain dan Shania kembali ke rumah dengan membawa banyak tas berisi beragam barang saat langit sudah gelap.      

Saat mereka diluar, Shania sepenuhnya memamerkan keterampilan aktingnya. Dia memainkan peran sebagai putri manja yang suka merengek ke ayahnya. Dia akan terus merengek saat melihat sesuatu yang disukainya dan tidak akan berhenti serta bersikeras agar 'Ayah Twain' membelikan itu untuknya. Untungnya, semua hal yang disukainya adalah mainan berukuran kecil dan tidak terlalu mahal.      

"Putrimu sangat cantik, pak!" seorang salesperson yang tidak mengenal mereka akan tersenyum saat Twain membayar di kasir, atau mereka akan berkata pada Shania, "Ayahmu memperlakukanmu dengan sangat baik, Nona!"     

Hal ini seringkali membuat Twain memutar matanya dan Shania membenamkan wajahnya di bonekanya lalu tertawa geli.      

Saat mereka tiba di rumah, Twain meletakkan semua barang yang dibawanya ke atas meja, menjatuhkan diri ke atas sofa, terlalu lelah untuk bangun lagi. "Berbelanja dengan wanita terlalu melelahkan!"     

Shania cemberut. "Semua pria mengatakan itu. Ayah, kau klise sekali! Ah..."     

Saat dia selesai mengatakan itu, dia tiba-tiba saja sadar kalau mereka tidak lagi berada di tempat umum, jadi dia tidak perlu memanggilnya seperti itu.      

Twain menoleh dan menatapnya tanpa daya. Shania menjulurkan lidahnya dan tertawa geli. "Aku jadi terbiasa memanggilmu seperti itu setelah melakukannya sepanjang hari... Aku tidak bermaksud begitu, Yah... Paman Tony!" Dia melihat Twain mengangkat telapak tangannya, jadi dia segera mengoreksi dirinya sendiri.      

"Aku akan marah, Shania!" Twain memperingatkan dengan seringai jahat.      

Shania tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dia membuat wajah usil dan berlari ke lantai atas, sambil membawa banyak boneka lembut.      

Twain terlalu lelah dan dia kembali berbaring. Dia merasakan ada benda yang keras di pinggangnya. Dia bangkit untuk duduk sebelum mengambilnya dan menemukan kalau itu adalah ponselnya.      

Layarnya menyala dan dia terkejut saat melihat ada pesan teks untuknya.      

Baik sebelum maupun sesudah transmigrasinya, Twain tidak suka mengirimkan pesan teks pada siapapun. Dia tidak sabar saat harus mengetik di keyboard ponselnya dengan menggunakan satu jari. Kalau dia punya sesuatu untuk disampaikan, dia akan menghubungi melalui telepon. Orang-orang yang sudah familiar dengannya akan langsung menghubunginya kalau mereka ingin membahas tentang sesuatu. Hanya sedikit orang yang memberinya pesan teks – kecuali kalau panggilan teleponnya tidak bisa terhubung atau tidak ada yang mengangkat panggilan teleponnya. Shania adalah satu-satunya pengecualian. Gadis itu akan mengirim pesan pada Twain untuk mengobrol saat dia sedang bosan menunggu di pagelaran busana. Twain hanya bisa menjawab dengan sabar menggunakan pesan teks.      

Dia membuka kotak masuk dan menemukan pesan teks itu berasal dari nomer yang tidak familiar.      

"Sampai jumpa, Tn. Twain. Semoga kita mendapat kesempatan lain untuk bertanding di masa depan."     

Tak bisa memahaminya, Twain tampak bingung. Pesan teks itu dikirimkan tiga jam yang lalu, saat dirinya dan Shania sedang pergi berbelanja dan memainkan peranan seorang "ayah yang menyayangi putrinya."     

Dia menatap rangkaian nomer itu selama beberapa waktu dan tidak bisa memikirkan siapa pemilik nomer itu. Dia ingin menghubunginya untuk mencari tahu, tapi saat dia melihat pesan teks yang tidak memperkenalkan identitasnya itu, dia tidak ingin ikut campur. Siapapun itu dan masalah apapun itu, dia hanya akan membiarkannya.      

Sudut bibirnya ditarik ke atas dan dia meletakkan jarinya di tombol 'Hapus pesan teks'. Tapi dia memikirkannya lagi, dan akhirnya memindahkan jarinya.      

"Shania, apa kau lapar?" seru Twain sambil memandang ke lantai atas.      

"Sedikit!" Shania balas berteriak.      

"Aku akan membuatkanmu masakan Cina yang enak hari ini!" Setelah mengatakan itu, Twain bangkit berdiri dan menyibukkan dirinya sendiri di dapur.      

Tidak lama kemudian, Shania sudah mengganti pakaiannya dan datang untuk membantu. Gadis itu penasaran dan ingin belajar bagaimana memasak masakan Cina dari Twain.      

Keduanya sangat sibuk di dapur, tapi mereka juga sangat senang.      

Twain melupakan tentang pesan teks aneh itu ditengah suara tawa dan pembicaraan yang ceria.      

※※※     

Keesokan harinya, Twain bangun lebih pagi. Dia akan kembali bekerja hari ini. Dengan Dunn tidak ada, dia harus menyibukkan diri dengan banyak hal.      

Di meja makan, dia mengambil koran dan, karena kebiasaan, membuka bagian olahraga.      

"Hey, Paman Tony!" Shania menemukannya membaca koran sambil makan. Gadis itu mengerutkan kening.      

Kali ini, Twain tidak mendengarkan kata-kata Shania dan meletakkan koran itu, dia masih terus memegangi koran itu seolah-olah dia kerasukan.      

"Paman Tony, Paman Tony..." Shania mengambil koran dari tangan Twain. Twain tidak mencelanya. Gadis itu terkejut saat melihat Twain mengeluarkan ponselnya.      

Shania melirik ke arah koran yang mengubah kelakuan Twain, dan sebuah tajuk besar di dalamnya tampak sangat mencolok:     

"Selamat tinggal, Jose – Jose Mourinho meninggalkan Chelsea"     

Subjudul dibawahnya berbunyi:     

"Abramovich: Ini adalah perpisahan baik-baik."     

Shania tahu siapa Mourinho dan Abramovich, dan dia paham mengapa Paman Tony bertingkah seperti itu.      

Twain mencari pesan teks yang diterimanya kemarin dan menghubungi nomornya.      

Saat suara Mourinho terdengar di ujung telepon yang lain, Twain tertegun dan tidak tahu harus mengatakan apa. Dia menghubungi si pengirim pesan itu karena dorongan hati dan tidak benar-benar memikirkan apa yang akan dikatakannya kalau teleponnya tersambung.      

"Halo? Tn. Twain, kalau kau menghubungiku pagi-pagi seperti ini hanya untuk membangunkanku dan membuang-buang tagihan teleponmu, maka aku takkan keberatan untuk meletakkan ponsel ini dan melanjutkan tidurku."     

"Ah, ah..." Setelah dia mendengar sarkasme Mourinho, Twain kembali normal. "Yah... sial, aku baru saja membaca berita dan tiba-tiba ingin menghubungimu. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan... Bagaimana kau bisa tahu nomer telponku kemarin?"     

"Jorge yang memberikannya padaku." Jorge Mendes adalah agen Pepe dan Rafinha yang sekaligus juga bisa dianggap sebagai "kenalan lama" Twain.      

"Oh..." Nada suara Twain mengisyaratkan "itu saja" tapi dia tidak memikirkan apa yang akan dikatakannya setelah itu.      

Justru Mourinho-lah yang menyelamatkannya. "Apa berita kepergianku sangat mengejutkan sampai-sampai Tn. Twain, yang selalu banyak akal dan berlidah tajam, tidak tahu harus mengatakan apa?"     

Otak Twain jadi sedikit lebih jernih untuk menjawab, "Tidak, aku sudah tahu sejak awal kalau kau akan meninggalkan Chelsea."     

Mourinho jadi sangat tertarik mendengar kata-katanya itu. "Oh? Sejak kapan?"     

"Sejak hari kau menjadi manajer Chelsea."     

Mourinho tertawa dengan suara rendah.      

"Aku tidak bercanda. Kau dan Abramovich memiliki kepribadian yang berbeda. Salah satu dari kalian pasti akan pergi, cepat atau lambat. Ketua klub lebih kecil kemungkinannya pergi meninggalkan klubnya dibandingkan dengan manajer, jadi kurasa kaulah yang akan pergi nantinya."     

Mourinho mendengarkan analisa Twain ini dengan penuh minat dan kemudian bertanya, "Kau... juga selalu dianggap sebagai pria yang sulit. Jadi kenapa kau masih bisa bekerja dengan baik sebagai manajer Nottingham Forest?"     

"Bosku lebih pandai daripada bosmu. Dia tahu kapan harus melepaskan tanggungjawab, mendelegasikannya kepada bawahannya dan mengorbankan kepribadiannya untuk memenuhi kepentingan yang lain..."     

Di ujung telepon yang lain, Mourinho mendengus. "Ya, kau benar tentang itu." Dia kelihatannya sedang mengangguk dan berbicara secara bersamaan.      

Setelah hening sejenak, Twain bertanya, "Boleh aku bertanya apa yang akan kaulakukan setelah ini, Tn. Mourinho?"     

"Aku punya perjanjian dengan Chelsea dan tidak bisa melatih tim Liga Utama manapun tahun depan. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan lebih banyak "fee perpisahan". Lagipula, aku ingin beristirahat dulu selama beberapa waktu." Bisa jadi inilah pertama kalinya Mourinho dan Twain berada dalam suasana tanpa saling menodongkan belati dan tanpa komunikasi yang meledak-ledak.      

Perasaan ini sangat menyegarkan dan menyenangkan sampai-sampai Twain lupa dengan sarapannya. Shania juga tidak mendorongnya untuk makan. Dia hanya menunggu dengan tenang di sampingnya.      

"Kalau begitu, apa aku boleh mentraktirmu minum?" Twain mengungkit topik lama itu lagi.      

Mourinho menganggapnya aneh dan bertanya, "Kenapa kau sangat terobsesi dengan mengajakku minum, Tn. Twain?"     

"Aah, err... Salah satu alasanku menjadi pelatih: memanfaatkan posisiku dan minum dengan semua manajer terkenal di dunia setelah pertandingan usai."     

Mendengar alasan aneh Twain itu, Mourinho tertawa. "Hanya di Inggris. Masih ada tradisi aneh seperti minum setelah pertandingan, Tn. Twain. Tapi aku masih akan menolakmu."     

"Kenapa?" tanya Twain.      

"Karena kita masih musuh. Aku tidak bilang kalau aku akan melepaskan sepakbola dan pensiun. Kau masih terus melatih Nottingham Forest dan kelihatannya tim-mu juga takkan didegradasi dalam beberapa tahun ke depan. Tim-mu masih akan sering berada di turnamen top Eropa... Jadi, Tn. Twain, kita masih punya kesempatan untuk bertanding melawan satu sama lain. Selama kesempatan itu masih ada, kau masih musuhku. Aku tidak pernah minum dan bersenang-senang dengan musuh."     

"Baiklah." Twain menyerah dengan gagasannya itu. "Apa kau akan kembali ke Portugal?"     

"Ya, pulang ke rumah dan beristirahat."     

"Kau tidak kembali ke Inggris?"     

"Tidak, aku tidak menjual rumahku di London. Perjanjian itu hanya menyatakan kalau aku tidak bisa melatih tim Liga Utama selama setahun, tapi itu tidak menyatakan bahwa aku tidak bisa melakukannya setahun setelahnya. Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa mendatang?"     

"Baiklah. Semoga kau beruntung."     

"Semoga kau juga beruntung, Tn. Twain."     

Setelah menutup telponnya, Twain memandang Shania dan Shania menatap balik ke arahnya.      

"Kau tidak terlihat senang, Paman Tony," kata Shania sambil memiringkan kepala untuk memandang Twain.      

"Kenapa kau mengatakan itu?" Twain tidak menyangkalnya. Dia hanya bertanya.      

"Aku tidak tahu. Hanya perasaanku saja. Kau tidak senang."     

Twain tersenyum. "Aku seharusnya senang."     

"Kenapa?"     

"Karena lawanku yang kuat akan berkurang satu." Twain menunjuk ke koran. "Tapi apa yang kupikirkan adalah: 'Ya Tuhan, lawan yang menarik berkurang satu!' Aku tidak bisa memikirkannya dengan perasaan senang. Kau benar Shania. Aku tidak senang. Aku merasa sedikit kosong di dalam. Ini seperti... ini seperti, kehilangan seorang teman yang sangat penting..."     

Twain tertawa lagi untuk menghibur dirinya sendiri.      

"Apa kau pernah mendengar sesuatu seperti ini, Shania? 'Sebenarnya, orang yang paling tahu siapa dirimu dan paling peduli padamu adalah musuh terbesarmu'. Lihat saja apa yang dikatakan oleh koran ini..." Dia mengambil koran dan menunjuk ke arah foto Mourinho yang sedang melambaikan tangan dengan tulisan kecil dibawahnya, dan dia membaca, "Selamat tinggal, Jose. Tanpamu, Liga Utama Inggris akan terasa sepi."     

"Untuk pertama kalinya aku setuju dengan The Sun. Aku merasa sedikit kesepian."     

Shania memandang Twain, yang masih menatap koran, tanpa mengucapkan sepatah katapun.      

※※※     

Saat Twain tiba di gerbang kompleks latihan Wilford, dia menemukan sejumlah reporter yang berkumpul disana. Dia merasa sedikit terkejut. Bukankah seharusnya pusat perhatian dunia terarah pada Stamford Bridge di London? Pemecatan Jose Mourinho, manajer fanatik, bisa dianggap sebagai sebuah berita sensasional di dunia sepakbola.      

"Kenapa kalian semua ada disini?" Twain memandang para reporter. "Apa kalian tidak pergi ke London? Hal-hal besar terjadi disana.'     

Salah satu reporter melangkah maju. "Kelihatannya Anda sudah tahu, Tn. Twain."     

"Berkat kalian para reporter, aku mengetahuinya saat sedang sarapan." Sebenarnya, dia sudah tahu kemarin malam.      

Para reporter melanjutkan, "Menurut beberapa asisten terpercaya Abramovich, pria Rusia itu mengagumi hasil kepelatihan Anda dan ingin agar Anda pergi ke Stamford Bridge. Kami berada disini untuk mengkonfirmasi..."     

Sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya, dia disela oleh suara tawa Twain. Twain tertawa senang. Dia benar-benar senang dan jelas tidak hanya berpura-pura.      

"Terima kasih sudah membiarkan aku mendengar lelucon paling lucu hari ini. Terima kasih, Tn. Reporter," kata Twain kepada para reporter yang kebingungan setelah tawanya reda.      

"Tidak, ini bukan lelucon. Ini benar, aku punya sumber informan orang dalam yang bisa dipercaya..." Reporter itu merasa kalau integritasnya dipertanyakan dan dia menekankan kredibilitas sumbernya dengan sangat serius.      

Karena dia tampak serius, Twain tampak muram.      

"Yah, kalau apa yang kaukatakan itu memang benar, bahwa kau punya sumber orang dalam yang menjadi orang kepercayaan Abramovich dan dia mengatakan padamu kalau Abramovich tertarik padaku, maka aku ingin kau memberikan pesan balasanku pada orang kepercayaan itu dan Tn. Abramovich sendiri."     

Sekelompok reporter berdiri mendekat dan menyalakan ponsel serta pena perekam mereka, bersiap untuk merekam tanggapan Twain terhadap rumor itu. Para reporter televisi menyodorkan mikrofon mereka ke arah Twain dan lensa kamera mereka menyorot ke arah pria itu.      

"Tn. Roman Abramovich yang terhormat..." Twain berdehem dan menatap langsung ke arah kamera.      

"Sialan kamu!".      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.