Mahakarya Sang Pemenang

Provokasi Bagian 2



Provokasi Bagian 2

0"Des, aku tidak ingin hal-hal semacam ini mengganggu pertandinganku."     

"Hmm?"     

"Aku ingin bangkit kembali di sisa pertandingan! Aku ingin membuat para fans yang mengejek dan mempermalukan kita, serta manajer idiot itu, menyadari konsekuensi yang harus mereka tanggung karena telah melakukan ini!" Tang En menunduk dan melihat arlojinya, sebelum berjalan ke arah ofisial keempat yang dahinya penuh keringat.     

"Kusarankan kita memberlakukan istirahat paruh waktu lebih awal." Tang En menunjuk ke arah lapangan, dan berkata kepada ofisial keempat, "Saat ini hanya ada satu menit tersisa sebelum akhir babak pertama. Aku tak ingin membiarkan para pemainku terus menunggu di lapangan seperti itu. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan oleh fans gila seperti mereka? Kalau mereka bisa menembus barikade polisi dan menyerang pemainku, apa Anda mau bertanggungjawab untuk itu? Akhiri babak pertama sekarang, dan kami akan kembali ke ruang ganti. Serahkan semua yang terjadi disini kepada polisi!" Permintaan yang diajukan pada ofisial keempat membuat keringatnya semakin mengucur deras ...     

McLeary, manajer Millwall, juga mendekati ofisial keempat di saat yang sama untuk memberikan pendapat yang sama.     

Tang En tak ingin berada di sisi yang sama dengan McLeary dan berbalik untuk pergi saat dia melihat McLeary mendekat. Karena kejadian barusan, Tang En tak bisa memandang orang itu secara positif.     

Karena manajer kedua tim meminta akhir babak pertama lebih awal, ofisial keempat memanggil wasit dan berdiskusi dengannya sebentar. Setelah itu, wasit meniup peluit di pinggir lapangan, menandakan akhir babak pertama. Para pemain kedua tim mulai berlari menuju ruang ganti, dan terlihat jelas bahwa mereka sendiri merasa bahwa bertahan di lapangan adalah hal yang sangat berbahaya. Kerusuhan para fans seharusnya diserahkan kepada polisi untuk ditangani. Bahkan jika mereka tetap berada di lapangan, tak ada yang bisa mereka lakukan.     

Tang En melihat pemandangan yang diharapkan olehnya dan ikut berjalan menuju ke ruang ganti.     

Dengan begitu, babak pertama pertandingan perempat final EFL Cup berakhir dengan kekacauan dan kerusuhan.     

※※※     

Semua pemain memasuki ruang ganti. Bahkan pemain cadangan, yang seharusnya melakukan pemanasan di lapangan saat turun minum, dipanggil oleh Walker. Akan sangat berbahaya jika mereka tetap melakukan pemanasan dalam situasi seperti itu.     

Tang En berdiri di pintu ruang ganti dan melihat para pemain berlari ke dalam ruang ganti dengan kepala tertunduk.     

Dibandingkan dengan para pemain Nottingham Forest yang merasa tertekan, para pemain Millwall yang sedang unggul merasa sangat bersemangat. Meskipun terjadi kerusuhan, suasana hati mereka hampir tak terpengaruh. Bahkan ada pemain yang sengaja tertawa keras sambil mendiskusikan gol yang dicetak Cahill saat mereka berjalan melewati ruang ganti Nottingham Forest, seperti bek tengah Australia, Kevin Muscat.     

Mendengar tawa tak menyenangkan yang terdengar seperti bebek jantan, Tang En melotot ke arahnya. Si Muscat, setelah melihat bahwa ia berhasil menarik perhatian Twain, hanya mengangkat bahu dengan sombong sebelum melangkah pergi bersama rekan-rekan setimnya yang tertawa.     

Tang En membalikkan badan dan menutup pintu setelah memasuki ruang ganti. Akibatnya, tawa dan suara bising dari luar tak lagi terdengar.     

Melihat ruangan yang penuh dengan para pemain yang murung, Tang En merasa seolah-olah dia kembali ke masa lalu. Ini persis pemandangan yang dilihatnya ketika dia tiba disini pertama kali pada bulan Januari.     

Tentu saja ada beberapa aspek yang berbeda, seperti misalnya, Tang En pada saat itu masih bingung dan tidak tahu tentang apa yang akan terjadi pada masa depannya. Waktu itu, dia seperti orang yang sedang berjuang agar tak tenggelam. Dia ingin menjangkau apa pun yang bisa menyelamatkan hidupnya, bahkan jika benda itu hanyalah sebuah sedotan.     

Dan sekarang? Dia punya tujuan untuk dicapai, dan dia tahu apa yang dia lakukan saat ini, serta apa yang seharusnya dia lakukan. Dia tidak lagi tersesat tanpa tahu harus kemana, tidak lagi bingung, dan tidak lagi ragu-ragu ... Hatinya kuat, dan kakinya berpijak di tanah yang kokoh. Setiap langkah yang diambilnya akan meninggalkan jejak kakinya, dan jejak kaki ini terakumulasi dari sini dan meluas hingga jarak yang jauh.     

Ini adalah jalannya menuju kejayaan, jalannya untuk menjadi juara.     

Kepala semua orang tertunduk, dan tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan di ruang ganti itu sangat mencekik. Bahkan beberapa ratus kali lebih mencekik daripada yang terjadi di kereta bawah tanah.     

Walker sangat ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah melihat wajah-wajah muram Tang En dan para pemain, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Mengatakan sesuatu seperti "Kita pasti akan menang"? Tapi siapa yang akan mempercayai kata-kata itu, yang sama sekali tak terdengar meyakinkan? Atau mengatakan sesuatu seperti "Semuanya, ayo bersemangatlah"? Tapi apa gunanya dorongan semangat yang dangkal seperti itu?     

Dia berharap Twain akan mengatakan sesuatu saat itu. Terlepas dari apa yang dia katakan, bahkan jika dia hanya akan membuat keributan, itu akan jauh lebih baik daripada membiarkan kesunyian di ruangan ini terus berlanjut! Semangat tim ... Semangat tim akan mati lemas di keheningan yang tak tertahankan ini!     

Tony!     

Walker menoleh dan memandang ke arah Twain, tapi dia melihat mata Twain terpaku pada dinding seberang ruang ganti, seolah ada sesuatu yang sangat menarik disana.     

Akhirnya, seseorang tak tahan lagi dengan suasana yang canggung ini dan memecah kesunyian dengan terbatuk. Setelah itu, semakin banyak pemain yang mengangkat kepala mereka, dan menatap manajer mereka dengan aneh.     

Gerakan-gerakan itu akhirnya berhasil menarik perhatian Tang En. Dia melihat wajah-wajah penasaran para pemain dan tertawa. "Maaf, aku hanya teringat beberapa hal."     

Saat ini di tim, ada beberapa pemain yang belum pernah dipimpin olehnya di musim lalu. Mereka adalah Rebrov, Gareth Taylor, Gunnarsson, dan Danny Sonner. Tang En ingin memberi tahu mereka tentang situasi serupa di musim lalu.     

"Hmm, aku teringat beberapa hal di musim lalu saat aku pertama kali mengambil alih tim ini." Tang En tidak terburu-buru mengatur taktik dan, sebaliknya, malah mulai menceritakan sebuah kisah. "Saat itu, situasi tim bahkan lebih buruk daripada sekarang. Ya, seberapa buruknya ... Krisis keuangan, tak ada uang untuk biaya transfer, dan bahkan semua uang yang diperoleh dari transfer pemain harus digunakan untuk membayar hutang. Tim berada di peringkat tengah klasemen, dan semua orang ingin pergi dari stadion City Ground. Kita mengalami beberapa kekalahan beruntun, dan kita kalah 0:3 di stadion kita sendiri dalam pertandingan pertama yang kuarahkan. Aku bahkan ditabrak David, membuatku terlihat konyol." Tang En berhenti di sini dan menunjuk ke Johnson, menyebabkan pemuda kulit hitam itu menundukkan kepalanya karena malu.     

"Situasinya sangat buruk, dan mereka yang berada di tim pada musim lalu pastilah mengingatnya dengan jelas. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa kita akan menghadapi tim Liga Utama West Ham United dalam pertandingan berikutnya. Meskipun saat ini mereka sudah menjadi tim Liga Satu seperti kita, tapi mereka masih sangat kuat saat itu. Pertandingan itu ..." Tang En mengangkat kepalanya. Pertandingan itu benar-benar takkan terlupakan baginya. "Di akhir babak pertama, kita kebobolan tiga gol saat melawan mereka. Parah bukan? Itu benar-benar sangat parah!"     

Meskipun dia mengatakan itu, Tony Twain mulai tertawa geli.     

Para pemain lama di ruang ganti juga mengikuti contohnya dan mulai tertawa, membuat beberapa pemain baru tampak terkejut dan bingung. Mereka melihat orang-orang di sekitar mereka, tampak bingung. Apa ketinggalan tiga gol adalah sesuatu yang bisa ditertawakan?     

"Saat itu, kita sama sekali tak bisa mundur, sama sekali tak bisa mundur! Kalau kita tidak melakukan sesuatu di babak kedua, maka kita akan terus kebobolan! Tapi bagaimana hasil akhirnya? Kita membalikkan keadaan dan mencetak empat gol ke gawang mereka!" Tang En berseru saat dia seolah merasakan lagi semangat dan kegembiraannya hari itu di stadion City Ground. "Empat gol! Sebelum pertandingan, tak ada yang berharap tinggi pada kita. Kita membuat tim Liga Utama West Ham United benar-benar kehilangan muka! Pada akhirnya, mereka hanya bisa mengandalkan wasit untuk melarikan diri! Wasit terkutuk itu menganulir dua gol kita. Meskipun kita kalah menurut aturan, tapi aku tak pernah menganggap kita kalah di pertandingan itu," Tang En berdiri di pintu ruang ganti saat ia berkata kepada para pemain yang mendengarkannya dengan penuh perhatian.     

"Dan sekarang? Tim ini berada di peringkat keempat terbawah di liga, dan memiliki semangat yang sangat rendah setelah berganti manajer. Sebelum pertandingan ini, kita juga telah menghadapi banyak masalah. Selain itu, kita ketinggalan satu bola dalam pertandingan, diprovokasi oleh b*ngsat yang ada di tribun penonton dengan nyanyian mereka, dan kerusuhan para penggemar ... dll, dll. Apa kita sudah pasti akan kalah? Jangan bercanda!" Tang En melambaikan tangannya. "Kita hanya ketinggalan satu gol! Kita bisa membalikkan keadaan bahkan setelah kita ketinggalan tiga gol, apalagi satu!"     

"Michael! Andy! Semua orang juga, apakah kalian mendengar nyanyian dari tribun penonton itu?" tanya Tang En dengan suara keras.     

"Aku mendengarnya, bos." Andy menjawab dengan suara pelan.     

"Bagaimana menurut kalian?"     

"Aku .. aku tak sabar ingin membunuh semua b*ngsat itu!" kata Dawson sambil mengepalkan tangan dan menggertakkan giginya. Para pemain Nottingham Forest yang lain juga tampak geram. Mereka semua sudah merasakan sakitnya gagal untuk dipromosikan ke Liga Utama musim lalu.     

"Aku juga," kata Tang En sambil menganggukkan kepalanya. "Tapi kita tidak bisa melakukan itu. Kita bisa menggunakan cara lain untuk memberi mereka pelajaran."     

Semua pemain mengangkat kepala mereka dan memandang Twain. Sebenarnya, mereka tahu betul apa yang dia maksudkan, tapi mereka berharap bisa mendengar kata-kata itu secara langsung dari mulut bos.     

"Mereka berani menaburkan garam ke atas luka kita dengan harapan membuat kita marah, sehingga kita akan kehilangan ketenangan kita, menjadi bingung, kehilangan semangat juang kita, dan menyerah tanpa melawan! Mereka pikir mereka telah berhasil melakukannya! Kita saat ini ketinggalan satu gol dan meninggalkan lapangan dengan murung.. Para idiot Millwall, mulai dari para fans hingga tim mereka, semuanya menunggu untuk menertawakan kita! Aku berani bertaruh kalau ruang ganti mereka saat ini dipenuhi tawa, persis seperti yang kalian bayangkan!"     

Tang En memukul pintu dengan kuat, menyebabkan suara keras terdengar.     

"Mereka menghina kita!" Tang En menunjuk ke dadanya dan berkata, "Mereka menghina fans kita!" Dia menunjuk ke langit-langit dan melanjutkan, "Para b*ngsat itu bahkan menghina orang yang sudah meninggal!"     

Bam! Tinju yang lain dipukulkan ke pintu.     

"Ya! Mereka sudah berhasil! Mereka membuat kita marah!"     

Bam!     

"Tapi mereka akan segera menyesal telah melakukannya! Kita akan menunjukkan kepada mereka, apa yang akan mereka dapatkan setelah membuat kita marah!"     

Bam!     

Selain suara gedoran dari kepalan tangan Tang En yang memukul pintu, tak ada suara lain yang terdengar di ruang ganti yang kecil itu. Semua orang melihat ke arah manajer yang kelihatan seolah hampir gila, dan seiring dengan setiap suara dentuman yang terdengar, seolah-olah hati mereka juga telah dipukul. Mereka diberi tahu berulang kali: Inilah arti penghinaan!     

"Di babak kedua ... Di babak kedua, gunakan gol kalian untuk mengalahkan mereka! Kita akan mencetak gol setiap kali para b*ngsat itu bernyanyi! Setiap kali mereka bernyanyi, kita akan mencetak satu gol. Setiap kali mereka bernyanyi, kita akan mencetak satu gol! Sampai para b*ngsat itu bahkan takkan berani membuka mulut mereka! Sampai mereka bahkan tak bisa berbicara — sama— sekali!"     

Bam — Bam — Bam—!     

Raungan suara Tony Twain bergema di seluruh ruangan. Kepalan tangan kirinya kelihatan seperti batangan besi yang telah dibakar hingga menyala, sementara pintu logam di ruang ganti bergetar dan membuat suara berderit setelah dipukul berkali-kali oleh kepalan tangan Twain.     

Semua orang yang ada disana terkejut melihat aura membunuhnya ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.