Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Datang Kembali Bagian 2



Selamat Datang Kembali Bagian 2

0"Tuan Twain, bau apa yang enak?"     

"Teh ... Dan juga ...." Merasakan tatapan Sophia yang tajam dengan kepala sedikit dimiringkan, Tang En diam-diam berdehem dan bergumam, "Aku hanya berkata, bukan apa-apa..."     

Ruangan itu remang-remang, dan ada seorang wanita cantik di ruangan itu. Tang En menundukkan kepalanya untuk menutupi kecanggungan saat ia mencoba melawan dorongan hati yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tidak heran kalau Collymore menunjukkan ketertarikannya pada Sophia di depan umum. Pesona alaminya memang bisa membuat siapa saja jatuh cinta padanya.     

"Tuan Twain?"     

"Hmm?"     

"Apa yang sedang Anda lihat?" Sophia tersenyum saat dia bertanya pada Tang En.     

"Aku ... Err, aku sedang mengagumi lukisan cat minyak."     

"Lukisan cat minyak?"     

"Ya… Mona Lisa…"     

Tepat setelah dia menyelesaikan kalimatnya, wajah Sophia memerah karena malu, dan dia menundukkan kepalanya malu-malu.     

Ah! Sial! Ini terlalu konyol! Tang En diam-diam mengomel di dalam hati. Pada awalnya dia tak ingin mengatakan itu, tapi saat melihat Sophia, dia tiba-tiba kehilangan kendali atas lidahnya sendiri. Wood, Wood, kalau kau tak segera kembali, aku akan... aku akan..     

Suara berderit pintu yang terbuka terdengar dari lantai bawah.     

Tang En, yang telah lama bergulat dalam hati, akhirnya menarik napas lega. Dia terduduk lemas di kursi. Tuhan! Punggungku basah kuyup karena keringat!     

Setelah terdengar serangkaian langkah kaki yang tergesa-gesa, Wood muncul di pintu ruangan. Saat dia melihat Twain, yang duduk di depan meja makan, dia terpana.     

Sophia berjalan ke arah Wood dan mengambil tas belanja dari tangan putranya. Sambil melakukan itu, dia bertanya dengan cemas, "Kemana saja kau pergi, George? Kenapa kau menghabiskan lebih dari satu jam ... Oh!" Dia mengerutkan kening setelah mencium bau alkohol yang kuat berasal dari tubuh Wood. "Kau minum, George?" Nada suaranya menjadi sedikit lebih tegas.     

Mendengar Sophia mengatakan ini, Tang En menoleh dan menatap Wood dengan intens. Tak ada memar atau luka di wajahnya.Mengalihkan pandangannya perlahan dari atas ke bawah, Tang En akhirnya melihat tanda hitam di lutut celana Wood. Meski telah berulang kali dibersihkan oleh si pemilik celana, Tang En masih bisa menduga kalau itu pasti tanda bekas sepatu.     

"Tidak, Bu." Wood menggelengkan kepalanya.     

Sophia tak berniat membiarkan Wood lolos dengan mengatakan itu. Dia menggunakan tangannya untuk mengipasi udara. "Lalu kenapa ada bau alkohol yang tercium darimu?"     

"Saat kembali tadi, aku melewati jalan yang dipenuhi bar, dan bertemu dengan beberapa pemabuk. Mereka sulit diatasi, jadi aku menghabiskan banyak waktu untuk menjauhi mereka." Wood mencoba yang terbaik untuk membuat dirinya tampak seolah-olah tak ada yang terjadi.     

"Buka mulutmu, George." Sophia memperjelas niatnya agar Wood membuka mulutnya, agar bisa menghirup napasnya.     

Wood melakukan apa yang diperintahkan. Sophia mendekati mulut putranya dan menghirup udara dekat hidungnya. Kemudian, dia menggosok pipi Wood dengan lembut dan berkata, "Pergi cuci muka sana. Lihat dirimu, wajahmu penuh keringat. Tuan Twain datang kemari untuk secara khusus mencarimu, dan dia sudah menunggu sangat lama."     

Wood menatap tajam ke arah Twain, sebelum kemudian dengan patuh menuju ke kamar mandi.     

Sophia tersenyum meminta maaf pada Tang En. Tang En mengangkat bahu untuk menunjukkan bahwa dia mengerti, dan kecurigaan di hatinya telah dikonfirmasi. Sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal. Jadi, dia bangkit dan berkata pada Sophia, "Maafkan aku, Nyonya. Kurasa aku harus pergi sekarang. Bagaimanapun juga, sekarang sudah larut."     

Mendengar Tang En mengatakan ini, Sophia tak berusaha menutupi kekecewaannya, dan senyum di wajahnya menghilang. Dia tahu apa yang dikatakan oleh Tang En sangat normal, dan dia tak punya alasan untuk menahan seorang pria agar tetap berada di rumahnya pada pukul 11 ​​malam.     

"Sayang sekali, Tuan Twain," Sophia menghela napas, menunjuk ke arah teh merah dan biskuit yang belum tersentuh di atas meja. "Anda belum makan apa pun."     

Sebenarnya ... Kalau bukan karena Wood yang kembali tepat waktu, mungkin Tang En akan menginap malam itu. Dia melihat wajah Sophia yang kecewa, yang seolah kehilangan cahayanya, dan berkata dengan tenang, "Nyonya, saya rasa... Akan ada banyak peluang seperti ini di masa depan."     

Mendengar Tang En mengucapkan hal itu, Sophia dengan senang mengangkat wajahnya, dan cahaya di wajahnya kembali bersinar.     

Pada saat itu, Wood muncul dari kamar mandi dan mengerutkan dahinya. Setelah itu, dia bersandar di kusen pintu dan memandangi kedua orang di ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.     

Tang En melihat Wood kembali dari kamar mandi, dia segera mengalihkan tatapannya dari wajah Sophia dan melambai ke arah Wood. "George, aku akan pulang sekarang. Apa kau tak mau mengantarku keluar?"     

Berdiri di luar rumah, Tang En mengobrol santai dengan Wood sambil menunggu Landy datang dan menjemputnya. Dia tahu Sophia pasti mengawasi mereka dari jendela di lantai dua. Wood tak ingin ibunya terlalu khawatir dan Tang En juga merasakan hal yang sama.     

"George, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Tang En memutuskan untuk mencoba mengkonfirmasi dugaannya. "Bajingan yang merayu ibumu tempo hari baru saja dihajar seseorang. Apa kau tahu siapa yang melakukannya?" Saat Tang En mengatakan ini, dia menatap Wood dengan seksama, berharap bisa menemukan petunjuk dari reaksinya.     

Tapi dia kecewa. Wood bahkan tak berkedip.     

"Aku tidak tahu." Suaranya juga tak sedikitpun menunjukkan emosi.     

Bocah ini!     

Tapi kau terlalu tenang, kelihatannya berita ini bukan hal baru bagimu. Kau masih terlalu polos untuk mencoba membohongiku.     

Kecurigaan di hati Tang En akhirnya terjawab, tapi dia tidak mengekspos Wood. Dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, "Baiklah, aku khawatir kau yang melakukannya. Kalau memang bukan kau, maka itu bagus."     

Jalanan di depan mereka diterangi dua buah lampu bundar. Dari melihat itu, Tang En tahu bahwa si pengemudi, Landy sudah tiba. Dia memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Wood, tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu yang lain. "Oh, dan ... Hmm, kurasa, kalau tak ada halangan, mungkin mulai besok dan seterusnya, aku takkan bisa melatihmu dan mengarahkan pertandinganmu lagi."     

Setelah mendengar kata-kata Twain itu, Wood berbalik dan menatapnya. "Apa kau akan pergi?"     

"Ya, aku akan pergi." Tang En tiba-tiba berpikir untuk menggoda anak yang kaku itu, dan menganggukkan kepalanya.     

"Kemana?"     

"Ke selatan."     

"Apa jauh sekali?"     

"Kurasa ya ..." Melihat anak itu tak menunjukkan tanda-tanda keengganan, Tang En sedikit kecewa ... Apa memang kita tak punya hubungan seperti hubungan guru-murid?     

Wood tetap diam selama beberapa saat, sebelum berbalik dan berkata dengan punggung menghadap Tang En, "Oh, selamat tinggal."     

Rubah kecil itu!     

Tang En memutuskan untuk berhenti menggodanya, dan berteriak sambil melambaikan tangan, "Tunggu! Lupakan itu. Aku bohong padamu. Meski aku memang pergi ke selatan, aku hanya pergi lima meter jauhnya dari kompleks latihan tim pemuda— selebar gang kecil!"     

Baru saja dia selesai berbicara, Wood segera membalikkan badan dan menatap Tony. Ekspresi wajahnya jelas tidak memperlihatkan rasa senang, melainkan kemarahan setelah menyadari kalau dia sudah dibohongi.     

Menghadapi kemarahan anak itu, Tang En agak bingung bagaimana dia bisa menjelaskan candaan yang terpikir olehnya saat itu. Dia hanya bisa melanjutkan kalimatnya dengan agak canggung. "Erm, kalau semuanya berjalan lancar, aku akan menjadi manajer tim utama Nottingham Forest mulai besok dan seterusnya. Kalau saat itu tiba, aku harus meninggalkan tim pemuda, tapi kau harus terus berlatih dan bermain untuk tim pemuda."     

Landy, yang berada tak jauh dari sana, membunyikan klakson mobil untuk mengingatkan Tang En.     

"Aku harus pergi, George. Kuharap kau bisa terus mendengarkan Tuan Kerslake dan pelatih lainnya, berlatihlah dengan keras, dan bermainlah dengan serius. Kau melakukannya dengan sangat baik sekarang ini, dan kami semua merasa kalau kau terus seperti ini, maka penghasilan £120.000 seminggu takkan jadi masalah!" Tang En tahu satu-satunya hal yang bisa memotivasi anak ini bukanlah kejayaan atau passion. Hanya ada satu kata kunci — uang!     

"Teruslah menunjukkan penampilan yang baik, Nak! Aku akan mengawasi tim pemuda setiap saat. Kalau kamu tampil baik di sana, aku akan mempromosikanmu ke tim pertama. Saat itu, kau akan menerima kontrak yang benar-benar berbeda ... Apakah kau tahu berapa gaji yang bisa kauperoleh kalau saat itu tiba?"     

Wood menggelengkan kepalanya.     

Tang En melakukan perhitungan mental. Dengan kondisi keuangan klub yang membaik, gaji para pemain juga harus meningkat secara bersamaan. Kalau Wood benar-benar menunjukkan penampilan yang luar biasa di tim pemuda, dan ia berhasil masuk ke tim dewasa, gaji mingguannya takkan kurang dari £1.500. Jadi, dia berkata kepada Wood, "Setidaknya £1.500 setiap minggu! Dan itu belum termasuk reward uang yang lain!"     

Baru setelah itu ekspresi wajah Wood akhirnya berubah. Kelihatannya dia sangat puas. Tang En juga sangat puas dengan ekspresi Wood, dan karenanya tersenyum sambil melambai ke arahnya. "Kerja keraslah! Ingat, George, di mana pun kau berada, semakin baik penampilanmu, semakin banyak uang yang bisa kau peroleh!"     

Tang En berbalik dan masuk ke dalam mobil. Taksi melaju pergi dengan sangat cepat. Wood berdiri di depan pintu sesaat sebelum memasuki rumah.     

Sophia melihat Wood kembali, dan bertanya, "George, apa yang kalian bicarakan?"     

Mulut Wood terbuka dan menunjukkan senyumnya yang langka. "Uang. Bu, sebentar lagi kita akan kaya."     

Sophia mengulurkan tangannya dan membelai rambut putranya dengan penuh kasih sayang. "Bocah bodoh. George, kau harus mendengarkan Tuan Twain. Dia orang yang sangat baik." Saat dia mengatakan ini, Sophia memandang ke luar jendela ke arah jalan-jalan yang gelap gulita. Mobil Tony Twain sudah lama pergi.     

Wood melepaskan diri dari sentuhan lembut ibunya dan tiba-tiba bertanya, "Bu, apa kau menyukainya?"     

Mendengar putranya menanyakan itu, Sophia tampak bingung. Dia segera mengalihkan pandangannya dan menatap Wood, sebelum kembali mengalihkan tatapannya. "Ah, tidak, tidak, itu tidak mungkin! Bagaimana ... Bagaimana mungkin?" Dia berusaha menghindari mata putranya.     

Mendengar ibunya yang menjawab seperti itu dan melihat reaksinya, Wood tak mengatakan apa-apa. Dia hanya terus memandangi ibunya dalam diam, seolah dia bisa melihat semuanya.     

Sophia terbatuk dan menatapnya dengan wajah tegas. "Baiklah, George, kau harus tidur sekarang."     

"Selamat malam, bu." Wood mencium pipi Sophia.     

"Selamat malam, George." Sophia balas mencium dahi George.     

Wood kembali ke kamarnya, menutup pintu dan mematikan lampu.     

Sophia duduk di depan meja makan dan meletakkan satu tangan di atas meja, mengistirahatkan dagu di atasnya sambil menatap kosong pada teh merah yang sudah dingin, serta biskuit yang tak tersentuh. Dia mengingat saat-saat dia sendirian dengan Twain. Waktu tak lagi memiliki makna, dan segala sesuatu di sekitarnya tampak membeku dalam waktu. Setelah itu, semuanya disimpan di dalam sebuah bingkai foto dan disimpan di dalam hatinya.     

Dia menghela nafas ringan saat dia mengambil piring dan cangkir dari atas meja.     

Ketika dia berbalik, pintu kamar Wood yang tak terkunci ditutup dengan lembut.     

"... Ada enam orang! Enam pemain rugby yang kuat! Aku tidak tahu dari mana mereka datang dan aku belum pernah bertemu mereka sebelum ini. Saat aku akan pergi, mereka menyerangku di lorong! Itu adalah serangan diam-diam, serangan diam-diam! Kalau tidak, aku takkan kalah dari mereka. Kau pikir aku ini siapa? Aku Stan Collymore!"     

"Hahahahaha!" Tang En dan Edward, yang sedang menonton televisi, tidak bisa lagi menahannya dan tertawa terbahak-bahak.     

Collymore, yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit saat sedang diwawancarai, mengilustrasikan cerita kepahlawanannya sendiri "satu lawan enam orang" dengan air liur berciptratan ke segala arah. Tang En, yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, tertawa terbahak-bahak. Tentang alasan kenapa Doughty tertawa begitu gembira, itu terkait dengan urusan yang sama sekali berbeda.     

Program televisi yang mereka tonton saat ini hanyalah berita, dan video yang diputar selama program berita biasanya bukan siaran langsung. Jadi, tak mungkin pria tak beruntung yang berteriak "Aku Stan Collymore" itu saat ini sama bersemangatnya seperti ketika dia sedang diwawancarai.     

Alasannya sangat sederhana, karena kontraknya dengan Nottingham Forest secara resmi telah diakhiri pada pagi hari itu.     

Tidak ada yang menyatakan kekagetan, kebingungan ataupun protes atas hal itu. Ketika penampilan tim sangat buruk, Collymore masih sempat membuat skandal. Kalau dia tidak dipecat, lalu siapa yang akan dipecat? Meskipun Doughty tak bisa menghindar dari keharusan menanggung kesalahan atas "pengambilan keputusan yang buruk", tapi ... pasti tak ada yang mengharapkan ketua klub yang memiliki 75 persen saham klub itu untuk mengundurkan diri dan mengalihkan semua sahamnya, hanya karena ia telah merekrut manajer yang buruk?     

Stan Collymore mengakhiri karirnya yang sangat buruk sebagai manajer setelah setengah musim. Pengalaman ini tak diragukan lagi akan diingat olehnya selamanya, terlepas dari apakah ia akan terus berada di jalur menjadi seorang manajer.     

Mengenai penerus Collymore, hampir tak ada ketegangan sama sekali.     

Pada saat itu, apa ada orang lain yang lebih cocok mengambil peran ini daripada dirinya?     

"Sudah waktunya, Tony. Ayo pergi." Doughty melihat arloji di pergelangan tangannya.     

"Mhmm." Twain mengangguk.     

Mereka berdua berdiri dan mendorong pintu kantor ketua hingga terbuka. Nn. Barbara Lucy sudah menunggu mereka di luar pintu.     

Di lantai dasar, Audi A6 merah tua menunggu dengan tenang di dekat gerbang. Sopirnya duduk di sana dan menunggu instruksi lebih lanjut, dengan pintu mobil sudah terbuka.     

Mobil itu akan menuju ke Stadion City Ground, di mana banyak wartawan akan menunggu di konferensi pers.     

Bahkan ada sekelompok kecil fans yang berkumpul di luar stadion. Mereka dipimpin oleh seorang pria gemuk, dan mereka semua mengenakan kaus jersey merah Nottingham Forest seolah-olah mereka bersiap untuk menonton pertandingan. Mereka bernyanyi dengan keras seolah-olah tak ada orang lain di sekitarnya, di depan para wartawan dan kamera. Para fans yang telah menarik perhatian para wartawan itu mengangkat potret kartun besar di udara. Dan tertulis di bawah kepala gambar itu adalah kata-kata ini:     

Selamat datang kembali, Tony!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.